Lagu Indonesia Raya berkumandang di lantai 5 Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Menjadi penanda dimulainya sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Setiap kali Dewan ini yang dipimpin Jimly Asshiddiqie ini bersidang, bakal ada anggota KPU ataupun Bawaslu yang jadi "terdakwa".
Sambil berdiri, majelis hakim DKPP, penyelenggara sidang dan pihak yang terlibat dalam persidangan ini khidmat melanÂtunkan lagu kebangsaan itu. Seluruh orang di ruang sidang itu dipersilakan duduk kembali usai bernyanyi.
Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie lalu membuka sidang. Ia didampingi lima anggota majelis yang berasal dari unsur Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Kursi "terdakwa" tampak masih kosong. Artinya, penyelenggara pemilu yang diduga melanggar kode etik itu tak menghadiri persidangan ini. Ketiadaan "terÂdakwa" ini tak menjadi penghalang DKPP untuk menyidangÂkan kasusnya. "Sidang tetap kita lanjutkan," tegas Jimly.
Kemarin, ada sidang yang digelar DKPP. Pertama, kasus narkoba yang membelit Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Timur, Ismail. Berikutnya, pembacaan putusan kasus pelanggaran kode etik Ketua dan Anggota KPUD Kabupaten Bolaang Mangondow dalam penetapkan daftar calon tetap (DCT) Pemilu 2014 dan calon terpilih DPRD Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara.
Dalam sidang DKPP, para terdakwa menempati meja di sebelah kanan. DKPP menyebut mereka sebagai "teradu". Di seberangnya disediakan meja untuk "pengadu". Meja ini dipenuhi orang-orang yang melaporkan anggota KIP Aceh dan KPU Bolaang Mongondow yang diduga melanggar kode etik.
"Pengadu yang hadir hanÂya kasus Kabupaten Bolaang Mangondow Timur," ucap Jimly sembari mempersilakan pengadu memperkenalkan diri.
Kasus Aceh Timur sama sekali tidak dihadiri para pengadu dan teradu. Jimly menyampaikan persidangan terhadap Ismail digelar karena adanya pengaduan dari KIP Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Ketua KIP NAD Ridwan Hadi yang menguasakan kepada anggotanÂya, Robby Syahputra, melaporÂkan Ismail sekaligus menghadiri sidang DKPP.
Kasus penyelenggara pemilu yang terjerat narkoba baru perÂtama kali digelar DKPP. Ismail tertangkap tangan membawa saÂbu seberat satu kilogram. Meski tidak dihadiri pengadu maupun teradu, Jimly menegaskan perÂsidangan tetap bisa digelar sesuai pedoman "hukum acara" yang disusun DKPP. Majelis DKPP juga bisa menjatuhkan sanksi tanpa perlu dihadiri teradu.
Ida Budhiati, anggota majelis DKPP dari unsur KPU dipersilaÂkan membacakan putusan sidang etik terhadap Ismail. Putusan itu tertuang dalam delapan halaÂman. Namun tak semuanya dibacanya. Hanya kronologi dan amar putusan majelis saja.
Kronologi berawal dari Ismail menghubungi sekretarisnya untuk memberitahukan tidak masuk kantor selama sepekan dari 3 sampai 9 Desember 2014. Namun hingga 11 Desember, Ismail tak juga nongol di kantor.
Sulit dihubungi, pengadu (KIP NAD) mengutus salah satu angÂgotanya untuk menemui keluÂarga Ismail di Idi Rayeuk, Aceh Timur. Dari istri Ismail, KIP NAD menerima kabar mengagÂetkan: Ismail ditahan di Polresta Medan, Sumatera Utara.
Ismail ditangkap anggota Satuan Reserse Narkoba Polresta Medan pada 4 Desember 2014, jam 11 siang di Jalan Imam Gang Tebu Kelurahan Tanjung Kusta LK.III, Kecamatan Medan Helvetia, Kodya Medan. Penangkapan itu sehari berselang setelah Ismail izin tak masuk kerja.
Setelah mendapat kejelasan kasus yang menimpa Ismail, KIP NAD berkonsultasi kepada KPU. Lewat surat bernomor 07 tertanggal 7 Januari 2015, KPU meminta KIP NAD memproses pemberhentian Ismail karena telah menyandang status terÂsangka. Proses pemberhentian lewat sidang DKPP.
Ida menyampaikan Ismail telah memberikan penjelasan mengenai kasus yang menÂjerat. Ismail membantah pengÂguna maupun pengedar sabu. Ia menjelaskan keberadaannya di Medan untuk mengambil toga yang akan dipergunakan saat wisuda S2 di salah satu kampus di Medan pada 9 Desember.
Ismail mengatakan disuruh reÂkannya, Rasyid mengambil uang Rp 200 juta di Medan. Uang itu akan diberikan teman Rasyid. Ismail mengaku tidak mengenal teman Rasyid itu. Saat bertemu, teman Rasyid meminta Ismail meminjamkan tasnya untuk meÂnyimpan uang. Saat menunggu uang datang, polisi datang dan menangkap Ismail
Pembelaan Ismail ini sia-sia. DKPP memproses pemecatan terhadap pria yang menyandang gelar sarjana agama itu. Ia diÂanggap sudah memenuhi syarat lagi untuk menjadi penyelenggara pemilu. Sesuai ketentuan, anggota KIP tidak berstatus tersangka, terdakwa maupun terhukum.
Alhasil, DKPP memutusÂkan mengabulkan pengaduan dari KIP NAD untuk seluruhÂnya. Lalu, menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian tetap kepada Ismail dari jabatan ketua merangkap anggota KIP Aceh Timur. DKPP juga memerintahÂkan kepada Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia unÂtuk menindaklanjuti putusan ini paling lama 7 (tujuh) hari sejak putusan dibacakan. Sedangkan kepada Bawaslu, DKPP meÂminta lembaga ini mengawasi pelaksanaan putusan ini.
Tanpa kehadiran teradu, sidang ini berlanjut cepat. Tidak ada adu pendapat untuk menampik tuduÂhan. Ida membacakan putusan sekitar 10 menit.
Beranjak ke kasus berikutnya, DKPP langsung membacakan putusan. Majelis menjatuhkan sanksi pemberhentian Ketua KPU Bolaang Mongondow Hendra DJ Damapoli dan angÂgota KPU Ronald Limbanon. Usai pembacaan putusan, Jimly selaku ketua majelis mengambil alih, dan mengetuk palu tanda sidang ditutup.
Sidang itu diakhiri dengan menyanyikan lagu nasional "Padamu Negeri". Hadirin kembali diminta berdiri. Melirik jarum tangan, kedua sidang itu hanya berlangsung 30 meniti. Para hakim maupun pengadu meninggalkan ruangan satu per satu.
Anggota KPU dan Bawaslu Bakal Dites Urine Usai sidang pembacaan puÂtusan, Jimly mampir duduk di ruang tunggu hakim di belakang ruang sidang. Masih menggunakan jas dan peci hitam, Jimly mengaku kecolonÂgan ada penyelenggara pemilu yang terjerat kasus narkoba.
"Bukan hanya pemakai, tapi pengedar," ujar Jimly sembari menggelengkan kepalanya. Sebelumnya DKPP memutusÂkan memecat Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Timur, Ismail. Ia ditangÂkap polisi di Medan dengan barang bukti 1 kilogram sabu.
DKPP baru pertama kali menyidangkan penyelenggara pemiÂlu yang terjerat narkoba. Kasus ini, menurut Jimly, semakin menunjukkan bahwa Indonesia sudah darurat narkoba.
Ia akan mengusulkan agar seleksi calon penyelenggara pemilu diperketat. Selain loÂlos seleksi administrasi, calon juga perlu dites bebas narkoba. "Selama ini belum ada tes urine bagi (calon) komisioner," katanya.
Jimly mengkhawatirkan lemÂbaga penyelenggara pemilu tak bersih dari narkoba. "Pengedar saja ada, jangan-jangan pengÂgunanya banyak," ujarnya.
DKPP berencana menggelar tes urine terhadap para komisioner KPU, Bawaslu dan para staf di kedua lembaga penyelenggara pemilu itu. Tes urine juga akan diberlakukan kepada staf DKPP. Jika terdeÂteksi menggunakan narkoba bisa diberhentikan.
"Jangan sampai kerja dalam keadaan fly (mabuk)," kata anggota Tim 9 konflik KPK-Polri ini.
Untuk menggelar tes urine kepada jajaran lembaga penyeÂlenggara pemilu, DKPP akan bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) dan kepolisian.
Selain mencegah lembaga penyelenggara pemilu dari narkoba, DKPP juga akan menggeber bimbingan teknis soal kode etik. DKPP sudah menyiapkan 15 ribu buku saku kode etik untuk dibagikan kepada seluruh penyelenggara pemilu. "Kita mau komisioner punya kesadaran sendiri meÂnyangkut tanggungjawab etis," pungkasnya.
Selama 2012-2015, DKPP menerima 1.619 laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan personel lembaga penyelenggara pemilu.
Setelah ditelaah, 511 perkara memenuhi syarat untuk ditinÂdaklanjuti ke sidang kode etik. Sebanyak 327 penyelenggara pemilu dijatuhi sanksi pemÂberhentian tetap. Sedangkan 18 orang diberhentikan semenÂtara. ***