Alasan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu MK menjadi Undang-Undang karena bertentangan dengan UUD 1945.
“Kami hanya menjalankan tugas untuk menegakkan konstitusi. Tidak ada maksud lain. Kalau tidak bertentangan dengan UUD 1945, tentu tidak kami batalkan,†ujar Wakil Ketua MK, Arief Hidayat, kepada Rakyat Merdeka, di Gedung MK, Jakarta, Senin (17/2).
Sebelumnya MK telah membatalkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang.
Banyak yang keberatan dengan putusan tersebut, termasuk Ketua DPR Marzuki Alie yang menyebutkan MK tidak mau diawasi. Padahal, seharusnya tidak ada lembaga yang
power full, tanpa ada pengendalian terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Sudah dua kali DPR merevisi UU terkait pengawasan MK, tapi tetap dibatalkan MK.
Arief Hidayat selanjutnya mengatakan, apa yang dilakukan MK itu sudah sesuai ketentuan. Baik secara historis, filosofis, maupun Yuridis.
Berikut kutipan selengkapnya: Alasan filosofis dan yuridisnya apa?Begini, tugas MK itu kan menegakkan konstitusi untuk kehidupan masyarakat Indonesia. Bagaimana kalau MK tidak memiliki kewenangan untuk mengadili undang-undang tentang MK. Kemudian pemerintah dan DPR sepakat merevisi Undang-undang tentang MK, guna melemahkan kinerja MK, sehingga mereka bisa menerapkan sistem pemerintahan yang otoriter. Artinya, kewenangan MK bisa diperlemah.
Itu kan sudah melanggar konstitusi. Pertanyaannya, siapa yang bisa menguji kalau kewenangan MK diperlemah. Siapa yang bisa menegakkan konstitusi dan menjaga kehidupan masyarakat Indonesia.
Itu kan baru seandainya? Tugas MK justru untuk menjaga, agar hal buruk semacam itu tidak terjadi. Bisa bahaya kehidupan berbangsa dan bernegara kita kalau tidak ada kewenangan itu.
Bukankah tidak etis apabila MK mengadili UU tentang dirinya sendiri? Ini bukan sekadar masalah etis atau tidak etis. Ini demi menjaga negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Kalau tidak ada kewenangan untuk menguji Undang-Undang tentang MK, tidak akan ada yang melindungi hak warga negara.
Publik tetap saja menilai keputusan MK ini tidak fair karena hakim konstitusi memiliki kepentingan di situ? Undang-undang tentang MK itu sebetulnya bukan milik MK, melainkan milik publik. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, ini bukan sekadar untuk kepentingan para hakim. Publik memiliki kepentingan terhadap keberadaan kewenangan ini.
Lagipula prinsip itu tidak tepat diberlkukan di MK. Sebab, tidak ada hakim lain yang bisa mengadili undang-undang. Kalau di Mahkamah Agung (MA) ada kerabat atau orang dekat seorang hakim agung yang terlibat perkara, MA tinggal menunjuk hakim lainnya yang tidak ada sangkut pautnya untuk mengadili. Mereka punya alternatif. Sementara di MK kan tidak.
Isi undang-undang itu membuat MK lebih baik, kenapa tidak diterima saja ? MK sangat berterima kasih terhadap Presiden yang sudah membuat Perpu penyelamatan MK. Kami juga berterima kasih kepada DPR karena telah menjadikan perpu tersebut sebagai undang-undang. Kami juga berterimakasih kepada para pengamat seperti Refly Harun dan semua pihak atas perhatiannya terhadap perubahan MK yang lebih baik. Kami pun menginginkan agar MK terus menjadi lebih baik lagi. Masalahnya, semua pasal dalam undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 45 dasar konstitusi kita. Sementara tugas MK adalah menegakkan konstitusi.
Kalau MK memang ingin jadi lebih baik, kenapa ketentuan penting seperti pola rekrutmen tidak dibiarkan saja? Tidak bisa. Keberadaan panel ahli yang melibatkan Komisi Yudisial (KY) itu mereduksi kewenangan Presiden, MA, dan DPR yang diatur dalam UUD 1945.
Dalam UUD 1945 seharusnya KY kan tidak terlibat di dalam pemilihan calon Hakim MK. Lain ceritanya kalau yang membentuk panel ahli adalah Presiden, DPR, atau MA.
MK tidak bisa menggugat itu meskipun masing-masing (Presiden, DPR, dan MA) memiliki panel ahlinya sendiri. Sebab kewenangan untuk menentukan calon hakim MK memang ada di ketiga lembaga tersebut. Itu diatur dalam UUD 1945.
Bukankah selama ini tolak ukur penilaiannya tidak jelas?Makanya di dalam putusan itu kami memberikan catatan. Kami meminta agar di masa mendatang, ketiga institusi itu membuat proses seleksi yang transparan, partisipatif, dan memiliki tolak ukur penilaian yang jelas-jelas bagus. Kami juga berharap mendapatkan para hakim yang bagus kapabilitas dan integritasnya. Sebab, berdasarkan UUD 1945 mereka yang diberi kewenangan melakukan hal tersebut.
MK tidak ada yang mengawasi, ini bagaimana?Ya, tidak apa-apa. MK akan mematuhi semua ketentuan UUD 1945. Kalau UUD 1945 menyatakan kami diawasi KY, ya kami ikut. Kalau UUD 1945 menyatakan kami di bawah DPR, kami juga bersedia. Kami ini kan penegak konstitusi. Kami tidak bisa melawan amanat konstitusi.
Soal calon hakim MK harus vakum selama tujuh tahun dari parpol, bagaimana?Tentang persyaratan menjadi hakim konstitusi dari latar belakang parpol yang diharuskan terlebih dulu non aktif minimal tujuh tahun dari partainya, kami juga menolaknya. Sebab, dianggap sebagai generalisasi yang berlebihan. Stigmatisasi seperti ini mencederai hak-hak konstitusional seorang warga negara yang terkena stigmatisasi tersebut. Padahal haknya diatur dalam UUD 1945.
MK mengadili sengketa pilkada, bukankah ini rawan konflik kepentingan dan disuap? Kami melihat soal latar belakang partai ini cuma bersifat reaktif. Kebetulan saja yang berkasus itu hakim MK dari latar belakang partai. Pertanyaannya, adakah jaminan orang yang berlatar belakang non partai bersih. Tidak ada kan. Kita semua tahu, orang yang terlibat kasus berasal dari berbagai macam latar belakang. Saya tanya lagi, kalau yang kebetulan berkasus orang dari MA apakah akan ada aturan calon hakim MK harus vakum dulu selama tujuh tahun dari MA.
Atau jika yang kebetulan berkasus dari kalangan akademisi apakah akan ada aturan calon hakim MK harus vakum dulu selama tujuh tahun dari bidang akademis. Semua itu kembali lagi kepada masing-masing individu.
Banyak pihak menilai MK tidak mau diawasi, apa betul? Pertama, saya mau mengkritik soal istilah mengawasi. Sebetulnya pengawasan itu istilah yang ngelantur bagi lembaga hukum. Kalau MK diawasi, itu kesannya kami subordinat. Padahal kan tidak. Kedudukan kami dengan MA dan KY sejajar. Lalu yang namanya lembaga pengawas itu kan tugasnnya mencari kesalahan. Para hakim dibiarkan berbuat salah dulu, baru diarahkan supaya benar. Ini kan tidak betul.
Yang betul itu lembaga yang bertugas menjaga agar marwah hakim dan lembaga peradilan tidak ternodai. Tugasnya bukan hanya menujukkan kesalahan, tapi lebih kepada menunjukkan agar tidak salah.
Kedua, salah besar kalu beranggapan kami menolak untuk dijaga. Sebaliknya kami justru sangat senang apabila masyarakat, DPR, dan pemerintah mau membantu menjaga kami. Masalahnya kami sudah memiliki mekanisme untuk menjaga marwah dan martabat MK, yaitu berupa Dewan Etik.
Dewan Etik bertugas menerima pengaduan dari masyarakat terkait perilaku para hakim MK, mengajukan hakim MK yang melanggar kepada Majelis Kehormatan Hakim, sampai merekomendasikan kepada Majelis Kehormatan, untuk kemudian menyampaikannya kepada Presiden untuk memberhentikan hakim yang melakukan pelanggaran berat. Semua sudah ada mekanismennya. Tidak betul, kami tidak mau dijaga.
Bukankah lebih bagus kalau diawasi lembaga independen? Persoalannya adalah berdasarkan UUD 1945, lembaga penjaga tersebut bukan dibentuk dari eksternal, melainkan internal. ***