.Organisasi advokat tidak perlu dibuat wadah tunggal. Sebab, berpotensi terjadi perpecahan seperti sekarang.
“Advokat itu diberikan kebeÂbasan saja. Tidak perlu wadah tunggal seperti itu. Saya kira ini yang perlu direvisi dalam UU Advokat,’’ kata advokat senior Todung Mulya Lubis kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurutnya, penyatuan orgaÂnisasi advokat menimbulkan perÂpecahan seperti sekarang. Ada Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Konferensi Advokat Indonesia (KAI).
“Saya kira revisi UU Advokat itu menjadi momentum merubah yang tidak tepat ini,’’’ katanya.
Berikut kutipan selengkapnya: Advokat sulit disatukan, kepana?Ada dua alasan.
Pertama, secaÂra empirik advokat itu tidak bisa diÂjadikan satu. Sebab, memiliki faham masing-masing. Setiap ada usaha melakukan itu tentu akan diÂsusul dengan gejolak dan perÂpecahan.
Kedua, kemajemukan itu adaÂlah sesuatu yang harus dihargai dan diakui. Maka tidak ada saÂlahÂnya jika kemajemukan dari sisi organisasi advokat diÂakoÂmodasi. Jangan dipaksa menjadi satu wadah.
Bagaimana mengelolanya?Kalau pendapat saya pengeloÂlaÂÂnya itu adalah Dewan Advokat Indonesia.
Apa saja tugasnya?Banyak fungsinya. Paling tidak ada tiga fungsinya.
Pertama, berÂfungsi membuat standarisasi penÂdidikan Advokat. Jadi di Dewan itu nantinya menentukan standar atau spesifikasi orang-orang yang layak jadi advokat dalam sebuah orÂganisasi advokat.
Kedua, meÂnentukan standarisasi ujian advoÂkat, hal ini untuk menjaga kuÂalitas advokat kita tentunya dalam menjalankan profesinya.
Ketiga, Dewan Advokat InÂÂdoÂÂnesia ini melaksanakan dan meÂÂÂnegakkan kode etik adÂÂvoÂkat yang ada. Saya rasa dari keÂtiga itu lah yang penÂting diÂlakukan kalangan advokat saat ini.
Kalau itu bisa dilakukan tenÂtunya tinggal Dewan Advokat InÂdonesia ini melakukan verifikasi organisasi advokat yang ada. JaÂngan sampai organisasi advokat yang tidak memiliki DPD dan DPC bisa diterima.
Ini berarti seperti organisasi lainnya?Ya. Organisasi advokat ini kan mirip-mirip dengan partai politik (Parpol) yang menetapkan perÂsyaratan baÂgi partai politik yang ada di InÂdonesia. Tiap lima tahun sekali ada verifikasi.
Profesi advokad ini kan juga saÂma seperti organisasi pers di InÂdonesia di mana didalamnya ada PWI (Persatuan Wartawan InÂdonesia), AJI (Aliansi JurÂnalis Indonesia) dan lainnya. TaÂpi mereÂka memiliki Dewan Pers yang menegakkan kode etik pers.
Bagaimana dengan Peradi?Pada kenyataannya kami seÂmua ini tidak bisa disatukan, seÂhingga agak sulit untuk dipaksaÂkan. Makanya bubarkan saja Peradi, advokat nggak perlu waÂdah tunggal.
Memang tidak bisa berÂsatu?Bisa saja, tapi biarkan terjadi seÂÂcara alami saja. Kompetisi adaÂlah jalan yang cukup fair tanpa mematikan salah satu organisasi yang lain. Sebab, semua orang punya hak berprofesi. Biarkan mereka menjalankan profesinya.
Apalagi yang krusial yang perlu diubah?Intinya, perlu memasukkan prisip kebebasan berorganisasi. Ini dibutuhkan sekali.
Harapan Anda bagaimana?Saya mengajak semua pihak untuk melihat persoalan ini deÂngan kepala dingin dan mencari jalan keluar atau solusi yang biÂjaksana. Semua organisasi harus dibeÂrikan hak untuk hidup. Tidak ada yang dikorÂbankan untuk itu.
O ya, saat dipanggil ke DPR, kenapa advokat kisruh?Kami seharunya menjaga harÂkat dan martabat advokat sebagai profesi yang mulia. Untuk itu haÂrus bersedia duduk bersama-sama dengan pemikiran yang rasional, berdebat dengan kepala dingin dan santun.
Anda dan Otto Hasibuan mengaku sebagai ketua umum Ikadin, mana yang benar?Saya tidak mau memperpanÂjang masalah itu. Pokoknya, saya punya DPD hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Itu saja bukÂtinya deh. [Harian Rakyat Merdeka]