panda nababan/ist
panda nababan/ist
Pengantar Redaksi: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak awal memiliki agenda untuk menjerumuskan Panda Nababan Cs ke dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI tahun 2004 lalu. Dalam eksepsi yang dibacakannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Rabu malam (20/4), Panda Nababan memperlihatkan sejumlah bukti yang memperlihatkan hal itu. Misalnya, dalam sebuah pemberitaan media massa, di bulan Desember 2010 Wakil Ketua KPK, M. Jasin, mengatakan bahwa “Setiap tahun, KPK memiliki target yang harus dicapai. Jasin mengklaim, kinerja KPK pada tahun 2010 lebih baik dari tahun sebelumnya. ‘Indikasinya, ya, mana pernah sebelumnya ada yang mempersangkakan 26 anggota dewan.’â€
Sementara pimpinan KPK lainnya, Irjen (purn) Bibit Samad Rianto dengan bangga mengatakan: “Kita telah berhasil melibas ke-26 orang itu...â€
Kalimat seperti ini, menurut Panda, keluar dari pikiran yang dikuasai kebencian dan nafsu.
Berikut bagian ketiga eksepsi Panda Nababan itu:
Yang Mulia Majelis Hakim, Bapak/Ibu Penasihat Hukum, Saudara Jaksa, dan hadirin yang saya hormati,
Bisakah Bapak dan Ibu bayangkan, dengan publikasi yang begitu masif, dengan ekspose yang meledak-ledak, KPK secara spektaktuler menyatakan 26 anggota DPR dinyatakan jadi tersangka. Dan, kepada ke-26 orang ini tidak ada selembar pun kertas pemberitahuan resmi kepada mereka bahwa mereka dijadikan tersangka.
Yang Terhormat Majelis Hakim,
Ada seorang sahabat saya yang ikut menjadi tersangka, yakni Saudara Jeffrey Tongas Lumban Batu, sangat terpukul. Sebelum dia meninggal, dia bertanya kepada saya, “Bang, kok ngga ada surat pemberitahuan penetapan kita jadi tersangka ya? Abang sudah dapat?â€
“Untuk apamu itu? Ngga usah kau pikirkan itu.â€
“Bang, keluargaku bertanya, apa alasan resmi saya jadi tersangka?â€
Tanpa mendapat jawaban yang diharapkan, saudaraku tersangka Jeffrey Tongas Lumban Batu dua bulan kemudian meninggal dunia. Tersentuhkah hati nurani oknum-oknum KPK atas peristiwa itu? Tidak!
Bentuk “penghargaan†yang sangat memalukan dari oknum-oknum KPK kepada almarhum, yang sudah meninggal berbulan-bulan sebelumnya, adalah pencantuman nama almarhum tetap ada dalam surat panggilan KPK kepada kami. Padahal, dia sudah di liang lahat.
Saya pun menegur Saudara Jaksa Ferry Wibisono. Saya juga menyampaikan keberatan saya kepada Saudara AKBP Chandra Sukma. Saya katakan kepada mereka, “Tolonglah hormati perasaan keluarga. Kenapa Saudara masih mencantumkan nama Jeffry Lumban Batu dalam surat panggilan sebagai tersangka, bersama-sama dengan Panda Nababan, Angelina Pattiasina, Budiningsih, Iqbal?†Padahal beliau sudah tidak ada, sudah meninggal. Rupanya oknum-oknum KPK sudah mati rasa, mati nurani.
Begitukah pola pikir dan kacamata oknum-oknum KPK dalam menghadapi perkara ini? Inilah yang membuat saya menjadi bergumul dalam pemikiran untuk mencari cara apa yang harus saya lakukan untuk menjawab pertanyaan yang Mulia Majelis Hakim terhadap saya. Apa yang saya harus lakukan agar saya bisa mengerti dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum ini?
Fondasi dari dakwaan itu adalah sewaktu saya dijadikan tersangka, dengan tidak menghargai hak-hak asasi. Sewaktu saya dijadikan tersangka, pimpinan Fraksi PDI Perjuangan DPR pun menyurati KPK untuk mempertanyakan��"karena tidak pernah ada pemberitahuan resmi��"bagaimana kedudukan hukumnya.
Surat KPK, yang ditandatangani oleh Wakil Ketua KPK M. Jasin, hanya memberi jawaban bahwa penetapan status tersangka itu “…sesuai hasil pembuktian dalam pemeriksaan persidangan, sebagaimana telah diputuskan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 4/Pid.B/TPK/2010/PN.JKT.PST. tanggal 17 Mei 2010 atas nama terpidana H. Duddhie Makmun Murod, M.B.A. yang telah berkekuatan hukum tetap.†(Lampiran 3)
Dalam surat jawaban KPK bertanggal 28 September 2010 itu dinyatakan juga bahwa mereka mempedomani asas praduga tak bersalah. Dan, mengatakan melaksanakan asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. Ternyata, apa yang disampaikan itu semua hanyalah isapan jempol, lips service saja.
Mengapa? Karena, mereka tidak berpedoman pada asas praduga tak bersalah dan asas-asas lain itu. Lihat saja pemberitaan dan ekspose yang KPK buat. Juga apa yang dikatakan M. Jasin selaku Wakil Ketua KPK, sebagaimana dikutip harian Seputar Indonesia pada tanggal 10 Desember 2010 (Lampiran 4). Saya bacakan potongan berita itu: “Setiap tahun, KPK memiliki target yang harus dicapai. Jasin mengklaim, kinerja KPK pada tahun 2010 lebih baik dari tahun sebelumnya. ‘Indikasinya, ya, mana pernah sebelumnya ada yang mempersangkakan 26 anggota dewan.’â€
Begitu bangganya ia dengan menggunakan istilah “target†seolah dia politikus dan bangga telah mempersangkakan 26 orang. Itu bukan ucapan penegak hukum. Bicara target itu bicara politikus, orang dagang, bukan penegak hukum.
Yang lebih tragis lagi adalah pernyataan Inspektur Jenderal Purnawirawan Polisi Bibit Samad Rianto, Wakil Ketua KPK yang lain, yang dengan bangga mengatakan, “Kita telah berhasil melibas ke-26 orang itu...â€
Jadi, Majelis Hakim yang saya hormati, apa yang mereka sampaikan itu, apakah itu yang dimaksud Saudara Jasin dalam menghormati kepastian hukum, dan sebagainya. Itu sama sekali hanya menjadi isapan jempol. Mereka menelanjangi dirinya sendiri.
Yang Mulia Majelis Hakim,
Apa yang saya ungkapkan semua itu��"mulai dari dijadikan sebagai tersangka tanpa ada pemberitahuan resmi, diprovokasi dengan pernyataan telah berhasil mempersangkakan 26 orang, dan kemudian “libasâ€ï¿½ï¿½" mewarnai suasana kebatinan, ada efek psikologis, yang mempengaruhi pemahaman untuk mengerti betapa tidak terhormatnya dakwaan ini.
Betapa telanjangnya, bahwa dakwaan ini disusun atas dasar kebencian dan nafsu penghukuman. Astagfirullah…
Majelis Hakim yang terhormat,
Hikmah dari pertanyaan Majelis Hakim yang saya hormati, mendorong saya mempelajari secara detail dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum.
Dari pemahaman dan pembelajaran saya terungkaplah bagaimana konstruksi dakwaan ini disusun dengan rapuh. Betapa tidak? Saya sendiri selama pemeriksaan KPK tidak pernah saya ditanya��"boleh dicek di berita acaranya��"bagaimana proses perintah soal Restoran Bebek Bali sebagaimana yang mereka tuduhkan itu. Tidak pernah. Tiba-tiba saja nongol dalam dakwaan.
Yang Mulia Majelis Hakim,
Mari kita lihat satu contoh yang paling sederhana, paling telanjang, paling kasat mata. Dalam persidangan Saudara Dudhie ada sejumlah saksi, yakni Saudara Poltak Sitorus, Williem Tutuarima, Rusman, dll., yang mengatakan tidak ada koordinator pemenangan. Bahkan, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR, Saudara Tjahjo Kumolo, secara tegas mengatakan tidak ada koordinator pemenangan. Karena itu tidak cocok dengan skenario, kesaksian ini dibuang saja.
Tetapi hanya ucapan seorang Dudhie Makmun Murod, Panda adalah koordinator pemenangan, itu dianggap sebagai kebenaran. Maka, oleh jaksa-jaksa ini dipasanglah satu label bahwa saya adalah koordinator pemenangan.
Yang Mulia Majelis Hakim, Bapak/Ibu Penasihat Hukum, Saudara Jaksa, dan hadirin yang saya hormati,
Merk ‘koordinator pemenangan’ ini sangat penting, untuk membangun imaginasi, begitu penting dan vitalnya kedudukan saudara Panda Nababan sebagai pengatur, pelaku utama.
Dengan dipatrikannya, di-“trade-markâ€-kannya, label koordinator pemenangan pada diri saya, maka menjadi legal-lah, menjadi sah-lah, pembenaran, penghalalan cara bahwa koordinator pemenangan wajar memerintahkan ke Restoran Bebek Bali, koordinator pemenangan itu bisa membagi ke Sukardjo, bisa membagi ke Emir Moeis, mendapat travel cek lebih banyak. Soal pembuktian? Tak penting. Soal fakta? Itu bisa kita rekayasa. Bayangkan, begitu kejinya tuduhan itu. Disebut saya sebagai koordinator pemenangan, yang dalam realitasnya tidak ada koordinator pemenangan dalam proses pemilihan itu, sebagaimana dinyatakan oleh Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR Tjahjo Kumolo dan dinyatakan juga oleh anggota-anggota Fraksi PDI Perjuangan yang ada di Komisi IX DPR, terkecuali seorang Dudhie Makmun Murod thok!
Oknum-oknum di KPK, baik penyidik maupun jaksa, tak peduli dengan itu. Karena, superbody begitu hebat, tidak ada yang bisa mengkritik, tidak ada yang bisa mengoreksi. “Mampus aja kau, Saudara Panda! Kau memang koordinator pemenangan! Kau memang yang memerintahkan.†Sikap arogansi kekuasaan dengan menginjak-injak hukum itu mengingatkan saya kepada institusi Kopkamtib yang superbody jaman Soeharto. Wakil Ketua KPK, Saudara Bibit Samad pernah mengaku dengan bangga kepada saya, bahwa dia pernah bertugas di Opstib (Operasi Tertib, semacam KPK-nya Soeharto) Kopkamtib.
Dan lebih tragis lagi waktu saya tanya dalam forum ini minggu yang lalu, dari mana Rp1,45 miliar itu, jawaban Saudara Jaksa enteng saja. Saya kutip hasil rekaman dari Jaksa Penuntut Umum minggu yang lalu, yang mencoba menjawab pertanyaan saya soal Rp1,45 miliar itu. Begini: “Yang Mulia, supaya tidak berlarut-larut, bahwa bagian satu miliar empat ratus lima puluh itu merupakan dari nilai keseluruhan total sembilan miliar delapan ratus juta rupiah dan itu dibeli satu surat perjanjian TC.â€
Jawaban ini membangun asumsi menjadi fakta yuridis. Asumsi = fakta. Padahal minggu lalu, karena tak mengerti dakwaan itu, saya bertanya, “siapa yang memberi uang Rp 1,45 miliar itu? Dimana? Kapan?†Eh, dijawab Sang Jaksa ini dengan asumsi!
Lebih jauh lagi, kalau diperhatikan dengan cermat, Yang Mulia Majelis Hakim, dalam pengakuan Saudara Dudhie Makmun Murod dikatakan bahwa dia mendengar dari orang KPK bahwa saya menerima uang. Dari situlah dibangun satu keyakinan bahwa saya telah menerima uang. Dengan menggunakan mulut Saudara Dudhie Makmun Murod, bercelotehlah dia bahwa tidak hanya dia saja yang menerima, tapi juga Panda Nababan. Dan jadilah. Celotehan itu jadi kebenaran oknum Jaksa dalam dakwaan. Mudah, kan? Gampang, kan? Siapa berani membantah kita? Kita superbody!
Saya tidak bisa bayangkan, bagian dari konstruksi yang selama ini dipraktikkan oleh oknum-oknum penyidik di KPK dan juga termasuk oknum jaksa ini, bahwa asumsi menjadi fakta, persepsi menjadi fakta. Tidak begitu penting sama mereka bahwa saya menerima dari siapa, sebagaimana diatur kitab undang-undang, kapan dikasihnya, di mana, semua itu tidak penting. Pokoknya, bagi mereka, legalisasi jawaban, legalisasi pembenaran dakwaan, yah..itu, uang Rp 1,45 miliar itu bagian dari 9,8 miliar yang dibeli dalam satu surat perjanjian. Titik. Entah bagaimana kemudian beredarnya, itu tidak penting bagi mereka.
Majelis Hakim yang terhormat,
Saya mencoba memahami, apa yang tertera dalam dakwaan ini.
Dengan dibangunnya pemahaman “trade mark†koordinator pemenangan, maka sah-lah koordinator pemenangan mendapat lebih besar dari yang lain; koordinator pemenanganlah yang memimpin pertemuan dengan Miranda di Hotel Dharmawangsa. Padahal, sebenarnya, pertemuan-pertemuan itu adalah pertemuan biasa, sama dengan saya pernah bertemu dengan Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto di Hotel Hilton. Bahkan, pada waktu itu, Saudara Bibit membawa cukong dan cukong itu bertanya kepada saya, bagaimana dia menyiapkan dana dan biaya untuk fraksi-fraksi.
Saudara Bibit tahu betul itu, pada waktu itu dengan tegas saya katakan, “Tidak ada dana untuk pemilihan ini.â€
Begitu juga Saudara Chandra Hamzah. Ia pun membawa pengusaha ketika bertemu saya dan teman pengusahanya itu juga bertanya kepada saya, apakah ada dana untuk pemilihan Ketua KPK. Saya bilang, “Tidak!â€
Analog dengan pertemuan Miranda, saya minta resmi Saudara Bibit dan Saudara Chandra Hamzah jadi saksi a de charge. Eh, malah menolak. Pertemuan-pertemuan semacam itu adalah pertemuan-pertemuan yang sangat biasa. Saudara Bagir Manan, bekas Ketua Mahkamah Agung, dulu juga bertemu dengan saya di Hotel Sahid, sebagai anggota Komisi Hukum, dimana dia mau menjadi Hakim Agung. Juga Kapolri pada masanya: Da’i Bachtiar bertemu saya di Hotel Four Season, Sutanto bertemu saya di Hotel Dharmawangsa, Bambang Hendarso bertemu saya di Hotel Mahakam, dan banyak lagi pejabat publik yang bertemu saya.
Tetapi, karena sudah didramatisir, bahwa itu sebenarnya pertemuan domain Komisi IX DPR dengan Saudari Miranda. Saya sendiri hadir sebagai pimpinan fraksi, karena Saudara Tjahjo Kumolo tidak dapat hadir. Inilah yang dieksplorasi, didramatisasi, bahwa saya yang memimpin dan sebagainya. (Bersambung)
Populer
Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26
Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48
Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06
Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01
Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17
Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16
Senin, 22 Desember 2025 | 17:57
UPDATE
Senin, 29 Desember 2025 | 20:13
Senin, 29 Desember 2025 | 19:53
Senin, 29 Desember 2025 | 19:43
Senin, 29 Desember 2025 | 19:35
Senin, 29 Desember 2025 | 19:25
Senin, 29 Desember 2025 | 19:22
Senin, 29 Desember 2025 | 19:15
Senin, 29 Desember 2025 | 19:08
Senin, 29 Desember 2025 | 19:04
Senin, 29 Desember 2025 | 18:57