Berita

ilustrasi

On The Spot

Suku Gipsi Laut Ditangkap, Digiring Ke Penampungan

Dianggap Nelayan Malaysia Yang Mencuri Ikan
KAMIS, 27 NOVEMBER 2014 | 10:13 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Di bawah tenda terpal yang dibangun seadanya itu, ratusan pria, wanita, dewasa, remaja, balita hingga ibu yang menyusui bayinya tidur berhimpitan. Semuanya berkulit gelap karena lama tinggal di laut.

Baju dan celana yang mereka kenakan kotor. Beberapa tak mengenakan baju. Tak ada yang memakai alas kaki.

Mereka adalah manusia pe­rahu” yang ditangkap aparat Pol­ri, TNI serta Kementerian Ke­lau­tan dan Perikanan, karena men­jaring ikan di perairan Indo­nesia. Tenda besar di lapangan Bu­la­lung, Pulau Derawan, Kam­pung Tanjung Batu, Berau, Ka­li­mantan Utara, disediakan untuk jadi tem­pat penampungan mereka.

Pemerintah menyebut mereka yang ditangkap itu adalah nela­yan Malaysia yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Namun, pe­merintah Malaysia tak me­nga­kui­nya. Semua nelayan negeri jiran yang melanggar batas wilayah su­dah dikembalikan ke negaranya.

Ternyata manusia perahu itu ada­lah Suku Bajo. Suku ini di­ke­nal sebagai nomaden. Mereka hi­dup di laut dan mengarungi per­airan Indonesia, Malaysia ma­u­pun Filipina. Lantaran itu ada yang menyebut mereka gipsi laut”. Di Indonesia, suku ini ter­sebar di 21 provinsi. Jumlahnya mencapai puluhan ribu orang.

Laut dengan Suku Bajo seperti tak terpisahkan. Suku ini mem­ba­ngun tempat tinggal model pang­gung di atas laut. Di Sam­pela, Pulau Kaledupa, Wakatobi, Su­lawesi Tenggara, terdapat per­kampungan suku ini.

Anak-anak berusia 4-6 tahun su­dah jago menyelam. Di usia se­dini itu, mereka dapat menyelam selama 5 menit tanpa alat bantu per­napasan. Itu yang paling lama namanya Kardo. Dia masih 4 tahun,” ujar Abdullah, warga Bajo di Sampela, menunjuk bo­cah-bocah yang asyik berenang.

Setiap hari anak-anak Bajo ber­latih menyelam di depan rumah mereka. Sebuah kayu besar se­ngaja dipasang di dasar laut se­bagai tempat berpegangan. War­ga Bajo mengandalkan hidup se­bagai nelayan.

Ada aturan main” dalam me­nangkap menangkap ikan yang ditaati bersama oleh Suku Bajo. Yaitu, memilih ikan yang usianya sudah matang untuk dikonsumsi. Mereka tidak mau menangkap ikan yang masih kecil.

Cara mem­bedakannya, mereka tahu persis musim bertelur ma­sing-masing jenis ikan sehingga ikan yang bertelur tidak akan di­ambil. Ini kearifan lokal yang di­pegang teguh suku ini.

Untuk mencari ikan, Suku Bajo membawa sampan ke tengah laut, kemudian menyelam tanpa alat bantu pernapasan. Mereka hanya mengenakan kacamata yang frame-nya terbuat dari kayu. Ikan-ikan ditangkap dengan ban­tuan alat sejenis panah.

Di Wakatobi, suku Bajo juga menjaga segi tiga karang dunia yang sangat terkenal sebagai sur­ga para penyelam.

Kami punya moto di lao de­na­kangku (lautan adalah sau­da­raku),” tegas Abdul Manan, Pre­siden Suku Bajo Indonesia.

Perkampungan Bajo di Wa­ka­tobi tersebar di lima lokasi. Yakni, di Mola, Pulau Wangi-Wangi; Man­tigola dan Lohia di Pulau Ka­ledupa; Lamanggu di Pulau To­mia; dan Sama Bahari di Sampela.

Wakatobi merupakan kepen­dekan empat pulau besar di sana, yakni Wangi-Wangi, Kaledupa, To­mia, dan Binongko. Dengan da­tang langsung ke Wakatobi, eksotisme suku Bajo terlihat lebih indah dari yang digambarkan film The Mirror Never Lies yang di­bintangi Atiqah Hasiholan dan Reza Rahadian.

Populasi masyarakat suku bajo yang mendiami wilayah pesisir Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), me­rupakan yang terbesar di seluruh wilayah pesisir Indonesia.

Khusus di kota Wangi-Wangi saja, jumlah populasi suku Bajo men­capai 20 ribu jiwa. Di daerah lain, seperti Kalimantan, Sula­wesi Selatan dan Sulawesi Te­ngah, dalam satu komunitas su­ku Bajo paling banyak 3.000 hingga 5.000 jiwa,” ungkap Ke­pala Di­nas Kelautan dan Per­ikanan Ka­bupaten Wakatobi, La Ode Hajibu.

Populasi Suku Bajo yang terus meningkat di Wakatobi, menjadi tantangan tersediri bagi Peme­rin­tah Kabupaten Wakatobi. Teruta­ma, saat melakukan pembinaan dan pemberdayaan ekonomi Su­ku Bajo. Pasalnya, seluruh ko­mu­nitas masyarakat tersebut se­pe­nuhnya menggantungkan hi­dup dari hasil laut dan mengambil batu karang yang dijual menjadi bahan membangun rumah.

Kesulitan kita dalam mela­ku­kan pembinaan terhadap ma­sya­rakat suku Bajo, karena mereka tidak mencari sumber kehidupan lain selain dari potensi sumber daya alam yang ada di laut,” katanya.

Di sisi lain, lanjutnya, potensi sum­ber daya laut, terutama ter­um­bu karang, harus diselamatkan dari berbagai ancaman kerusakan ka­rena bisa mengancam keles­ta­rian sumber daya perikanan yang menjadi sumber kehidupan uta­ma masyarakat Wakatobi.

Di tengah kita melakukan pe­ngawasan terhadap aktivitas mas­yarakat Bajo mengambil batu ka­rang, ada saja warga yang luput dari pantauan petugas,” akunya.

Kalaupun ada warga ter­tang­kap tangan sedang mengambil ba­tu karang, sulit diproses hu­kum karena pelakunya nenek-nenek yang sudah berusia lanjut.

Me­nurut La Ode, jumlah nela­yan miskin di Wakatobi yang tersebar di 100 desa dan kelurah­an men­capai 31.000 jiwa lebih atau se­ki­tar 34 persen dari total pen­duduk Wakatobi yang ber­jumlah sekitar 114.000 jiwa.

Jumlah nelayan sebanyak itu, ti­dak memiliki sumber pend­a­pa­tan lain kecuali hanya meng­gan­tungkan hidup dari potensi sum­ber daya kelautan yang ada di Wakatobi.

Makanya, kita Peme­rintah Ka­bupaten Wakatobi tetap men­jaga kelestarian wilayah Wa­ka­tobi dan membina nelayan agar me­manfaatkan sumber daya ke­lautan secara berkelanjutan,” pung­kasnya.

Jago Menyelam, Diundang Ikut Kontes Di Jerman


Pada 2007 berdiri perkumpul­an Suku Bajo internasional. Abdul Ma­nan termasuk salah seorang penggagas perkumpul­an itu. Ang­gota pertama berasal dari In­do­nesia, Malaysia, dan Filipina. Belakangan, Suku Bajo di Thai­land juga bergabung.

Meski ter­sebar di berbagai ne­gara, bahasa mereka sama, yak­ni bahasa Bajo. Hanya, ma­sing-masing dipenga­ruhi logat wi­layah tempat mereka mene­tap,” kata Manan.

Masing-masing Suku Bajo di se­buah negara memiliki pemim­pin yang disebut presiden. Pada 2008, para ketua perkumpulan Suku Bajo di Indonesia bertemu di Jakarta dan menunjuk Manan sebagai Presiden pertama Suku Bajo Indonesia.

Pertimbangannya, selain ting­kat pendidikan yang tinggi, po­pu­lasi Suku Bajo di Wakatobi me­rupakan yang terbesar di Indo­nesia. Jumlahnya mencapai 12 ribu orang.

Selama enam tahun men­jadi Presiden Bajo, Manan berupaya keras mendorong war­ga Bajo untuk bersekolah. Dia sibuk mencarikan beasiswa bagi war­ga Bajo di berbagai per­gu­ruan tinggi.

Saat ini, sudah 111 orang Bajo yang kuliah di Unhalu. 11 orang di fakultas kedok­teran,” ungkap Manan bangga.

Kami juga tengah menjalin kerja sama dengan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung,” sambungnya.

Pada 7-9 No­vember 2013, Manan me­ngi­nisia­tori Festival Bajo Internasional di Wakatobi. Seluruh perwakilan Bajo dari ber­bagai negara hadir. Mereka meng­gelar berbagai upa­cara dan ritual adat. Salah satu lomba yang khas adalah Pidda­nang Mando, yakni lomba mena­han napas di dalam laut.

Saat itu, rekor yang tercipta se­kitar 12 menit,” kata Manan.

Warga Bajo memang dikenal ahli menyelam. Mereka bisa me­nyelam cukup lama di laut tanpa bantuan peralatan. Seorang warga Bajo di Desa Sama Ba­hari, Sam­pela, dekat Pulau Ka­ledupa, La Oda, dipercaya bisa menyelam hing­ga lebih dari 20 menit tanpa alat bantu per­na­pasan. Dia se­m­pat di­undang ke Jerman untuk kon­tes free diving di sana.

Tinggalkan Laut, Dapat Beasiswa Kuliah Di Thailand

Abdul Manan, Presiden Bajo Indonesia

Suku Bajo adalah suku bangsa yang tanah asalnya dari Ke­pu­lauan Sulu, Filipina Selatan. Me­­reka nomaden yang hidup di atas laut, sehingga disebut gipsi laut. Suku Bajo menggunakan bahasa Sama-Bajo. Sejak ratu­san tahun yang lalu sudah me­nyebar ke negeri Sabah dan ber­bagai wilayah Indonesia.

Saat ini, Suku Bajo menyebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia, terutama Indonesia Timur, bahkan sampai ke Ma­dagaskar. Wilayah Indonesia yang didiami suku ini antara lain: Kalimantan Ti­mur (Berau, dan Bontang), Ka­limantan Selatan (Kota Baru) disebut orang Bajo Rampa Ka­pis, Sulawesi Selatan (Selayar), Sulawesi Tenggara, Nusa Teng­gara Barat, Nusa Tenggara Ti­mur (Pulau Boleng, Seraya, Lo­ngos, dan Pulau Komodo), dan Sapeken, Kepulauan Kangenan, Sumenep, Jawa Timur.  

Pemimpin Suku Bajo di In­do­nesia disebut presiden. Ab­dul Manan, adalah presiden per­ta­ma Suku Bajo Indonesia. Me­na­riknya, pemimpin suku yang rumahnya di atas laut itu adalah seorang pakar lingku­ngan lulu­san luar negeri.

Manan tinggal di pemukiman Suku Bajo di Kampung Mola, Wangi-wangi Selatan, Wa­ka­tobi, Sulawesi Tenggara. Ada 1.200 rumah panggung yang berdiri di kampung itu. Setiap sore, warga Wangi-Wangi da­tang ke Mola untuk membeli ikan.

Banyak jenis ikan yang di­jual di sana dan harganya sa­ngat murah. Misalnya, ikan ke­rapu biru yang di pulau Jawa bisa men­capai Rp 700 ribu per kilo­gram di Mola paling mahal Rp 50 ribu.

Di kampung itulah Manan berasal. Pria kelahiran 19 Mei 1961 tersebut dipilih menjadi Pre­siden Bajo sejak 2008. Dia dipilih dalam kongres pertama suku Bajo di Jakarta.

Manan merupakan seorang di antara sedikit warga Bajo yang memiliki kesadaran tentang pen­didikan. Setelah lulus SMP, dia bersikeras meninggalkan Mola. Tidak ada teman-teman se­bayanya saat itu yang melan­jutkan ke SMA.

Bahkan, tidak banyak anak Bajo yang menikmati bangku SMP. Mereka memilih mem­bantu orang tua mencari ikan di laut. Modal nekad, Manan me­lanjutkan SMA di Bau-Bau, Su­lawesi Tenggara.

Saya saat itu ka­gum dengan orang yang pu­lang ke Wakatobi setelah me­ran­tau untuk kuliah. Mereka ter­lihat hebat di mata saya,” kisah Manan.

Lulus SMA di Bau-Bau, Ma­nan mendapat beasiswa untuk ku­liah di Fakultas Pertanian Uni­­ver­sitas Halu Oleo (Un­halu), Ken­­dari. Dia seangkatan de­ngan Hu­gua, Bupati Wakatobi saat ini. Lulus kuliah, Manan sempat men­jadi dosen di Unhalu.

Kemudian, dia mendapat ke­sempatan melanjutkan S-2 di ju­rusan teknik lingkungan di Chiang Mai University, Thai­land. Sepulang dari Negeri Ga­jah Putih itu, Manan diper­caya rektor Unhalu saat itu, Prof So­leh Salahudin, menjadi ke­pala pusat studi lingkungan.

Pada 2003, Wakatobi menja­di kabupaten baru, hasil peme­ka­ran dari Kabupaten Buton. Baru pada 2006, Wakatobi me­miliki bupati sendiri setelah dipimpin pe­laksana tugas (Plt) bupati. Hu­gua, teman kuliah Manan, terpilih menjadi bupati pertama Wakatobi.

Pada 2007, Hugua meminta Manan pulang kampung untuk menjadi staf ahli di bidang ling­kungan. Sejak 2008 hingga se­karang, Manan dipercaya men­jadi kepala Badan Perenca­naan Pembangunan Daerah (Ba­p­peda). ***

Populer

Warganet Beberkan Kejanggalan Kampus Raffi Ahmad Peroleh Gelar Doktor Kehormatan

Senin, 30 September 2024 | 05:26

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

WNI Kepoin Kampus Pemberi Gelar Raffi Ahmad di Thailand, Hasilnya Mengagetkan

Minggu, 29 September 2024 | 23:46

MUI Tuntut Ahmad Dhani Minta Maaf

Rabu, 02 Oktober 2024 | 04:11

Stasiun Manggarai Chaos!

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 13:03

Rhenald Kasali Komentari Gelar Doktor HC Raffi Ahmad: Kita Nggak Ketemu Tuh Kampusnya

Jumat, 04 Oktober 2024 | 07:00

UPDATE

Muhibah ke Vietnam dan Singapura

Selasa, 08 Oktober 2024 | 05:21

Telkom Investasi Kesehatan Lewat Bantuan Sanitasi Air Bersih

Selasa, 08 Oktober 2024 | 04:35

Produk Olahan Bandeng Mampu Datangkan Omzet Puluhan Juta

Selasa, 08 Oktober 2024 | 04:15

Puluhan Anggota OPM di Intan Jaya Kembali ke NKRI

Selasa, 08 Oktober 2024 | 03:55

70 Hakim PN Surabaya Mulai Lakukan Aksi Mogok

Selasa, 08 Oktober 2024 | 03:30

Gotong Royong TNI dan Rakyat

Selasa, 08 Oktober 2024 | 03:15

Pemerintahan Jokowi Setengah Hati Bahas Kesejahteraan Hakim

Selasa, 08 Oktober 2024 | 02:50

Perkuat Digitalisasi Maritim, TelkomGroup Hadirkan Satelit Merah Putih 2

Selasa, 08 Oktober 2024 | 02:20

Prabowo Harus Naikan Gaji Hakim Demi Integritas dan Profesionalitas

Selasa, 08 Oktober 2024 | 01:55

Tertangkap, Nonton Perayaan HUT ke-79 TNI Sambil Nyopet HP

Selasa, 08 Oktober 2024 | 01:35

Selengkapnya