Berita

Jakarta International School (JIS)

On The Spot

Ibu Korban Dikawal Lima Petugas LPSK

Hadiri Sidang Kasus Pelecehan Di JIS
KAMIS, 25 SEPTEMBER 2014 | 08:32 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Kasus pelecehan siswa Jakarta International School (JIS) kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kemarin. Agendanya masih mendengarkan keterangan saksi-saksi. Kali ini, yang dihadirkan adalah orang tua korban.

Terdakwa Afrischa alias Icha lebih dulu menjalani persidangan. Awalnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menutup rapat-rapat saksi yang dihadirkan dalam persi­da­ngan yang dibuka pukul 11 itu. Pi­hak kuasa hukum pun tak di­beritahu.

“Di BAP (Berita Acara Pe­me­riksaan) kan ada banyak saksi. Itu kan tergantung jaksa,” ujar Is­dawati, kuasa hukum Icha.

“Saya tidak tahu siapa yang akan jadi saksi,” imbuhnya.

Dalam sidang itu, Icha me­nge­nakan kemeja putih, celana pan­jang hitam, serta jilbab hitam. Se­telah pegawai PT Indonesia Se­r­vant Service (ISS) itu masuk ke da­lam ruang sidang, seorang pe­rempuan terlihat turun dari lantai dua gedung pengadilan ini.

Ia mengenakan pakaian serba hitam. Mulai dari kerudung hing­ga kacamata yang menutup se­ba­gian wajahnya. Ia juga memakai se­patu hak tinggi (high heels) hi­tam untuk menunjang tubuhnya.

Ketika dia turun dari lantai dua di­dampingi sejumlah orang. Be­lakangan baru diketahui bahwa perempuan itu adalah saksi yang di­hadirkan jaksa dalam persi­da­ngan ini. Ia adalah Dewi, ibu dari AL, yang diduga menjadi korban kedua para petugas kebersihan PT ISS yang ditempatkan di JIS.

Hakim memutuskan sidang berlangsung tertutup. Kesaksian para orangtua siswa JIS yang diduga jadi korban pelecehan pun tak bisa diketahui.

Perempuan lain bernama Pipit ju­ga dihadirkan seba­gai saksi da­lam persidangan itu. Ia juga di­kawal beberapa orang ketika menghadiri persidangan. Sedikit­nya ada lima orang yang me­ngawalnya.

Siapa mereka? Kuasa hukum Pipit, Andi Asrun mengatakan, mereka petugas dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). “Mereka (LPSK) mem­berikan perlindungan kepa­da saksi. Ini pengamanan resmi dari mereka,” kata Asrun. Terlebih lagi, orangtua siswa akan mem­berikan kesaksian yang me­m­be­ratkan para terdakwa.

Meski hanya Pipit yang akan memberikan kesaksian, suami­nya diperkenankan untuk masuk ke dalam ruang sidang. Suaminya warga negara asing. Sementara kuasa hukumnya, Asrun, tak di­per­kenankan masuk oleh majelis hakim. Ia pun menunggu di luar ruang sidang.

Dalam persidangan kali ini tampak sejumlah orang yang selalu berjaga di samping kedua saksi saat mereka masuk ke ruang persidangan.

Dewi memilih mengunci mulut be­gitu selesai menjadi saksi. Dewi bahkan menutup wajahnya de­ngan kain panjang warna hitam.

Mengenakan pakaian serba hitam, Dewi ngeloyor begitu saja meninggalkan kerumunan war­ta­wan yang lama menung­gu­nya di depan pintu ruang sidang. Dia me­langkah cepat ke arah ruang ber­tuliskan “Ruang Rapat”.

Apa saja kesaksian ibu korban? Patra Mijaya Zein, kuasa hukum petugas kebersihan ISS bersedia mengungkapkannya. Kata dia, setelah ditanyakan tentang fakta-fakta di persidangan, saksi men­jelaskan apa yang diketahunya berd­asarkan keterangan dari anak­nya masing-masing.

“Dari keterangan semua ibu yang menjadi saksi, cerita perkara sodomi ini berdasarkan ketera­ngan dari anaknya. Belum ada yang melihat langsung pidana so­domi yang terjadi itu,” ungkap Patra.

Ia menuturkan, semua ket­e­ra­ngan yang saksi berikan be­r­da­sar­kan keterangan anak. Keterangan ini perlu didukung bukti. Sebab itu, bukti medis dan keterangan dokter yang melakukan peme­rik­saan terhadap korban menjadi penting.

Patra membeberkan, berdasar­kan hasil visum Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) No­mor 183/IV/PKT/03/2014 ter­tanggal 25 Maret 2014, sama se­kali tidak ditemukan luka lecet atau robekan pada lubang pelepas (anus) korban. Hasil visum juga menyebutkan lipatan sekitar lu­bang pelepas tampak baik dan ke­kuatan otot pelepas baik.

Tak hanya itu, hasil visum Ru­mah Sakit Pondok Indah (RSPI) Nomor 02/IV.MR/VIS/RSPI/2014 tanggal 21 April 2014 me­nyebutkan, pemeriksaan visual dan perabaan pada anus MAK ti­dak ada kelainan.

“Bukti medis dan keterangan dokter yang memeriksa anak penting. Keterangan anak dalam hukum acara bisa diragukan,” tandasnya.

Selain itu, dikatakan dia, ber­da­sarkan hasil visum dan uji la­boratorium tidak ditemukan hal yang menyatakan si anak me­ngidap penyakit seksual menular dan herpes. “Keterangan saksi korban menunjukkan bahwa dia tidak paham dengan kasus ini dan sa­ngat kentara terlalu di­paksakan. Kami yakin majelis hakim juga sudah dapat merasa­kannya,” tambahnya.

Patra melanjutkan, dalam du­gaan adanya pemaksaan terha­dap kasus JIS yang melibatkan lima petugas kebersihan ini su­dah te­rasa saat penyidikan, se­lain satu orang meninggal de­ngan tidak wajar.

Di pengadilan, kata dia, se­luruh terdakwa telah mencabut Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) lantaran seluruh materi di BAP tidak pernah mereka laku­kan dan ditandatangani dalam kondisi penuh ancaman.

“Perilaku pelecehan seksual merupakan tindakan yang sangat biadab. Namun menuduh dan men­dakwa seseorang melakukan tin­dakan yang tidak pernah me­reka lakukan merupakan ke­ja­ha­tan yang luar biasa,” ujarnya.

JIS Dituntut Ganti Rugi 125 Juta Dolar

Bersama Kemendikbud

Kasus pelecehan di Jakarta International School (JIS) juga ditarik ke ranah perdata. The­resia Pipit Widowati, ibu dari MAK (6 Tahun) mengajukan gugatan perdata terhadap seko­lah anaknya dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Alasannya, anak mengalami kekerasan seksual di sekolah itu. Tak tanggung-tanggung, Pi­pit meminta ganti-rugi se­be­sar 125 juta dolar AS atau se­ki­tar Rp 1,5 triliun.

Gugatan ini didaftarkan Pe­ngadilan Negeri (PN) Ja­kar­ta Selatan 21 April 2014. Di­re­gis­ter dengan nomor perkara 226/PDT.G/2014/PN.JKT.SEL.

Awalnya, penggugat m­e­min­ta ganti rugi 12 juta dolar AS atau sekitar Rp 132 miliar. Be­lakangan tuntutan mem­beng­kak 10 kali lipat menjadi 125 juta dolar AS.

Majelis hakim sudah me­ngupayakan mediasi antara pe­ngugat dengan JIS selaku Te­r­gugat I dan Kemendikbud Ter­gugat II. Namun gagal. Kuasa hukum JIS Harry Ponto men­i­lai, gugatan ini tak masuk akal. Tak terjadi “perdamaian”, si­dang berlanjut. Masing-masing pihak adu bukti.

PT ISS Indonesia pun ditarik sebagai tergugat. “Kita mena­rik ISS untuk menjadi pihak tergu­gat, agar majelis hakim men­de­ngar dulu keterangan dari ISS. Se­perti alasan The­resia Pipit meng­gugat karena terjadi keke­ra­san seksual ke­pada anaknya yang di­lakukan pegawai ISS. Ka­lau me­mang itu terjadi, ISS harus ter­libat ka­rena itu pegawai ISS, bu­kan pegawai JIS,” tandas Harry.

Pihak ISS akhirnya bersedia hadir di persidangan. Begitu pula dari pihak JIS dan Ke­men­dikbud. Sedangkan Pipit selaku penggugat tak pernah muncul di persidangan.

Untuk diketahui, enam petu­gas kebersihan PT ISS menjadi tersangka kasus dugaan pe­le­ce­han di JIS. Mereka yakni Vi­r­giawan Amin, Zainal Abidin Syahrial, Agun Iskandar, Af­rischa Setyani (perempuan). Satu lagi, Azwar, meninggal du­nia ketika berstatus ter­sang­ka dan sedang berada dalam tahanan Polda Metro Jaya.

Tersangka yang tersisa te­ngah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Se­latan.

Komnas HAM Diminta Bentuk Tim Investigasi


Kuasa hukum petugas keber­sih­an ISS meminta Komnas HAM, DPR dan kepolisian untuk melakukan investigasi proses penyidikan kasus pele­cehan di JIS.

Pasalnya, para petugas keber­sihan ISS yang kini jadi pe­sakitan di pengadilan, dipak­sa untuk mengaku sebagai pe­laku. Bahkan, mereka m­e­nc­e­ritakan pengalami penyiksaan. Satu ter­sangka kasus ini, Az­war --yang juga petugas ke­ber­sihan ISS--meninggal dunia di tahanan polisi.

Belakangan, di persidangan para terdakwa yang tersisa men­cabut keterangan mereka di da­lam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

“Autopsi terhadap korban Azwar juga akan menjadi alat bukti bahwa kasus ini memiliki skenario yang berbeda dengan fakta yang sesungguhnya terja­di,” kata Patra Mijaya Zein, kuasa hukum petugas ISS yang kini jadi terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Sebelumnya para keluarga ter­dakwa mengadu ke Komnas HAM atas dugaan penyiksaan dan pemaksaan ketika men­jalani proses penyidikan.

Ali Subrata, orang tua ter­dak­wa Zainal Abidin menga­takan, kedatangannya ke Komnas HAM untuk meminta keadilan atas anaknya. Hingga saat ini, dia yakin anaknya melakukan seperti yang dituduhkan.

“Zainal itu orang baik. Di ru­mah, dia ngerawat empat anak yatim,” ungkapnya.

Kepada Komnas HAM, ia men­ceritakan sulitnya bertemu dengan putranya begitu dipe­rik­sa dan menjadi tahanan Pol­da Metro Jaya sejak 25 April 2014. “Jumat sampai Selasa (25-29 April) tidak boleh ketemu. Alasannya, masih pro­ses pe­nyi­dikan,” ujar Ali.

Rabu (30/4), lanjut Sub­rata, dia baru dapat menemui put­ranya di Polda Metro Jaya. Bu­kan di ruang jenguk tahanan, melainkan di unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).

Betapa terkejutnya Ali men­dapati tubuh putra ketiganya l­e­bam-lebam. Sambil mem­per­li­hatkan pinggangnya, Zainal menceritakan dipukuli agar me­ngaku. “Dia itu anak baik. Saya nggak percaya anak saya mela­kukan kejahatan,” kata Ali ter­bata-bata lantaran menangis ke­tika meceritakan yang dialami anaknya kepada Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai.

Keluarga meminta Komnas HAM terlibat dalam pe­ngung­kapan kasus itu dengan memben­tuk tim pencari fakta in­dependen dan melakukan pe­man­­tauan se­cara langsung ter­hadap proses persidangan kasus JIS di Pe­ngadilan Negeri Jakarta Sela­tan yang berlangsung ter­tutup.

Pihak keluarga juga meminta Komnas HAM mengusut te­was­nya  Azwar, salah satu ter­sangka saat ditahan polisi. Azwar di­te­mu­kan tewas di toilet Polda Met­ro Jaya pada 26 April lalu.

Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai yang menerima ke­luarga terdakwa mengatakan akan menindaklanjuti penga­duan. Ia meminta keluarga mem­buat kronologi penyiksaan yang dialami para terdakwa.

Berdasarkan kronologi itu, Komnas HAM akan melakukan penelaahan. Jika memang dite­mu­kan ada dugaan pelanggaran HAM, bisa dilanjutkan dengan penyelidikan. ***

Populer

Warganet Beberkan Kejanggalan Kampus Raffi Ahmad Peroleh Gelar Doktor Kehormatan

Senin, 30 September 2024 | 05:26

Pernah Bertugas di KPK, Kapolres Boyolali Jebolan Akpol 2003

Senin, 07 Oktober 2024 | 04:21

Laksdya Irvansyah Dianggap Gagal Bangun Jati Diri Coast Guard

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 03:45

WNI Kepoin Kampus Pemberi Gelar Raffi Ahmad di Thailand, Hasilnya Mengagetkan

Minggu, 29 September 2024 | 23:46

MUI Tuntut Ahmad Dhani Minta Maaf

Rabu, 02 Oktober 2024 | 04:11

Stasiun Manggarai Chaos!

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 13:03

Rhenald Kasali Komentari Gelar Doktor HC Raffi Ahmad: Kita Nggak Ketemu Tuh Kampusnya

Jumat, 04 Oktober 2024 | 07:00

UPDATE

Muhibah ke Vietnam dan Singapura

Selasa, 08 Oktober 2024 | 05:21

Telkom Investasi Kesehatan Lewat Bantuan Sanitasi Air Bersih

Selasa, 08 Oktober 2024 | 04:35

Produk Olahan Bandeng Mampu Datangkan Omzet Puluhan Juta

Selasa, 08 Oktober 2024 | 04:15

Puluhan Anggota OPM di Intan Jaya Kembali ke NKRI

Selasa, 08 Oktober 2024 | 03:55

70 Hakim PN Surabaya Mulai Lakukan Aksi Mogok

Selasa, 08 Oktober 2024 | 03:30

Gotong Royong TNI dan Rakyat

Selasa, 08 Oktober 2024 | 03:15

Pemerintahan Jokowi Setengah Hati Bahas Kesejahteraan Hakim

Selasa, 08 Oktober 2024 | 02:50

Perkuat Digitalisasi Maritim, TelkomGroup Hadirkan Satelit Merah Putih 2

Selasa, 08 Oktober 2024 | 02:20

Prabowo Harus Naikan Gaji Hakim Demi Integritas dan Profesionalitas

Selasa, 08 Oktober 2024 | 01:55

Tertangkap, Nonton Perayaan HUT ke-79 TNI Sambil Nyopet HP

Selasa, 08 Oktober 2024 | 01:35

Selengkapnya