Keterlibatan para aktivis anti Orde Baru dalam pemerintahan era reformasi merupakan keniscayaan.
Tak bisa disangkal bahwa sejarah perpolitikan Indonesia banyak diukir oleh mereka yang pernah menjadi eksponen gerakan mahasiswa.
Sejak berakhirnya Orde Lama di bawah Bung Karno, rezim Orde Baru merekrut para aktivis mahasiswa anti Orde Lama (angkatan 66) yang dianggap menonjol. Sebut saja yang paling ternama di antaranya adalah Cosmas Batubara dan Akbar Tanjung.
Setelah Orde Baru tumbang, generasi beralih. Angkatan 66 sudah menua. Giliran para aktivis "bawah tanah" yang berjuang di era 70-an sampai 90-an mendapat porsi besar untuk menduduk posisi-posisi penting.
Mereka adalah orang-orang muda di zamannya yang berani melawan Rezim Soeharto dengan gerakan pro demokrasi yang bergerak dengan gagasan kebebasan berpikir, kebebasan menulis, kebebasan berorganisasi dan kebebasan memilih pemimpin. Mereka berbenturan dengan "Paket 5 UU Politik" Soeharto yang menopang kekuasaan Orde Baru.
Sudah sewajarnya istana dari presiden yang baru terpilih diisi mantan tahanan politik/narapidana politik (Tapol/Napol), termasuk mereka yang pernah bergerilya karena masuk daftar pencarian (DPO) rezim Soeharto.
Di awal reformasi tumbuh mekar, Presiden BJ Habibie mengisi istananya dengan kehadiran tokoh Malari 74, Hariman "Harun" Siregar.
Lalu Presiden Abdurrachman Wahid alias Gus Dur menggantikan Habibie. Ia pun melakukan langkah serupa merekrut mantan Napol, Marsilam Simanjuntak (angkatan '74) untuk jabatan Sekretaris Kabinet sampai menduduki kursi Jaksa Agung. Ada pula pakar ekonomi Rizal Ramli yang dipercaya menjabat Menko Perekenomian, dan Hilal Hamdi sebagai Menakertrans dari angkatan '78.
Presiden Megawati Soekarnoputri bahkan mempercayakan jabatan strategis Menko Perekonomian dipegang mantan Napol Orde Baru, Dorojatun Kuncorojakti (angkatan '74).
Rezim berganti lewat Pemilu Langsung. Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden ke-6. Di dalam Dewan Pertimbangan Presiden yang disusunnya, hadir dua mantan Napol angkatan 74, Adnan Buyung Nasution dan (Almarhum) Syachrir alias Ci'il. Di kabinetnya ada Dipo Alam ('74), Jumhur Hidayat ('89) dan Andi Arief ('98).
Rezim Jokowi-JK pun diharapkan menampilkan para tokoh aktivis itu untuk berperan. Sebut saja, Bambang "Beathor" Suryadi yang merupakan eks Napol '89. Beathor adalah aktivis politik, punya rekam jejak menonjol di balik berdirinya sayap PDIP, Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) dan organisasi aktivis, ProDem.
Sementara di tim sukses Jokowi ada banyak nama "musuh" Orde Baru yang terlibat. Misalnya, Yopie Lasut ('74), Indro Tjahyono ('78), Jumhur Hidayat ('89), Bonar Naipospos ('89), Ammar Syah ('89), Fadjroel ('89), Roy Pakpahan ('89), StandarKiaa Latief ('89).
Tentu saja, masih banyak lagi mantan Tapol/Napol dan DPO era Soeharto yang ikut terlibat dalam kemenangan Jokowi-JK pada masa Pilpres 2014.
Mereka adalah kekuatan yang mempunyai idealisme serta jaringan luas, sehingga pantas diberikan posisi yang sesuai di Kabinet Kerja.
[ald]