Berita

Jenderal (Purn) AM Hendropriyono

Wawancara

WAWANCARA

Jenderal (Purn) AM Hendropriyono : PJTKI Yang Harus Dihantam, Policy Terkait TKI Sudah Bagus

JUMAT, 24 JUNI 2011 | 02:44 WIB

RMOL. Tewasnya TKI Ruyati binti Satubi Saruna karena dihukum pancung di Arab Saudi membuat bangsa ini berduka. Karena Negara dinilai tak mampu melindungi warganya yang sedang susah payah mencari sesuap nasi di negeri orang.

Berbagai langkah dilakukan pemerintah menyikapi tewasnya Ruyati, termasuk mengantisipasi agar tidak lagi terjadi Ruyati-Ruyati lain. Salah satunya, ke­ma­rin, secara resmi Presiden SBY mengeluarkan perintah morato­rium pengiriman TKI ke Arab Saudi mulai 1 Agustus ini.

Karena terlanjur berduka, ba­nyak pihak yang mengkritik kinerja pemerintah dalam mela­kukan penanganan pahlawan devisa tersebut. Banyak pihak yang secara terang-terangan me­nyebut pemerintah lalai dan tak berdaya membela TKI di luar negeri.


Menurut bekas menteri tenaga kerja dan transmigrasi (Menaker­trans), Jenderal (Purn) AM Hen­dropriyono, sudah saatnya semua kritik yang disampaikan berisi solusi.

Apalagi, saat ini ada sekitar 216 TKI yang juga terancam hukuman mati di negeri lain. Ber­dasarkan catatan Kementerian Luar Negeri (Kemlu), ada 303 TKI yang terancam hukuman mati di luar negeri sepanjang periode 1999-2011 yang tersebar di tujuh negara yaitu, Arab Saudi 28 orang, Mesir 1 orang, Re­pu­blik Rakyat China 29 orang, Singapura 10 orang, Suriah satu orang, dan Uni Emirat Arab satu orang, Malaysia sebanyak 233 orang.    

Dari 303 TKI tersebut, 3 orang sudah dieksekusi. Dua orang di­eksekusi pemerintah Arab Saudi, dan Mesir satu orang.  Sementara yang dibebaskan dan mendapat keringanan hukuman ada 55 orang. TKI yang berhasil dipu­langkan ke Indonesia 29 orang. Dan, masih proses penga­dilan dengan ancaman maksimal hu­kuman mati 216 orang.

Rincian 216 itu tersebar di Arab Saudi 17 orang, RRC 20 orang, Singapura dua orang, dan terbanyak di Malaysia 177 orang. Proses tersebut masih berlang­sung sejak 2009 sampai saat ini.

Hal ini perlu segera dilakukan penanganan serius daripada sibuk menyalahkan orang lain. Berikut wawancara selengkapnya dengan bekas Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ini di sela-sela ku­liah umum di Universitas Mu­ham­madiyah Magelang, Jawa Tengah, kemarin.

Pemerintah dikritik tak mam­pu melindungi TKI pasca Ruyati dihukum pancung, ko­mentar Anda?
Jangan mem­politisir masalah kebijakan peme­rintah di bidang ketenagakerjaan di luar negeri (TKI), karena apa yang dila­ku­kan peme­rin­tah seka­rang ini me­­ru­pakan ke­lan­­jutan dan pe­ngem­­ba­ngan pe­merintah yang lalu, di­mana saya sen­diri pernah men­­jadi men­teri te­naga kerja.

Kenapa de­mikian?
Apa yang di­la­kukan di tataran ke­bijakan sudah memenuhi syarat untuk melakukan perlin­dungan dan juga kesejahteraan, me­nyang­kut gaji, dan lain-lain bagi TKI di luar negeri. Per­soa­­lan­­nya, dari waktu ke waktu selalu di tataran operasional, dan ini ada­lah masalah teknis yang harus dibetulkan di lapa­ngan, mulai dari persiapannya, pembe­kalan­nya sampai dengan penam­pu­ngan dan penempatan di masing-masing keluarga yang mempe­kerjakan TKI. Karena itu, me­mang dalam pengembangan­nya, yang dila­ku­kan pemerintah arah­nya pada masalah-masalah teknis di la­pangan yang me­nyang­­kut kedi­siplinan PJTKI, juga me­nyang­kut tingkah laku dan pe­nem­patan TKI oleh PJTKI bersama partnernya, baik yang legal maupun swasta.

Artinya, dari segi kebijakan penampungan dan penempa­tan TKI sudah benar?
Penampungan dan penempa­tan­nya sudah sesuai dengan ke­bijakan kita, tapi di lapangan, mereka terkadang berada di ka­mar yang terlalu kecil, penempa­tannya tidak layak huni. Itu ma­salah teknis yang sifatnya lama dan harus diselesaikan oleh pe­main-pemain di lapangan, pe­main di lapangan itu yang menga­wasi ya kedutaan besar atau konjen.

Berarti Anda tak setuju jika sisi kebijakan yang dikritik?
Kalau kritik itu diarahkan pada masalah kebijakan, itu nggak ada artinya, dan itu sudah berbau politik. Karena, policy penempa­tan dan pengiriman TKI itu sejak dari dulu sudah dipikirkan de­ngan baik.

Belajar dari kasus peman­cu­ngan Ruyati, apa saran Anda?
Kita jangan lagi mengirim TKI ke Arab, bahkan kita juga jangan lagi mengirim TKI ke Malaysia, dan Singapura. Tapi, kalau ke Jepang, Hong Kong, Taiwan, tetap bisa ngirim, karena saya li­hat, Jepang, Hong Kong, Taiwan itu punya tata cara, perasaan ter­hadap para TKI su­dah memanu­sia, sedangkan di Arab Saudi, mind set-nya mereka meng­anggap TKI itu seperti budak belian. Karena itu, sejak dulu kita ingin hentikan pengi­riman TKI di tempat-tempat itu.

Apakah moratorium ini ha­rus benar-benar total tidak lagi mengirim TKI?
Soft moratorium dulu, jangan hentikan total, para TKI bisa dialihkan ke negera lain selain Arab Saudi, sesudah negara lain siap untuk menerima sebagai pengganti, baru diadakan morato­rium. Moratorium ini juga meru­pakan tahapan untuk menghen­tikan total ke negara-negara yang belum beradab dalam memperla­kukan TKI, karena di negara seperti Jepang misalnya, TKI bisa duduk sama majikan, makan sama majikan, kamar mandinya sama-sama, jadi sudah betul-betul menyatu dengan keluarga. Dia juga ada jam kerja, ada aturan tenga kerja yang tidak dibedakan dengan pekerja orang  Jepang. Tapi, kalau di Arab Saudi itu beda, pekerja itu babu, budak belian, mindset seperti ini hanya di masyarakatnya bukan peme­rin­tahannya.

Pemerintah melakukan mo­ra­torium, tapi apakah rakyat bisa menerima keputusan ini, karena banyak rakyat kita yang tetap ter­tarik bekerja di Arab Saudi?
Sepengetahuan saya, hanya se­dikit para TKI yang betah bekerja di Arab Saudi. Itu bisa dicek kepada mereka yang pulag ke Tanah Air, setelah di­wawancara, mereka menyatakan tidak mau balik lagi ke Arab Saudi. Saya pernah punya pembantu yang pernah kerja berkali-kali di Arab Saudi Saudi, dan dia ga mau lagi ke Arab Saudi. Cerita dia, nggak enak kerja di Arab Saudi. Mung­kin hanya 10 per­sen yang benar-benar bagus, yaitu orang-orang yang benar-benar ber­pendidikan tinggi, tapi ka­lau di masyarakat­nya, parah.

Kasus peman­cu­ngan TKI apa pernah terjadi di era Anda jadi Menaker?
Di zaman saya, tidak ada, tapi kalau nggak salah di zaman se­belum saya memang ada. Tapi, waktu itu prosesnya masih bisa diikuti, meski ada juga beberapa yang di luar pengetahuan kita. Mungkin karena nggak diangkat media, karena zamannya juga berbeda. Zaman sekarang kan ter­buka, jadi bisa ketahuan. Zaman dulu, kasus seperti ini jangan diberitain, juga bisa. Dan saya kira, yang dipancung juga bukan hanya TKI kita, tapi ada juga tenaga kerja dari negara lain, tapi kita tidak memperhatikannya.

Pihak Arab Saudi tak mem­beri tahu ekskusi pemancungan Ruyati ke pemerintah kita baik yang ada di Arab Saudi maupun di Jakarta...
Arab Saudi itu memang ter­tutup,  mass medianya juga nggak nulis, jadi susah.  Dalam keadaan seperti ini, kedutaan harus ber­tanggung jawab terha­dap semua pengetahuan menge­nai TKI di negeri luar. Jangan salah, kedu­taan besar itu inteli­jen terbuka, intelijen dengan metode putih. Jadi, you mesti tahu. Lain dengan dulu di zaman Pak Harto, kerja atau tidak kerja kedutaan yang tahu hanya kita, tapi sekarang mereka kerja tak kerja, rakyat jadi tahu.

Jadi, Kedutaan mesti diper­baiki?
Saya usul di kedutaan ada bi­mas sebagai perpanjagan tangan dari BNP2TKI (Badan Nasio­nal Penem­patan dan Perlin­dungan TKI). Kerjanya, mela­kukan ma­sa­lah teknis yang tadi. Ini kebi­jakan sudah cu­kup, sudah ba­gus, cuma pelak­sanaan­nya di tataran itu yang jeblok. Jewer itu PJTKI (Peru­sahaan Jasa Te­naga Kerja Indo­nesia), ini sepenuhya PJTKI yang harus dihantam, di­periksa, bukan salahkan pemerintah.

Alasannya?
Rasanya, policy terkait TKI sudah bagus, tinggal pelaksanaan saja yang mesti diperbaiki. Se­perti policy pembelaan dan pola pembekalan, itu  sudah sangat bagus. Tapi, di lapangan bobrok.  Karena itu, PJTKI yang sebenar­nya harus diperiksa, kemudian partnernya di sana juga harus diperiksa yang bener.

Ada usul lain?
Perwakilan BNP2TKI atau dinas ketenagakerjaan perlu juga ditempatkan di kedutaan-kedu­taan atau konjen.

Tapi, sekarang ini muncul de­sakan agar BNP2TKI di­bu­barkan...
Kalau kritik se­perti ini sih su­dah politik. Ha.ha.ha.    [rm]

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Slank Siuman dari Jokowi

Selasa, 30 Desember 2025 | 06:02

Setengah Juta Wisatawan Serbu Surabaya

Selasa, 30 Desember 2025 | 05:30

Pilkada Mau Ditarik, Rakyat Mau Diparkir

Selasa, 30 Desember 2025 | 05:19

Bukan Jokowi Jika Tak Playing Victim dalam Kasus Ijazah

Selasa, 30 Desember 2025 | 05:00

Sekolah di Aceh Kembali Aktif 5 Januari

Selasa, 30 Desember 2025 | 04:50

Buruh Menjerit Minta Gaji Rp6 Juta

Selasa, 30 Desember 2025 | 04:07

Gegara Minta Duit Tak Diberi, Kekasih Bunuh Remaja Putri

Selasa, 30 Desember 2025 | 04:01

Jokowi-Gibran Harusnya Malu Dikritik Slank

Selasa, 30 Desember 2025 | 03:45

Pemprov DKI Hibahkan 14 Mobil Pemadam ke Bekasi hingga Karo

Selasa, 30 Desember 2025 | 03:05

Rakyat Tak Boleh Terpecah Sikapi Pilkada Lewat DPRD

Selasa, 30 Desember 2025 | 03:02

Selengkapnya