RMOL. Tewasnya TKI Ruyati binti Satubi Saruna karena dihukum pancung di Arab Saudi membuat bangsa ini berduka. Karena Negara dinilai tak mampu melindungi warganya yang sedang susah payah mencari sesuap nasi di negeri orang.
Berbagai langkah dilakukan pemerintah menyikapi tewasnya Ruyati, termasuk mengantisipasi agar tidak lagi terjadi Ruyati-Ruyati lain. Salah satunya, keÂmaÂrin, secara resmi Presiden SBY mengeluarkan perintah moratoÂrium pengiriman TKI ke Arab Saudi mulai 1 Agustus ini.
Karena terlanjur berduka, baÂnyak pihak yang mengkritik kinerja pemerintah dalam melaÂkukan penanganan pahlawan devisa tersebut. Banyak pihak yang secara terang-terangan meÂnyebut pemerintah lalai dan tak berdaya membela TKI di luar negeri.
Menurut bekas menteri tenaga kerja dan transmigrasi (MenakerÂtrans), Jenderal (Purn) AM HenÂdropriyono, sudah saatnya semua kritik yang disampaikan berisi solusi.
Apalagi, saat ini ada sekitar 216 TKI yang juga terancam hukuman mati di negeri lain. BerÂdasarkan catatan Kementerian Luar Negeri (Kemlu), ada 303 TKI yang terancam hukuman mati di luar negeri sepanjang periode 1999-2011 yang tersebar di tujuh negara yaitu, Arab Saudi 28 orang, Mesir 1 orang, ReÂpuÂblik Rakyat China 29 orang, Singapura 10 orang, Suriah satu orang, dan Uni Emirat Arab satu orang, Malaysia sebanyak 233 orang.
Dari 303 TKI tersebut, 3 orang sudah dieksekusi. Dua orang diÂeksekusi pemerintah Arab Saudi, dan Mesir satu orang. Sementara yang dibebaskan dan mendapat keringanan hukuman ada 55 orang. TKI yang berhasil dipuÂlangkan ke Indonesia 29 orang. Dan, masih proses pengaÂdilan dengan ancaman maksimal huÂkuman mati 216 orang.
Rincian 216 itu tersebar di Arab Saudi 17 orang, RRC 20 orang, Singapura dua orang, dan terbanyak di Malaysia 177 orang. Proses tersebut masih berlangÂsung sejak 2009 sampai saat ini.
Hal ini perlu segera dilakukan penanganan serius daripada sibuk menyalahkan orang lain. Berikut wawancara selengkapnya dengan bekas Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ini di sela-sela kuÂliah umum di Universitas MuÂhamÂmadiyah Magelang, Jawa Tengah, kemarin.
Pemerintah dikritik tak mamÂpu melindungi TKI pasca Ruyati dihukum pancung, koÂmentar Anda?Jangan memÂpolitisir masalah kebijakan pemeÂrintah di bidang ketenagakerjaan di luar negeri (TKI), karena apa yang dilaÂkuÂkan pemeÂrinÂtah sekaÂrang ini meÂÂruÂpakan keÂlanÂÂjutan dan peÂngemÂÂbaÂngan peÂmerintah yang lalu, diÂmana saya senÂdiri pernah menÂÂjadi menÂteri teÂnaga kerja.
Kenapa deÂmikian?Apa yang diÂlaÂkukan di tataran keÂbijakan sudah memenuhi syarat untuk melakukan perlinÂdungan dan juga kesejahteraan, meÂnyangÂkut gaji, dan lain-lain bagi TKI di luar negeri. PerÂsoaÂÂlanÂÂnya, dari waktu ke waktu selalu di tataran operasional, dan ini adaÂlah masalah teknis yang harus dibetulkan di lapaÂngan, mulai dari persiapannya, pembeÂkalanÂnya sampai dengan penamÂpuÂngan dan penempatan di masing-masing keluarga yang mempeÂkerjakan TKI. Karena itu, meÂmang dalam pengembanganÂnya, yang dilaÂkuÂkan pemerintah arahÂnya pada masalah-masalah teknis di laÂpangan yang meÂnyangÂÂkut kediÂsiplinan PJTKI, juga meÂnyangÂkut tingkah laku dan peÂnemÂpatan TKI oleh PJTKI bersama partnernya, baik yang legal maupun swasta.
Artinya, dari segi kebijakan penampungan dan penempaÂtan TKI sudah benar?
Penampungan dan penempaÂtanÂnya sudah sesuai dengan keÂbijakan kita, tapi di lapangan, mereka terkadang berada di kaÂmar yang terlalu kecil, penempaÂtannya tidak layak huni. Itu maÂsalah teknis yang sifatnya lama dan harus diselesaikan oleh peÂmain-pemain di lapangan, peÂmain di lapangan itu yang mengaÂwasi ya kedutaan besar atau konjen.
Berarti Anda tak setuju jika sisi kebijakan yang dikritik?
Kalau kritik itu diarahkan pada masalah kebijakan, itu nggak ada artinya, dan itu sudah berbau politik. Karena, policy penempaÂtan dan pengiriman TKI itu sejak dari dulu sudah dipikirkan deÂngan baik.
Belajar dari kasus pemanÂcuÂngan Ruyati, apa saran Anda?
Kita jangan lagi mengirim TKI ke Arab, bahkan kita juga jangan lagi mengirim TKI ke Malaysia, dan Singapura. Tapi, kalau ke Jepang, Hong Kong, Taiwan, tetap bisa ngirim, karena saya liÂhat, Jepang, Hong Kong, Taiwan itu punya tata cara, perasaan terÂhadap para TKI suÂdah memanuÂsia, sedangkan di Arab Saudi,
mind set-nya mereka mengÂanggap TKI itu seperti budak belian. Karena itu, sejak dulu kita ingin hentikan pengiÂriman TKI di tempat-tempat itu.
Apakah moratorium ini haÂrus benar-benar total tidak lagi mengirim TKI?
Soft moratorium dulu, jangan hentikan total, para TKI bisa dialihkan ke negera lain selain Arab Saudi, sesudah negara lain siap untuk menerima sebagai pengganti, baru diadakan moratoÂrium. Moratorium ini juga meruÂpakan tahapan untuk menghenÂtikan total ke negara-negara yang belum beradab dalam memperlaÂkukan TKI, karena di negara seperti Jepang misalnya, TKI bisa duduk sama majikan, makan sama majikan, kamar mandinya sama-sama, jadi sudah betul-betul menyatu dengan keluarga. Dia juga ada jam kerja, ada aturan tenga kerja yang tidak dibedakan dengan pekerja orang Jepang. Tapi, kalau di Arab Saudi itu beda, pekerja itu babu, budak belian, mindset seperti ini hanya di masyarakatnya bukan pemeÂrinÂtahannya.
Pemerintah melakukan moÂraÂtorium, tapi apakah rakyat bisa menerima keputusan ini, karena banyak rakyat kita yang tetap terÂtarik bekerja di Arab Saudi?Sepengetahuan saya, hanya seÂdikit para TKI yang betah bekerja di Arab Saudi. Itu bisa dicek kepada mereka yang pulag ke Tanah Air, setelah diÂwawancara, mereka menyatakan tidak mau balik lagi ke Arab Saudi. Saya pernah punya pembantu yang pernah kerja berkali-kali di Arab Saudi Saudi, dan dia ga mau lagi ke Arab Saudi. Cerita dia, nggak enak kerja di Arab Saudi. MungÂkin hanya 10 perÂsen yang benar-benar bagus, yaitu orang-orang yang benar-benar berÂpendidikan tinggi, tapi kaÂlau di masyarakatÂnya, parah.
Kasus pemanÂcuÂngan TKI apa pernah terjadi di era Anda jadi Menaker?Di zaman saya, tidak ada, tapi kalau nggak salah di zaman seÂbelum saya memang ada. Tapi, waktu itu prosesnya masih bisa diikuti, meski ada juga beberapa yang di luar pengetahuan kita. Mungkin karena nggak diangkat media, karena zamannya juga berbeda. Zaman sekarang kan terÂbuka, jadi bisa ketahuan. Zaman dulu, kasus seperti ini jangan diberitain, juga bisa. Dan saya kira, yang dipancung juga bukan hanya TKI kita, tapi ada juga tenaga kerja dari negara lain, tapi kita tidak memperhatikannya.
Pihak Arab Saudi tak memÂberi tahu ekskusi pemancungan Ruyati ke pemerintah kita baik yang ada di Arab Saudi maupun di Jakarta...
Arab Saudi itu memang terÂtutup, mass medianya juga nggak nulis, jadi susah. Dalam keadaan seperti ini, kedutaan harus berÂtanggung jawab terhaÂdap semua pengetahuan mengeÂnai TKI di negeri luar. Jangan salah, keduÂtaan besar itu inteliÂjen terbuka, intelijen dengan metode putih. Jadi,
you mesti tahu. Lain dengan dulu di zaman Pak Harto, kerja atau tidak kerja kedutaan yang tahu hanya kita, tapi sekarang mereka kerja tak kerja, rakyat jadi tahu.
Jadi, Kedutaan mesti diperÂbaiki?
Saya usul di kedutaan ada biÂmas sebagai perpanjagan tangan dari BNP2TKI (Badan NasioÂnal PenemÂpatan dan PerlinÂdungan TKI). Kerjanya, melaÂkukan maÂsaÂlah teknis yang tadi. Ini kebiÂjakan sudah cuÂkup, sudah baÂgus, cuma pelakÂsanaanÂnya di tataran itu yang jeblok. Jewer itu PJTKI (PeruÂsahaan Jasa TeÂnaga Kerja IndoÂnesia), ini sepenuhya PJTKI yang harus dihantam, diÂperiksa, bukan salahkan pemerintah.
Alasannya?Rasanya, policy terkait TKI sudah bagus, tinggal pelaksanaan saja yang mesti diperbaiki. SeÂperti policy pembelaan dan pola pembekalan, itu sudah sangat bagus. Tapi, di lapangan bobrok. Karena itu, PJTKI yang sebenarÂnya harus diperiksa, kemudian partnernya di sana juga harus diperiksa yang bener.
Ada usul lain?Perwakilan BNP2TKI atau dinas ketenagakerjaan perlu juga ditempatkan di kedutaan-keduÂtaan atau konjen.
Tapi, sekarang ini muncul deÂsakan agar BNP2TKI diÂbuÂbarkan...
Kalau kritik seÂperti ini sih suÂdah politik. Ha.ha.ha.
[rm]