Berita

ilustrasi/net

On The Spot

Buka Posko Pengaduan Hingga Sidak ke Lapas

Komisi Anak Pantau Ujian Nasional SMA-SMP
SENIN, 20 APRIL 2015 | 09:53 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang terletak di jalan Teuku Umar Nomor 10, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat tampak sepi. Hanya ada dua petugas keamanan di meja resepsionis gedung bergaya Eropa abad pertengahan tersebut.

Dari bagian dalam kantor terdengar sayup-sayup suara pegawai KPAI. Waktu menunjukkan pukul 3 sore. Masih jam kerja.
 

 Di belakang meja resepsionis tampak ruangan berukuran 3x3 meter persegi. Dalam ruangan itu terdapat sebuah meja kerja, bangku, printer, dan perangkat komputer untuk satu orang.

Dua kursi bagi tamu diletak­kan tepat di depan pintu masuk ruangan ini. Pada sudut kanan ruangan ditaruh kontainer berkas abu-abu setinggi tiga tingkat. Di sudut kiri ruangan lemari berukuran sedang, yang juga digunakan untuk menyimpan berkas. Ruangan itu adalah tem­pat pendaftaran pengaduan.

Ruangan penanganan pengad­uannya bersebelahan dengan tempat pendaftaran tadi. Pintu masuknya agak ke dalam. Jika ingin masuk, dari pintu masuk lobi pengunjung harus berjalan ke sudut kiri lobi. Setelah me­lewati pintu kayu coklat muda, dinding sebelah kanan ada pintu pertama. Di situlah ruangan pen­anganan pengaduan berada.

Jauh sebelum Ujian Nasional (UN) tingkat SMA/SMK dan Madrasah Aliyah digelar, Komisi ini membuka posko pengaduan khusus untuk menampung kelu­han masyarakat seputar hal itu. Posko ini dibuka sampai berakh­irnya UN tingkat SMP.

"Ruang pengaduan reguler digunakan sebagai posko pen­gaduan UN," ujar Komisioner KPAI, Susanto.

Ruangan pengaduan lebih lebar daripada ruang pendaf­taran. Empat meja kerja, 12 kursi, dan empat perangkat kom­puter berada di tengah ruangan tersebut. Semua barang-barang tersebut diletakkan memanjang ke samping, membentuk huruf "L" terbalik. Dua boks berkas setinggi tiga tingkat diletakkan di sudut kiri dan kanan ruangan. Sebuah lemari berukuran kecil tampak dibelakang meja kerja yang berada di sebelah kanan pintu masuk.

Ada empat staf yang menan­gani pengaduan masyarakat. Jumlah ini dianggap sudah me­madai. "Tidak ada masalah kok. Biasanya KPAI hanya mendapat 7-10 aduan per hari. Kemudian sejauh ini aduan terkait UN juga baru lima," kata Susanto.

Komisi kembali membuka posko pengaduan UN karena se­tiap tahun ada masyarakat yang mengenai hal itu. Selain itu, Komisi ini memang diberikan mandat oleh Undang-undang Perlindungan Anak untuk men­jadi mengawasi pemenuhan hak pendidikan anak.

"UN termasuk bagian dari ke­bijakan pendidikan yangg men­jadi obyek pengawasan. Posko dibuka untuk mendapatkan data dan input dari masyarakat luas terkait pelaksanaan UN. Jika ada pelanggaran, KPAIakan menindaklanjuti untuk penye­lesaian kasusnya dan perbaikan kebijakan terkait UN," imbuh Susanto.

Seperti diketahui, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah me­netapkan, Ujian Nasional (UN) dilaksanakan mulai 13 April sampai 7 Mei 2015. UN tingkat SMA/SMK telah berlangsung pada 13 April-15 April 2015.

Bagi siswa yang mengikuti UN dengan sistem Computer Based Test (CBT) mereka masih ujian hingga pekan ini. Setelah UN tingkat SMA rampung, di­lanjutkan tingkat SMP sederajat pada 4 -7 Mei 2015.

Susanto menjelaskan pihaknya menjalankan tiga bentuk peman­tauan pelaksanaan UN. Pertama, membentuk posko pengaduan di kantor. Posko itu berfungsi untuk melayani masyarakat yang men­gadu. Posko banyak menerima pengaduan dari orang tua yang anaknya tidak bisa ikut UN kar­ena berbagal hal. Misalnya, ada orang tua yang melapor anaknya yang terjerat kasus tidak bisa ikut UN di sekolah.

Laporan ini pun ditindaklan­juti. "Setelah kami tanyakan, rupanya ada masalah koordinasi dengan pekerja sosial yang bertugas memfasilitasi hal itu. Kemudian kami berkoordinasi dengan Dinas Sosial, dan akh­irnya anak itu akan diikutsertakan dalam ujian susulan," tuturnya.

Pemantauan berikutnya lewat pemberitaan di media massa. Alasannya, Komisi tidak bisa mengawasi pelaksanaan UN di seluruh Indonesia. Dari media, Komisi bisa mengetahui ke­jadian listrik padam saat UN sistem CBT.

"Begitu kami mengetahui info tersebut, kami langsung menghubungi pemerintah daer­ah, dan Dinas Pendidikan se­tempat untuk mencari solusi atau masalah tersebut," lanjut Susanto.

Terakhir, Komisi turun me­mantau pelaksanaan UN di sejumlah tempat yang berpotensi bermasalah dan bisa meng­hambat anak mengikuti ujian. Misalnya di lapas. Komisi sem­pat memantau ujian di Lapas II A Cibinong.

Dari pemantauan itu, Komisi menemukan masih rendah­nya kualitas penyelenggaraan UN di tempat tersebut. "SDM pelaksananya masih kurang, dukungan dana untuk menye­diakan infrastruktur pelaksanaan UN juga masih minim. Setiap tahun rata-rata masalah di lapas begitu," ungkap Susanto.

Susanto mengaku pihaknya juga menerima pengaduan ten­tang adanya soal UN yang bocor dan jual-beli soal itu di daerah. Info yang diterima ini lalu ke­pada pihak kepolisian.

"Ini kan konteksnya sudah pelanggaran hukum. Jadi lang­sung kami laporkan saja, biar cepat diselidiki, dan ditindak," katanya.

Siswa Jangan Ikut Dijerat  
Kasus Kebocoran Soal

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta siswa jangan ikut diseret dalam kasus bocornya soal Ujian Nasional (UN) 2015. Menurut komisionernya, Susanto, yang patut ditindak dalam kasus ini adalah oknum yang membocorkan dokumen negara itu.

"Bocornya soal, hemat saya bukan hanya karena ada oknum pembocor. Masalah utamanya adalah sistem kerahasiaan UN yang lemah. Buktinya kan siklus semacam ini terus berulang dari tahun ke tahun," kata Susanto.

Dia menilai, sistem manaje­men UN saat ini masih mem­buka ruang bagi oknum untuk melakukan penyelewengan. Terungkapnya soal UN yang diunggah ke internet menun­jukkan bahwa sistem pen­gadaan soal UN kurang ketat.

"Kebocoran soal di dunia maya jangan dianggap remeh. Efeknya besar sekali," kata dia.

Susanto mengatakan, di ten­gah pesatnya perkembangan teknologi, informasi di dunia maya sulit untuk dibendung. Seketat apapun usaha pemer­intah untuk menangkalnya, tidak pernah berhasil mem­blokirnya.

Persoalannya, kata dia, para remaja saat ini sangat lekat dengan dunia maya, sehingga sulit dideteksi soal UN itu su­dah menyebar sampai mana.

Selain masalah kebocoran soal, lanjut Susanto, pihaknya juga masih menemukan ban­yak masalah dalam penyeleng­gar aan UN berbasis komputer di beberapa tempat.

"Ada masalah keterlambatan sinkronisasi antara server dan lokal yang terjadi di salah satu sekolah di Gunung Kidul, Yogyakarta misalnya," sebutnya.

Untuk itu, kata dia, KPAIme­minta kepada pemerintah agar menata dan membenahi mana­jemen persiapan dan proses UN secara radikal. Karena kasus demikian dari tahun ke tahun masih sering terjadi. Masalah utamanya karena manajemen dan koordinasi yang kurang, sehingga menimbulkan celah penyelewengan dan berbagai macam masalah.

"Cara menyelesaikan masalah ini, harus segera dipikir­kan agar kebocoran terus beru­lang. Kalau tindakan tegas terhadap oknum, adalah tinda­kan tambahan yang diperlukan untuk menimbulkan efek jera," tandasnya.

UN Tak Lagi Penentu Kelulusan, Laporan Kecurangan Menurun
 
Laporan kecurangan pada Ujian Nasional 2015, menu­run. Berdasarkan pemantauan Posko Pengaduan Ujian Nasional di 46 kota kabupaten yang dilakukan oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), menurun 60 persen dibanding tahun sebelumnya.

"Tahun ini, FSGI hanya menerima 91 laporan kecurangan," ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) FSGI, Retno Listyarti.

Ia mengatakan, sebanyak 28 laporan tersebut berasal dari siswa kelas 12 yang men­jadi peserta ujian nasional. Menurut Retno, pada H-2 UN tingkat SMA, Federasi hanya menerima 2 laporan jual-beli kunci jawaban.

"Laporan tersebut berasal dari Jakarta dan Jawa Timur. Sedangkan pada 2014 lalu, pada H-3 Ujian Nasional FSGI telah menerima 11 laporan terjadinya jual beli kunci jawa­ban," kata dia.

Menurut kepala SMA Negeri 3 Jakarta itu, penurunan ter­jadi akibat kebijakan baru pemerintah yang menetapkan ujian nasional tak lagi penentu kelulusan siswa.

Sebagai pembanding, ber­dasarkan data yang dimiliki FSGI, pada 2014 terdapat 304 laporan kecurangan. Hasil pemantauan selama lima tahun terakhirâ€"selama UN menjadi penentu kelulusan siswa, laporan kecurangan terbesar terjadi pada 2013, tercatat 1.035 laporan kecurangan ujian nasional.

"Besarnya kecurangan yang terjadi kami yakini, karena adanya tuntutan UN sebagai pe­nentu kelulusan," kata Retno.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto juga mendu­kung UN tak dijadikan penentu kelulusan. Ia mengatakan da­lam setiap proses pembelajaran memang perlu ada evaluasi. Namun jika UN dijadikan pe­nentuan kelulusan, Susanto menganggap tidak tepat.

"Dulu UN yang menentukan kelulusan itu memang hemat KPAIini belum tepat, karena ada beberapa dampak seperti psikologis maupun positioning masa depan siswa. Ada siswa yang sampai bunuh diri karena malu bakal tidak lulus lantaran tak bisa mengerjakan soal UN," katanya.

Meski begitu, Komisi tetap menuntut adanya perbaikan sistem pada setiap proses pen­didikan. Bukan hanya sistem evaluasi akhir pendidikan seperti UN.

"Laporan tentang anak-anak yang terancam tidak bisa mengikuti UN, misalnya karena dikeluarkan atau seko­lah tidak boleh terjadi ter­us. Mereka adalah generasi penerus bangsa, sehingga men­jadi kewajiban dari pemerintah untuk mendorong mereka menjadi orang yang lebih baik. Salah satu caranya dengan menjamin pendidikan yang memadai," tandasnya.

Susanto menambahkan, pendidikan adalah salah satu proses revolusi mental yang paling mendasar. Jika layanan pendidikan saja tidak tereal­isasi dengan baik, tentu akan berdampak pada kegagalan agenda revolusi mental.

"Karena pendidikan sejat­inya merupakan ikon revolusi mental yang mendasar. Jangan berharap kalau soal UN saja bocor dan beredar di dunia maya, revolusi mental dalam dunia pendidikan berhasil," pungkasnya. ***

Populer

Warganet Beberkan Kejanggalan Kampus Raffi Ahmad Peroleh Gelar Doktor Kehormatan

Senin, 30 September 2024 | 05:26

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

WNI Kepoin Kampus Pemberi Gelar Raffi Ahmad di Thailand, Hasilnya Mengagetkan

Minggu, 29 September 2024 | 23:46

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

MUI Tuntut Ahmad Dhani Minta Maaf

Rabu, 02 Oktober 2024 | 04:11

Rhenald Kasali Komentari Gelar Doktor HC Raffi Ahmad: Kita Nggak Ketemu Tuh Kampusnya

Jumat, 04 Oktober 2024 | 07:00

Stasiun Manggarai Chaos!

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 13:03

UPDATE

Muhibah ke Vietnam dan Singapura

Selasa, 08 Oktober 2024 | 05:21

Telkom Investasi Kesehatan Lewat Bantuan Sanitasi Air Bersih

Selasa, 08 Oktober 2024 | 04:35

Produk Olahan Bandeng Mampu Datangkan Omzet Puluhan Juta

Selasa, 08 Oktober 2024 | 04:15

Puluhan Anggota OPM di Intan Jaya Kembali ke NKRI

Selasa, 08 Oktober 2024 | 03:55

70 Hakim PN Surabaya Mulai Lakukan Aksi Mogok

Selasa, 08 Oktober 2024 | 03:30

Gotong Royong TNI dan Rakyat

Selasa, 08 Oktober 2024 | 03:15

Pemerintahan Jokowi Setengah Hati Bahas Kesejahteraan Hakim

Selasa, 08 Oktober 2024 | 02:50

Perkuat Digitalisasi Maritim, TelkomGroup Hadirkan Satelit Merah Putih 2

Selasa, 08 Oktober 2024 | 02:20

Prabowo Harus Naikan Gaji Hakim Demi Integritas dan Profesionalitas

Selasa, 08 Oktober 2024 | 01:55

Tertangkap, Nonton Perayaan HUT ke-79 TNI Sambil Nyopet HP

Selasa, 08 Oktober 2024 | 01:35

Selengkapnya