RMOL. Pemerintah dinilai tidak memiliki konsep yang jelas dalam pemberantasan terorisme di negeri ini.
“Saya berkali-kali bilang bahwa pemerintah tidak punya konsep terpadu, utuh, dan integrated memÂberantas terorisme. Jadi, wajar bila teroris terus muncul, dan pelakunya semakin banyak,†papar Sekjen International ConÂference of Islamic Scholars (ICIS), KH Hasyim Muzadi, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta.
Menurut bekas Ketua Umum PBNU itu, di Indonesia harus diÂkembangkan sebuah konsep pluralisme sosiologis agar tiÂdak terjadi konflik yang bisa memeÂcah-belah NKRI. Jadi, deÂfinisi mengenai pluralisme harus diÂperjelas, yaitu pluraÂlisme sosioÂlogis bukan pluraÂlisÂme teologis.
“Pluralisme belum didefinisiÂkan secara baik. Di sini terjadi kekacauan tentang pluralisme. MUI marah-marah karena menuÂduh pluralisme teologis. SemenÂtara yang HAM menganggap teoÂlogis maupun sosiologis itu hak manusia,†bebernya.
Pluralisme sosiologis, lanjutÂnya, diartikan masing-masing orang yang beragama tidak usah dicampuri imannya. Ibadahnya biarkan berjalan sendiri. Namun, hubungan antar manusia harus tetap berjalan dalam usaha memÂbangun negara.
Berikut kutipan selengkapnya:
Menurut Anda, apa yang menÂÂÂjadi pangkal masalah teror yang terjadi selama ini?
Saya melihat pangkal masalah ini adalah hubungan antara agama dan negara, sistem huÂbungan agama dan negara. IndoÂnesia sudah menentukan bukan negara agama, bukan negara seÂkuler. Tapi Indonesia adalah negara bangsa. Seluruh agama akan dilindungi tetapi tidak bisa menjadikan Indonesia sebagai negara agama, karena Indonesia multi agama. Apabila dipaksakan menjadi negara agama, pasti akan terpecah-pecah.
Tapi beberapa pihak ingin meÂmasukkan agama dalam neÂgara, bagaimana pendapat Anda?Kalau agama ingin masuk ke negara, itu bersifat substantif. Nilai-nilainya dan teksnya itu tidak masuk ke negara karena nanti akan dilawan oleh agama yang lain. Misalnya undang-undang anti korupsi, ya sudah undang-undang anti korupsi saja, tidak usah undang-undang Islam anti korupsi. Ini yang maksud saya substantif.
Tidak ada jalan tengahnya?Orang beragama itu harus utuh, substantif dan tekstual, untuk itu harus dicarikan saluÂrannya. Maka saluran itu ada di civil society, di NU, MuhammaÂdiyah, Al-irsyad, MUI, KWI dan PGI. Anda boleh bertakwa di saluran tersebut meÂnurut resmi agama Anda, tapi non goverÂmenÂtal. Karena apabila ini digeÂser ke goverment, IndoÂnesia akan pecah. Saya melihat teman-teman yang masuk dari timur tengah ke Indonesia waktu reforÂmasi, tidak mau menerima ini.
Apa benar ini gara-gara peÂngaÂruh orang dari Timur TeÂngah?Mereka ingin teks agama maÂsuk negara, hingga menjadi negara Islam. Ini memungkinkan kalau Indonesia mono-agama, seperti Saudi Arabia. Tapi kalau multi agama. Mana mungkin negaranya dimonokan dalam satu agama.
Maindset ini awal masalahÂnya. Apakah NKRI selamat atau tidak, tergantung mau atau tidak menerima konstelasi seperti ini. Teman-teman dari Timur Tengah yang pemikirannya ingin memÂbuat Indonesia sebagai negara Islam adalah pangkal dari konflik.
Pemerintah harus melakuÂkan apa dalam hal ini?
Untuk itu perlu penataan tenÂtang teror ini haÂrus komprehensif, melibatkan seluruh eksponen yang berkaitan dengan teror. Ulama harus dikeÂrahkan untuk memberikan penÂjelasan pada masyarakat tentang moderasi, tentang ekstrimitas, dan teror. Selama ini belum dilakukan. Untuk mengÂgeÂrakkan itu negara punya alat, bisa lewat KemenÂterian Agama, bisa lewat pemeÂrintah pusat atau koordinasi dengan peÂmeÂrinÂtah daerah.
Bagaimana Anda melihat bom MasÂjid di Polresta CireÂbon?Ini menunÂjukÂkan bahwa teror berÂhaÂdapan dengan apaÂrat. Tetapi bila gerakan anti teror itu simulÂtan dan komÂpreÂhensif, tidak akan terjadi seperti itu. SeÂkarang tinggal political will peÂmerintah.
Selama ini peÂnanganan teroÂrisÂme bagaimana?Sekarang masih condong pada masalah security, belum pada akar masalahnya, yaitu ideologi. Hal ini bisa dilakukan dengan enlightment ideology, baru dilaÂpisi dengan intelijen, politik, dan hukum. Seharusnya semua kaÂlangan bisa memberikan enlightÂment sebagai nilai kehidupan, bukan malah mengkafirkan orang lain.
Bagaimana dengan intelijen Indonesia sekarang?Intelijen kita mandul karena faktor kualitas dan faktor unÂdang-undang yang menghadang inteÂlijen. Polisi tidak boleh meÂnangÂkap tanpa bukti, itu peratuÂran undang-undangnya. Artinya harus ada bom yang meledak, baru bisa diusut. Ini peluang besar untuk teror. Untuk itu, harus ada preventif action. Ketika ada gejala masuk dalam stadium awal itu harus sudah dihukum. Seperti merencanakan membuat kekaÂcauan, itu seharusnya sudah bisa diadili, sekalipun tidak ditembak dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
[RM]