RMOL. Mafia kerah putih kian marak di negeri ini. Perbankan diobok-obok demi keuntungan pribadi. Tapi pemerintah dinilai kurang cekatan mencegahnya.
Padahal, untuk menghalau kejahatan kerah putih itu butuh sebuah undang-undang yang jitu. Sebenarnya sudah ada RanÂcangan Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan (RUU OJK). Ini sudah lama digarap di DPR, tapi hingga kini belum tuntas.
Berdasarkan Undang-undang Bank Indonesia ( UU BI) mengÂhaÂruskan lembaga tersebut terÂbenÂtuk paling lambat akhir tahun 2010. Ini berarti sudah lewat. Kondisi ini terjadi akibat perÂsoalan teknis.
Makanya, Fraksi PDIP DPR berharap pembahasan RUU OJK tidak tersendat persoalan teknis. UU itu harus cepat jadi. Sebab, atuÂran itu era baru sistem keÂuangan nasional.
“Kalau undang-undang ini sudah ada, tatanan atau sistem keuangan menjadi lebih bermanÂfaat terhadap perokonomian dan kesejahteraan rakyat. Jadi, kita jangan menunda-nunda karena perdebatan yang dak subtantif. Undang-undang OJK harus seÂgera dirampungkan,†tegas anggota DPR Nyoman DhamanÂtra kepada
Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.
Seperti diketahui, pembahasan RUU OJK kembali molor. PasalÂnya, belum ada titik temu meÂngeÂnai keanggotaan dan tata cara pemilihan dewan komisioner, hak penyidikan, serta jumlah dan weÂwenang anggota Dewan KomiÂsioner (DK) di OJK oleh pemeÂrintah.
“Persoalan ini yang belum menÂÂdapat titik temu dengan pemerintah. Apakah tujuh atau sembilan anggota itu mewakili pemangku kepentingan atau tidak,†ujar politisi dari Fraksi PDIP itu.
Perdebatan RUU OJK, lanjutÂnya, lebih diarahkan pada perÂsoaÂlan subtantif, yakni sistem pengaÂturan dan pengawasan, sehingga dapat mendeliberalisasi sistem keuangan yang ada saat ini.
“Perdebatan OJK harus bersiÂfat ideoÂlogis. Kami tidak mengÂinginÂkan adanya liberalisasi sisÂtem keuangan dan sistem perÂbankÂan. Kalau liberalisasi itu maÂsih terjadi dalam RUU OJK, PDIP pasti menolak pemÂbenÂtukan OJK,†tegasnya.
Berikut kutipan selengkapnya:Apa nilai ideologis yang diÂbawa dalam pembahasan RUU OJK?Seperti saya katakan tadi, RUU OJK merupakan era baru sistem perbankan dan keuangan nasioÂnal. Jadi, harus ada nilai-nilai ideoÂlogis yang dibawa dalam sisÂtem ini, yakni melakukan deliÂberalisasi terhadap sistem perÂbankan untuk mencegah prakÂtik kerah putih.
Maksudnya?
Anda bisa melihat tentang besarÂnya kepemilikan asing daÂlam sistem perbankan kita. KeÂnapa hal itu tidak dapat dielakÂkah. Sebab, adanya metode kapiÂtal eduksi rasio. Dengan adanya kapital edukasi rasio, seluruh perbankan kita, khususnya bank milik pemerintah dipaksa untuk mengejar ketertinggalan kekuaÂtan modal. Padahal kita tahu, pertumbuhan aset dan pertumÂbuhan pendapatan tidak akan bisa proposional.
Misalnya?Di negara berkembang. PerÂtumÂbuhan aset di negara naik sesuai dengan deret hitung. Jadi, akan selalu ada kesenjangan antara pertumbuhan aset dan perÂtumÂbuhan pendapatan. KesenÂjangan inilah yang memaksa kita untuk menghadirkan modal. Namun, kemampuan kita untuk menyeÂdiakan modal kan tidak ada. Jadi, seluruh perbankan yang kita miliki, cepat atau lambat, ya nggak akan kita miliki lagi alias lenyap.
Selain itu?Persoalan ideologis lain dalam pembahasan RUU OJK adalah masalah likuiditas. Artinya, kita haÂrus memikirkan bagaimana pengaturan dan pengawasan yang ada saat ini, bisa menjamin adaÂnya penyaluran likuiditas sampai ke desa-desa.
Sebagaimana kita ketahui, perÂsoalan kesenjangan ekonomi yang ada di republik ini disebabÂkan ketidakmampuan perbankan melakukan pemerataan likuiÂditas. Tidak bisa dipungkiri, liÂkuiditas akan melahirkan rentaÂbilitas dan rentabilitas akan melaÂhirkan solÂfaÂbilitas. Jadi, kunci dari kesejahÂteraan rakyat adalah pemerataan likuiditas dan itulah yang harus menjadi misi OJK kedepan.
Namun, dalam pembahasan RUU OJK, persoalan keanggoÂtan dan tata cara pemilihan deÂwan koÂmisioner, jumlah dan weweÂnang anggota dewan koÂmisioner, serta hak penyidikan justru lebih menonjol, apa koÂmentar Anda?Itulah yang kami sesalkan. Kalau substansinya adalah soal independensi OJK, apakah perlu wakil Pemerintah dan BI punya hak suara. Yang penting, dalam OJK diperkuat koordinasi antara otoritas fiskal dan moneter. NaÂmun, pemerintah tetap ngotot untuk memasukkan dua pejabat ex officio yang mewakili KemenÂterian keuangan dan Bank IndoÂnesia.
Padahal, pasal 34 Undang-undang BI tegas mengatakan, pemÂbentukan OJK harus indeÂpenÂden dan berada di luar pemeÂrintahan. Nggak boleh ada pihak pemerintah yang ikut campur dong. Kalau mau keluar dari keÂseÂpakatan itu, ya harus ada mekaÂnisme yang mengatur. Jangan melawan Undang-undang.
[rm]