Konvensi capres yang didengungkan Partai Demokrat berhasil mendapat simpati publik. Seakan melupakan banyak kader partai berlambang mercy itu terjerat kasus korupsi.
Tapi publik masih bertanya, bagaimana metode konvensi capres itu. Kalau penentuan capres tetap lewat Majelis Tinggi Partai Demokrat, maka langkah konvensi ini menjadi bumerang.
“Langkah Partai Demokrat bumerang bila konvensi capres hanya akal-akalan untuk mendongkrak popularitas partai itu yang belakangan ini terpuruk,’’ kata Dewan Penasihat The Centre for Strategic and International Studies (CSIS) CSIS, Jeffrie Geovanie kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Seperti diketahui, Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Amir Syamsuddin mengatakan, penentuan capres tetap di tangan Majelis Tinggi yang sudah tercantum dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat.
“Majelis tinggi meloloskan calon. Tapi kewenangannya ada di rakyat, yang memilih presiden kan rakyat†kata Amir Syamsuddin.
Jeffrie Geovanie selanjutnya mengatakan, wajar saja petinggi Partai Demokrat berupaya untuk mendongkrak popularitas partai itu, termasuk dengan konvensi capres. Tapi hendaknya dilakukan secara jujur dan terbuka.
Berikut kutipan selengkapnya;Ada yang bilang ide konvensi ini hanya untuk dongkrak popularitas setelah terpuruk, ini bagaimana?Kalau punya tujuan itu, saya kira itu normal, dan harus. Masa tidak ada insentifnya. Buat apa berpolitik. Tapi kita sebagai warga juga mendapat sesuatu dari itu, ada peluang bagi regenerasi kepemimpinan nasional, bagi pemimpin yang lebih sejalan dengan perkembangan masyarakat dan zaman.
Apa mungkin mekanismenya terbuka dan demokratis?Kita belum tahu persis. Tapi harapan saya Demokrat terbuka dalam mekanimse dan penetapan hasil akhir dari konvensi ini. Harusnya begitu. Kalau tidak, akan jadi bumerang.
Ide konvensi ini saya rasa gagasan baik. Bisa mengurai kebuntuan regenerasi kepemimpinan kita. Sebab, dengan kovensi ini akan memunculkan pemimpin-pemimpin muda yang berkualitas, berintegritas dan memang pantas memimpin negeri ini.
Konvensi capres ini menjadi perbincangan publik, tanggapan Anda?Ini berarti calon-calon presiden yang sudah muncul saat ini lebih mewakili politisi-politisi dan generasi masa lalu. Kita mengalami kebuntuan regenerasi politik. Ini bertentangan dengan perkembangan di masyarakat, di mana mayoritas pemilih merupakan generasi baru, berumur di bawah lima puluh tahun.
Ini artinya, capres itu bukan berasal dari generasi baru. Tapi untung masih ada Partai Demokrat yang ketua umumnya sudah pasti tidak menjadi capres, dan sekarang sedang mencari capres lewat konvensi.
Kenapa konvensi memberi harapan regenerasi kepemimpinan nasional?
Setahu saya Demokrat akan membuat konvensi terbuka. Tentu Demokrat tidak membatasi generasi. Tapi jelas terbuka terhadap generasi baru, yang merupakan generasi pemilih mayoritas.
Saya berharap orang seperti Jokowi, Gita Wirjawan, Sri Mulyani, Marzuki Alie, Soetrisno Bachir, Dahlan Iskan, Irman Gusman, Mahfud MD, Chaerul Tandjung, Hari Tanoesudibyo, dan banyak lagi, ikut daftar dan diterima sebagai calon oleh panitia konvensi. Orang-orang muda seperti ini kan sulit diakomodasi partai-partai lain untuk jadi capres. Partai Demokrat membuka peluang untuk regenerasi itu.
Apa mungkin mekanismenya terbuka dan demokratis? Kita belum tahu persis. Tapi harapan saya Demokrat terbuka dalam mekanisme dan penetapan hasil akhir dari konvensi ini. Harusnya begitu. Kalau tidak akan jadi bumerang.
Apa konvensi itu akan seperti konvensi yang pernah dilakukan Partai Golkar Pilpres 2004?Kita tunggu persisnya seperti apa. Tapi saya harap tidak seperti itu.
Mengapa?Kita tahu konvensi Golkar dulu elitis dan tertutup dilihat dari sisi pemilihnya. Pemilih sama sekali tidak terlibat. Yang memilih dalam konvensi Golkar adalah pengurus Golkar dari cabang sampai DPP. Kita tahu bahwa konvensi itu rawan terhadap politik uang. Lebih dari itu hasilnya tidak mencerminkan aspirasi pemilih. Buktinya Wiranto yang ditetapkan sebagai capres dalam konvensi itu kalah jauh dari SBY dan Megawati Soekarnoputri. Padahal Partai Golkar waktu itu partai pemenang dalam Pileg.
Bagusnya bagaimana?Sebagai warga negara, saya berharap yang menentukan siapa yang menjadi calon presiden di antara peserta konvensi itu adalah rakyat, pemilih pada umumnya.
Kalau cara ini yang dipakai, maka yang terpilih bukan hanya terbaik di antara peserta konvensi. Tapi juga kompetitif dengan calon dari partai-partai lain. Peluang untuk menang Pilpres menjadi lebih terbuka.
Bukankah itu sulit?Yang saya bayangkan, semua peserta konvensi melakukan sosialisasi terbuka lewat media massa yang punya jangkuan nasional. Setelah itu, menjelang konvensi nasional nanti, dibuat survei pemilih secara ilmiah di masing-masing provinsi. Siapa yang mendapat urut 1 maka dia mengambil seluruh kuota suara di provinsi itu. Ini sistem
the winner takes all. Hasilnya dibawa oleh delegasi provinsi ke konvensi nasional. Delegasi ini hanya membawa hasil survei.
Maksudnya?Misalnya, kalau di Aceh yang unggul nomor 1 Dahlan Iskan, maka delegasi Aceh mencalonkan Dahlan. Kalau di Jawa Timur yang nomor 1 Mahfud MD, maka delegasi Jatim mencalonkan Mahfud. Kuota suara provinsi ditentukan oleh jumlah pemilih provinsi bersangkutan dibanding pemilih nasional. Aceh misalnya 2 persen, Jatim 16 persen. Kalau total suara di konvensi nanti 100, maka jatim mengirim 16 orang dengan suara ke Mahfud semua. Aceh 2 orang dengan suara ke Dahlan semua. Demikian seterusnya. Nanti dihitung siapa yang mendapat suara paling banyak dari semua provinsi itu.
Kalau begitu survei sangat menentukan sekali?Ya, betul. Ini konvensi baru. Bukan seperti konvensi Golkar yang rawan terhadap politik uang, dan bukan pula konvensi seperti di Amerika yang bersandar pada primary.
Kenapa tidak primary saja?Menurut saya primary tidak cocok untuk kita. Sebab, primary umumnya tertutup.
Pemilih yang ikut primary umumnya hanya anggota partai yang bersangkutan.
Kalau primary Partai Republik maka anggota Partai Demokrat tidak boleh ikut. Hasilnya pasti tidak mencerminkan aspirasi pemilih nasional.
Kalau survei pemilih nasional yang menjadi basis dalam mengambil keputusan, maka calon yang ditetapkan akan sangat mencerminkan aspirasi pemilih nasional. Kalau ini yang terjadi, Demokrat membuat inovasi politik besar dan baru. Bukan hanya dalam politik kita tapi juga di dunia. Konvensi nasional berbasis pemilih nasional sebagaimana direkam secara ilmiah lewat survei adalah gagasan baru dan efisien.
Dengan cara itu lebih bagus dibanding konvensi Golkar dulu yang saya dengar ratusan miliar dikeluarkan, tapi hasilnya tidak efektif. Primary juga sangat mahal.
Primary itu kan seperti pemilihan sebenarnya, melibatkan puluhan juta pemilih.
Butuh persiapan dan lain sebagainya. Pasti mahal, padahal hasilnya kurang mencerminkan aspirasi pemilih nasional.
Bagaimana kalau survei-nya yang bermain? Ada lembaga yang kredibel dari track record dalam Pilpres-Pilpres sebelumnya. Juga lihat orang-orang di belakang lembaga itu, apakah kompeten atau tidak. Misalnya dilihat dari keilmuan dan pengalamannya.
Ada yang bilang ide konvensi ini hanya untuk dongkrak Demokrat setelah terpuruk?Kalau punya tujuan itu, saya kira itu normal, dan harus. Masa tidak ada insentifnya. Buat apa berpolitik. Tapi kita sebagai warga juga mendapat sesuatu dari itu, ada peluang bagi regenerasi kepemimpinan nasional, bagi pemimpin yang lebih sejalan dengan perkembangan zaman. [Harian Rakyat Merdeka]