.Anggota DPR tidak bosan-bosannya melakukan studi banding ke luar negeri meski sering dikritik.
Akhir April ini Badan Legislasi (Baleg) DPR diagendakan melaÂkukan studi banding ke Amerika Serikat dan Jepang mengenai pembahasan RUU Advokat.
“Rencananya 20-27 April 2013 ke Amerika Serikat dan Jepang untuk menyelesaikan draf RUU Advokat,†kata Ketua Baleg DPR, Ignatius Mulyono.
Menanggapi hal itu, Ketua Umum Asosiasi Advokat IndoÂneÂsia (AAI) Humphrey Djemat mengatakan, studi banding itu baÂkal mubazir. Sebab, sistem advoÂkat di dua negara itu tidak pas diterapkan di sini.
“Batalkan saja studi banding Baleg DPR ke Amerika Serikat dan Jepang itu. Sebab, bakal sia-sia, nggak ada gunanya,’’ kata beÂkas Juru Bicara (Jubir) Satgas TKI itu dalam emailnya kepada
RakÂyat Merdeka, kemarin.
Berikut kutipan selengkapnya;Kenapa Anda bilang mubazir atau tidak ada gunanya?Belum tentu hasil studi banÂding tersebut akan cocok diterapÂkan di Indonesia. Seharusnya itu dilakukan sejak awal pembenÂtukan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Memangnya kenapa sistem advokat di dua negara itu?Jika yang dituju Baleg untuk studi banding adalah Jepang, maÂka sudah jelas yang menjadi acuan adalah bentuk organisasi adÂvokat secara federasi yaitu mulÂti bar. Ini belum tentu bisa diÂterapkan karena karakter advokat kita dengan Jepang berbeda.
Apa Anda pernah mengaÂmati sistem advokat di Jepang?Berdasarkan pengalaman berÂkunjung ke Jepang, saya meliÂhat langsung perkembangan proÂfesi advokat dan organisasiÂnya. KeÂsadaran para advokat Jepang suÂdah sangat tinggi bila dibanÂdingÂkan advokat Indonesia.
Kesadaran apa yang tinggi itu?Para advokat di sana sangat paÂtuh dan tunduk kepada kode etik yang dibuat dan berlaku sama bagi semua advokat. Dewan KeÂhormatannya sangat berwibawa dan memiliki integritas tinggi.
Di sana jika ada advokat yang kena sanksi tidak akan pindah ke organisasi lainnya. Berbeda deÂngan advokat Indonesia, jika keÂna sanksi bakal pindah ke orgaÂnisasi lain, apabila diterapkan sistim multi bar (federasi).
Apa yang sebenarnya harus dilakukan DPR?Lebih baik Baleg DPR sempurÂnakan saja UU Advokat setelah sekian tahun dipraktikkan, yakni sistem wadah tunggal.
Pikirkan secara matang-maÂtang, apakah cocok sistem multi bar diterapkan di sini.
Ini harus menjadi perhatian DPR jika mau menerapkan benÂtuk organisasi advokat di IndoÂnesia dalam bentuk federasi.
Jangan sampai federasi hanya berÂsifat kulitnya saja dan tidak mengatur secara substansial keÂpenÂtingan para advokat.
Apa yang Anda khawatirkan dengan sistem multi bar itu?Saya khawatir saja, ini hanya bagi-bagi kue kekuasaan mengaÂtur advokat. Tapi tidak membuat kualitas para advokat meningkat dan proteksi terhadap para penÂcari keadilan terjamin.
Apa salahnya sistem multi bar itu?Sistem multi bar itu berarti peÂnanganan masalah-masalah yang berkaitan dengan kepenÂtingan para advokat akan ditangani banyak organisasi advokat. KonÂdisi ini akan menimbulkan baÂnyak masalah karena tidak ada standarisasi yang jelas dan sulit untuk dipertanggung jawabkan.
AAI tidak setuju direvisi UU Advokat saat ini? AAI menolak revisi UU AdÂvokat untuk dibicarakan pada saat ini. Sebab, lebih baik memprioÂritaskan pembahasan revisi KUHAP dan KUHP yang meruÂpakan kepentingan advokat dan masyarakat secara luas.
AAI menilai konsep revisi UU Advokat yang inisiatifnya dari DPR terlalu memaksakan sistem multi bar. Padahal, UU Advokat saat ini sangat jelas menetapkan
single bar mengenai hal-hal yang diatur dalam UU Advokat,yakni mengenai pendidikan, ujian, maÂgang, kartu advokat, pengaÂwaÂsan, kode etik melalui Dewan Kehormatan.
Bagaimana kalau UU AdvoÂkat direvisi untuk menguatkan sistem wadah tunggal?Itu tepat. AAI menilai revisi UU Advokat memang perlu dilaÂkukan untuk memperkuat peraÂnan single bar agar dapat menÂcipÂtakan advokat
officium nobile dan menjaga kepentingan para pencari keadilan.
Apa lagi yang perlu direvisi?AAI menilai perlu dimasukÂkanÂnya prinsip check dan balanÂces di dalam revisi UU Advokat. ArÂtinya, harus ada pembatasan agar kekuasaan tidak bertumpu di satu pihak saja. Misalnya, saat ini Dewan Kehormatan ditunjuk dan diangkat oleh DPN, demikian pula halnya Komisi Pengawas. Akibatnya, terjadi tumpang tindih jabatan dan menimbulkan konflik kepentingan.
Seharusnya DPN, Dewan KeÂhormatan, Komisi Pengawas memÂpunyai posisi yang saling mengawasi dan memberikan keÂseimbangan , terjadi prinsip
check dan
balances. Dengan deÂmiÂkian fungsi KoÂmisi PengaÂwasan daÂlam UU AdÂvokat perlu diÂperÂluas untuk mengawasi kiÂnerja penguÂrus. Demikian pula DeÂwan KehorÂmatan dapat meÂmeriksa dan mengadili pengurus yang diÂanggap melakukan peÂnyimÂpangan oleh Komisi PengaÂwas. [Harian Rakyat Merdeka]