Berita

Achmad Basarah

Wawancara

Achmad Basarah: Parlemen Belanda Bertanya Mengenai Isu Gerakan NII

SELASA, 17 MEI 2011 | 00:19 WIB

RMOL.KBRI Den Haag menggelar pertemuan dengan delegasi DPR/MPR dengan masyarakat Indonesia di Belanda, di Wisma Duta, Wassenaar, Kamis (14/5).

Di sela-sela pertemuan ter­sebut, Rakyat Merdeka berke­sem­patan bincang-bincang de­ngan salah satu delegasi DPR/MPR, Achmad Basarah. Politisi PDIP itu berbicara soal kunju­ngan ke Strasbourg (Sidang Par­lemen Uni Eropa) dan parlemen Belanda (Eerste Kamer).

Achmad Basarah mencerita­kan, kunjungan mereka ke Belanda disambut Van der Liden, Ketua Senat Belanda. Selain itu, Liden didampingi oleh Wakil Ketua Senat, Klaas de Vries, para senator Tiny Kox (Ketua Fraksi SP/Partai Sosialis), Frank van Kappen (VVD) dan Roel  Kuiper (Chris­tenUnie). Di Strasbourg, rom­bongan MPR/ DPR bertemu secara khusus kita berdialog de­ngan Ketua Parlemen Uni Eropa yang membidangi  Asia Tenggara.

Menurut anggota Komisi III DPR itu, Indonesia tetap di­anggap sebagai negara yang ber­pengaruh di kawasan  Asean mau­pun Asia. Sebab, memiliki posisi tawar yang cukup kuat di kedua kawasan itu, terlebih setelah Indonesia menjadi Ketua Asean.

“Pihak Belanda, seperti di­sam­paikan Presiden Eerste Kamer (senat Belanda), meng­anggap Indo­nesia sebagai negara yang penting dalam percaturan dunia,” ungkapnya.

Berikut kutipan selengkapnya:

Kenapa delegasi DPR/MPR tetap berkunjung ke luar negeri di tengah kritikan masyarakat?

Begini ya. Beberapa tahun yang lalu, Presiden Senat Be­landa dan parlemen Uni Eropa berkunjung ke DPR/MPR untuk membangun hubungan antar parlemen dengan Indonesia, serta menyampaikan undangan kepada MPR untuk berkunjung pada masing-masing parlemen terse­but. Sebetulnya kunjungan bala­san dijadwalkan sejak tahun 2010 yang lalu, tetapi karena yang diundang Bapak Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR, maka se­harusnya beliau yang datang. Namun karena kesehatan beliau  sangat tidak memungkinkan  untuk melakukan perjalanan jauh, maka Pak Taufik Kiemas memutuskan tidak  jadi berang­kat dan mengutus Pak Lukman Hakim Saifuddin. Kami yang mewakili beliau.

Apa yang ingin dicapai da­lam kunjungan ini?

Kita ingin hubungan bilateral antara Indonesia-Belanda bisa kita tingkatkan, karena secara historis kita memiliki keterikatan yang sangat kuat. Dulu Belanda menjajah Indonesia. Sedangkan sekarang kedua negara berdaulat. Kita ingin tetap membina hubu­ngan baik menjadikan bekal hu­bungan di masa lalu itu sebagai modal untuk membangun hubu­ngan ke depan yang lebih baik.

Bagaimana dengan kebe­ra­daan masyarakat Indonesia di Belanda?

Terkait dengan ini ada dua hal yang dibicarakan.

Pertama, menyangkut tentang masyarakat Indonesia yang ada di Belanda dan juga masyarakat Belanda yang masih punya hubu­ngan sejarah dengan Indonesia.

Kedua, kita juga mendapatkan informasi, bahwa bantuan bea­siswa bagi pelajar-pelajar Indone­sia ke Belanda mengalami penu­ru­nan. Itu pun kami tanyakan keje­lasannya seperti apa dan se­bab musababnya. Hasilnya, Pre­si­den Senat Belanda menyatakan ko­mitmennya untuk menanyakan kepada pemerintah Belanda dan mendesak untuk meningkatkan bantuan-bantuan beasiswa ke­pada pelajar/mahasiswa Indo­nesia.

Bagaimana dengan isu pem­batalan kunjungan SBY tahun 2010, apa dibahas?

Jelas, kita meminta kepada pe­merintah Belanda melalui Senat untuk tidak membiarkan siapa­pun yang mengganggu hubungan baik antara Indonesia dan Belanda. Kita menyadari, pemerintah Be­landa tidak bisa mencampuri  uru­san yudikatif Indonesia. Tetapi ada hal-hal yang sebetul­nya secara politis  bisa mereka lakukan untuk tidak membuat kunjungan Presiden RI menga­lami  hal-hal yang dapat merugi­kan citra dan kewibawaan Indo­nesia sebagai sebuah negara yang berdaulat.

Apa isu Negara Islam Indo­nesia (NII) juga dibicarakan?

Baik di Belanda maupun di Strasbourg, mereka menanyakan mengenai maraknya isu NII dan isu kekerasan berbasis agama. Kita te­gaskan soal  posisi ideo­lo­gis bang­sa kita yang disosia­lisasikan de­ngan istilah empat pilar. Pertama, Pancasila sebagai ideologi bangsa. Kedua, UUD 1945 sebagai kons­titusi kita. Ketiga, NKRI sebagai bentuk negara. Keempat, Bhineka Tung­gal  Ika sebagai sistem budaya kita. Kita katakan bahwa aksi-aksi kekerasan yang menunjuk­kan seo­lah-olah ada persoalan islam de­ngan negara. Itu sebetul­nya se­cara substansi tidak perlu dibesar-be­sarkan. Sebab, negara tidak ber­ma­salah dengan islam. NII itu hanya disuarakan segelin­tir umat islam.

Bagaimana dengan kepenti­ngan pemodal asing di Indo­ne­sia?

Semenjak Soekarno dijatuh­kan, blueprint ekonomi kita diarah­kan kepada penanaman modal asing sebesar-besarnya di Indonesia. Ini membuktikan ramalan Bung Karno, akan terjadi sebuah penja­jahan dalam bentuk baru atau yang diistilahkan neo-imperia­lisme. Blueprint Orde Baru sampai era reformasi ini masih merupakan blueprint-nya kapitalisme, oleh Bung Karno sudah diramalkan jauh-jauh hari. Bahasa gaulnya neolib (neoliberalisme), yang ma­suk melalui kebijakan-kebijakan ekonomi, kebijakan perundang-undangan di bidang ekonomi dan akhirnya sistem ekonomi kita ber­pihak pada kepentingan kapita­lisme global.

Loh, tapi pengiriman TKI te­rus terjadi?

Itu menandakan, ketersediaan lapangan kerja di Indonesia se­makin sulit karena cengkraman pemodal asing. Contohnya, keka­yaan alam Indonesia yang ada di laut dan di darat, tidak bisa diolah sendiri untuk kemakmuran rak­yat, sehingga diekspolitasi oleh asing. Di sisi lain, pemerintah Indonesia tidak berdaya terhadap situasi semacam ini. Akhirnya tuntutan untuk mengekspor TKI ke luar negeri. Ini dilakukan se­cara sistemik melalui Kemena­kertrans. Kalau sekarang melalui Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), meng­ekspor TKI tanpa skill. Akhirnya tenaga-tenaga kerja kita menjadi kuli dan budak di negara lain. Kita sering mendengar nasib mereka terancam, baik kesela­ma­tan,  maupun hak-hak dasarnya sebagai manusia. [RM]


Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

KPK Usut Pemberian Rp3 Miliar dari Satori ke Rajiv Nasdem

Selasa, 30 Desember 2025 | 16:08

Rasio Polisi dan Masyarakat Tahun 2025 1:606

Selasa, 30 Desember 2025 | 16:02

Tilang Elektronik Efektif Tekan Pelanggaran dan Pungli Sepanjang 2025

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:58

Pimpinan DPR Bakal Bergantian Ngantor di Aceh Kawal Pemulihan

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:47

Menag dan Menko PMK Soroti Peran Strategis Pendidikan Islam

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:45

Jubir KPK: Tambang Dikelola Swasta Tak Masuk Lingkup Keuangan Negara

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:37

Posko Kesehatan BNI Hadir Mendukung Pemulihan Warga Terdampak Banjir Bandang Aceh

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:32

Berikut Kesimpulan Rakor Pemulihan Pascabencana DPR dan Pemerintah

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:27

SP3 Korupsi IUP Nikel di Konawe Utara Diterbitkan di Era Nawawi Pomolango

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:10

Trump ancam Hamas dan Iran usai Bertemu Netanyahu

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:04

Selengkapnya