Polisi menyangka, Tunggul P Sihombing, bekas Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Kesehatan menyamarkan aset hasil korupsi menggunakan nama orang lain.
Kepolisian pun tidak meÂnuÂtup kemungkinan, menetapkan status tersangka baru dalam perÂkara tindak pidana pencucian uang (TPPU). Hal itu seiring lengkapnya berkas perkara terÂsangÂka korupsi proyek pengaÂdaÂan fasilitas pembuatan vaksin flu burung tahun 2008-2010.
Penyidik Bareskrim pun meÂlimÂpahkan barang bukti, terÂsangÂka dan berkas perkara ke KeÂjakÂsaan Agung. “Setelah gelar perÂkara lengkap, berkas perkara dan semua kelengkapannya sudah diÂlimpahkan ke Kejagung,†kata Kasubag Operasional Direktorat III Tipikor Bareskrim AKBP Arief Adiharsa.
Dia menyatakan, pengusutan perÂkara korupsi untuk tersangka Tunggul sudah selesai. Kini, yang tengah dikembangkan penyidik ialah menginventarisir aset-aset tersangka.
Arief menduga, masih ada hal yang bisa dikembangkan dari aset-aset tersebut. “Tersangka meÂnyembunyikan aset hasil keÂjahatannya menggunakan nama orang lain,†katanya.
Atas dugaan tersebut, kepoÂliÂsian mengagendakan peÂmeÂrikÂsaÂan pada orang-orang yang namaÂnya dipakai tersangka meÂnyaÂmarÂkan aset-aset tersebut.
Menjawab pertanyaan seputar aset apa saja yang disamarkan deÂngan nama orang lain, Arief meÂnandaskan, aset tersebut keÂbaÂnyaÂkan berbentuk sertifikat taÂnah. “Total aset berupa sertifikat tanah yang kami sita ada 136. Semuanya dijadikan barang bukti perkara korupsi tersangka,†ucapnya.
Dari ratusan sertifikat tanah tersebut, terdapat nama anggota keÂluarga tersangka yang dijadiÂkan sebagai pemilik sah tanah tersebut. Artinya, duga dia, terÂsangÂka membeli tanah mengÂguÂnaÂkan nama anggota keluarÂgaÂnya. “Diduga, uang yang diÂguÂnaÂkan membeli tanah tersebut diÂperoleh tersangka dari hasil koÂrupsi,†ucapnya.
Hanya, Arief belum bersedia membeberkan siapa saja saksi-saksi yang dijadwalkan dimintai keterangan. Dia juga tidak berseÂdia membeberkan nama keÂpeÂmilikan tanah-tanah tersebut, mauÂpun lokasinya.
Lagi-lagi, sambungnya, kepeÂmilikan tanah di berbagai daerah tersebut menimbulkan kecuÂriÂgaÂan. Oleh sebab itu, penyidik meÂrasa perlu untuk meÂngemÂbangÂkan kasus korupsi alkes ini ke perkara dugaan pencucian uang.
“Dengan kata lain, bisa saja ulah tersangka dalam kasus ini bertambah. Itu tergantung pada alat bukti yang kami kumÂpulÂkan,†ucap perwira menengah ini.
Proyek flu burung ini, lanjut Arief, anggarannya mencapai Rp 770 miliar. Karena besarnya angÂgaran itu, penyidik masih meÂneÂluÂsuri dugaan keterlibatan pihak lain.
Dia mengakui, penyidikan kaÂsus ini di kepolisian terkesan lamÂban. Hal itu dilatari panjangnya koordinasi dengan Kejagung dan KPK yang sama-sama menaÂngani perkara korupsi pengadaan alkes. Tapi, KPK dan Kejagung menangani kasus alkes yang lain.
Di luar itu, kata dia lagi, pengÂhitungan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga baru tuntas alias selesai. “Koordinasi dengan KPK, Kejagung dan BPK dilaÂkuÂkan untuk mengumpulkan bukÂti-bukti,†ucapnya.
Menurut Kepala Sub DirekÂtoÂrat V-Direktorat III Tindak PiÂdana Korupsi Bareskrim Kombes Andi Heru, polisi mengembangkan kaÂsus ini ke perkara TPPU, meÂngiÂngat adanya temuan berupa transÂfer antar rekening tersangka deÂngan sejumlah pihak.
“Ini masih dikembangkan, kaÂrena kejahatan korupsi dan TPPU model ini, tidak mungkin dilÂaÂkukan tersangka seorang diri,†tandasnya.
Jadi besar kemungkinan, sebut Andi, masih ada orang lain yang diÂduga terlibat kasus korupsi pemÂbangunan pabrik pembuatan vaksin flu burung terbesar se-Asia Tenggara di Cisarua, KabuÂpaÂten Bandung, Jawa Barat itu.
Kepala Pusat Penerangan dan HuÂkum (Kapuspenkum) KeÂjaÂgung Tony T Spontana menÂÂanÂdasÂkan, kejaksaan pun berupaÂya untuk mempercepat proses peÂnyuÂsun berkas dakÂwaÂan terÂsangka.
Hal tersebut dilatari dugaan keÂterkaitan tersangka dengan perÂkara yang pernah ditangani keÂjakÂsaan. “Prinsipnya, tidak ada kenÂdala dalam menyusun berkas dakÂwaan tersangka,†katanya.
Kilas Balik
Ditahan Polisi Karena Sering Tak Penuhi PanggilanBareskrim Polri menahan tersangka kasus korupsi proyek pembangunan pabrik dan alat-alat produksi vaksin flu burung, Tunggul P Sihombing (TPS), PeÂjaÂbat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Kesehatan.
Kepala Sub Direktorat V-DiÂrektorat III Tindak Pidana KoÂrupÂsi Bareskrim Kombes Andi Heru menerangkan, jajarannya meÂnaÂhan tersangka Tunggul P SiÂhomÂbing pada 16 Juni lalu. Penahanan tersangka didasari surat perintah peÂnahanan nomor Han/03/VI 2014. “Tersangka TPS telah ditaÂhan di Rutan Bareskrim,†katanya.
Pada perkara ini, Tunggul berÂtindak selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Proyek PeÂngaÂdaan Peralatan dan Pembangunan Fasilitas Produksi, Riset dan Alih Teknologi Produksi Vaksin Flu BuÂrung, Direktorat Jenderal PeÂngendalian Penyakit dan PeÂnyeÂhatan Lingkungan Kemenkes taÂhun 2008-2010.
Andi mengaku, panjangnya proses penyidikan dan penahanan dipicu lamanya proses pengÂhiÂtuÂngan kerugian negara yang meÂmakan waktu dua tahun. Penyidik juga menyimpulkan, selama peÂnyidikan, tersangka TPS tidak kooperatif membantu penyidik menyelesaikan kasus tersebut.
“Dia sering mangkir dari pangÂgiÂlan penyidik. Beberapa kali, terÂsangka hanya mengirim kuasa huÂkum untuk menemui penyidik deÂngan alasan sedang sakit,†kata Andi.
Begitu penyidik dan tim medis meÂmeriksa kesehatan tersangka, meÂnurut Andi, ternyata TPS seÂhat. Hal seperti itu, lanjutnya, tentu memÂbuat penyidikan ikut terhambat.
Sekalipun demikian, papar Andi, penyidik tidak mempeÂtiesÂkan kasus ini. Beragam upaya seperti pengumpulan keterangan saksi, dokumen dan bukti-bukti lainnya tetap dilaksanakan untuk melengkapi berkas perkara.
“Begitu penghitungan audit BPK keluar, kita langsung meÂnaÂhan TPS yang sudah menyandang status tersangka sejak 2012,†tandasnya. Yang terpenting, lanÂjutnya, penyidik berupaya memÂpercepat pemberkasan perkara tersangka TPS.
Wakil Direktur III Direktorat Tipikor Bareskrim Kombes Akhmad Wiyagus menamÂbahÂkan, pada pengusutan kasus ini, penyidik sebelumnya telah mÂeÂmeÂriksa puluhan saksi. SedikitÂnya, kata dia, ada 44 saksi yang telah dimintai keterangannya.
Saksi-saksi tersebut adalah, 15 orang berasal dari panitia pengaÂdaan barang dan jasa, 15 orang panitia penerima barang, 11 orang tim teknis dari staf PT Bio Farma, serta tiga saksi berasal dari peÂruÂsaÂhaan vendor atau reÂkanan peÂlakÂsana proyek.
“Keterangan saksi-saksi itu suÂdah dievaluasi untuk kepenÂtingan meÂlengkapi berkas perÂkara terÂsangka. Di luar itu diÂpergunakan unÂÂtuk meÂngemÂbangÂkan perkara,†kata bekas peÂnyiÂdik KPK ini.
Sampaikan Jika Penanganan Kasus Korupsi Dihentikan Deding Ishak, Politisi Partai GolkarPolitisi Partai Golkar DeÂding Ishak meminta kepolisian lebih serius dalam menangani perkara tindak pidana korupsi.
Hal itu dilakukan mengingat maÂsih minimnya hasil peÂngungÂÂkapan kasus korupsi, khuÂsusnya oleh Bareskrim.
“PeÂÂnanganan kasus korupsi oleh kepolisian, khususnya BaÂreskrim, beÂlaÂkaÂngan terlihat saÂngat minim,†katanya.
Padahal, menurut catatannya, ada beberapa perkara korupsi yang sempat masuk dan ditaÂngani kepolisian. Idealnya, seÂbut dia, penanganan perkara koÂrupsi tersebut disampaikan seÂcara terbuka. Sudah seÂjauhÂmana kemajuan peÂnaÂngaÂnaÂnÂnya, atau justru sudah diÂhenÂtiÂkan penyidikannya.
“Transparansi kemajuan haÂsil penyidikan ini sangat penÂting. Dari situ masyarakat akan melihat dan memberi penilaian tentang kinerja kepolisian,†tuturnya.
Dia menandaskan, apapun kendala yang menghambat peÂngusutan perkara korupsi prÂoÂyek alat kesehatan (alkes) KeÂmenkes, seyogyanya tidak dijaÂdikan alasan untuk menutup keÂran atau akses keterbukaan inÂforÂmasi. Justru semestinya, hamÂÂbatan tersebut menjadikan keÂpolisian lebih profesional meÂnyiÂkapi suatu kasus.
Disampaikan, sejauh ini KoÂmisi III DPR selaku mitra kerja kepolisian, senantiasa membÂeÂriÂkan dukungan untuk kemaÂjuan kepolisian. Jika dukungan optimal tersebut tak dimanÂfaatÂkan sebaik-baiknya, praktis duÂkungan tersebut akan dievaluasi untuk perbaikan.
“Kita tidak ingin kinerja buÂruk kepolisian membangkitkan kekecewaan pada masyarakat selaku stake holder Polri,†tuÂturnya.
Perlu Koordinasi Dengan KPK Dan KejagungBambang Widodo Umar, Pengajar Ilmu KepolisianDosen Pascasarjana Fakultas Ilmu Kepolisian Universitas InÂdonesia (UI) Bambang WiÂdodo Umar menilai, kelambanan pengusutan perkara korupsi alat kesehatan (alkes) di kepolisian, idealnya tidak dijadikan poleÂmik berkepanjangan.
Alasan perlunya koordinasi deÂngan KPK, Kejaksaan Agung, dan BPK pun perlu diÂantisipasi sedini mungkin. “Masuk akal kalau pengusutan perkara koÂrupsi ini memakan waktu hingÂga dua tahun,†bela pensiunan polisi ini.
Persoalannya, pada saat berÂsamaan, pengusutan kasus seÂrupa juga dilakuan KPK dan Kejaksaan Agung. Otomatis, seÂbutnya, perlu ada koordinasi secara intensif antar lembaga tersebut.
Hal itu ditujukan untuk meÂnghimpun bukti-bukti dan keÂterangan tersangka maupun sakÂsi-saksi.
“Perlu ada keselarasan antar penyidik dalam mengÂhimÂpun bukti-bukti tersebut. Ini tiÂdak bisa dilakukan secara seÂramÂpangan,†ujarnya.
Di sisi lain, kata dia, lengÂkapÂnya berkas perkara kasus ini meÂnunjukkan bahwa kepolisian tidak berdiam diri. Menurut dia, ada hasil yang cukup jelas.
Diharapkan, beragam rintaÂngan yang kerap menghalangi proses penyidikan, dapat diÂanÂtisipasi dengan baik. Dia seÂpaÂkat apabila kata kunci keÂberÂhasilan dalam menangani kasus ini ialah koordinasi antar lembaga.
“Koordinasi dalam peÂnyiÂdiÂkan itu kelihatannya sepele. Tapi begitu dilaksanakan, meÂmiliki beragam kendala. Jadi ini perlu waktu dan trik yang khuÂsus,†tutur alumni Akademi KeÂpoÂlisian angkatan 1971 ini. ***