RMOL. Staf Khusus Presiden Bidang Informasi, Heru Lelono menilai, gugatan koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ditujukan kepada Presiden SBY salah alamat.
Menurutnya, pemerintah tidak dapat memerintahkan DPR untuk membatalkan pembanguÂnan gedung baru.
“Secara kelembagaan, DPR bisa menyuruh pemerintah untuk menjalankan undang-undang. Tapi, pemerintah nggak bisa meÂminta atau mengawasi DPR. Jadi, presiden tidak dapat meÂmerinÂtahkan DPR untuk memÂbatalkan pembangunan gedung, meskipun anggarannya berasal dari APBN,†papar Heru Lelono kepada Rakyat Merdeka, keÂmarin.
Seperti diketahui, koalisi LSM yang dimotori Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mendaftarkan gugatan pembangunan gedung baru DPR ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (11/4). Ada 13 pihak yang digugat, antara lain Presiden SBY, Ketua DPR Marzuki Alie, Menteri Keuangan Agus MartorÂwardojo, dan ketua-ketua fraksi DPR.
Para tergugat dianggap telah melanggar Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 (1), Pasal 28H (1) dan (3), Pasal 34 (2), dan (3). Selain itu, mereka juga diÂduga melanggar kententuan InÂpres Nomor 7 tahun 2011 tentang Penghematan Belanja KemenÂterian atau Lembaga tahun 2011, dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Heru selanjutnya mengatakan, meskipun Presiden SBY dan Ketua DPR berada dalam satu partai, namun hubungan keduaÂnya harus ditempatkan secara proÂfesional dan proporsional. Di luar partai, hubungan antar KeÂtua DPR dan Presiden merupakan hubungan antar lembaga.
“Kita nggak bisa seenaknya mengatakan, Presiden SBY dan Marzuki Alie kan sama-sama di Demokrat. Jadi, presiden bilang saja sama Marzuki untuk memÂbatalkan pembangunan tersebut. Nggak bisa begitu dong, masa kita meminta Presiden untuk meÂlanggar undang-undang,†tuÂturnya.
Berikut kutipan selengkapnya:Apa Presiden tidak mengÂguÂbris gugatan tersebut, mengiÂngat itu salah alamat?Tidak seperti itu. Menurut saya, masyarakat dan kawan-kaÂwan LSM memiliki hak untuk menggugat presiden, karena preÂsiden adalah pengemban amanah rakyat. Namun, saya memohon, tolong tempatkan duduk perkaraÂnya secara benar, sesuai aturan ketatanegaraan yang berlaku diÂnegara ini.
Pembangunan gedung baru merupakan kewenangan DPR, bukan pemerintah. Presiden tidak serta-merta dapat membatalkan pembangunan tersebut, karena alasan kedekatan atau satu partai Ketua DPR. Itu melanggar aturan ketatanegaraan.
Dalam hal ini, Presiden hanya bisa berbagi sikap. Misalnya, saat sidang kabinet, presiden mengaÂtakan, kami berusaha keras untuk efisien dan melakukan optimaÂlisasi anggaran. Nah, kalau preÂsiden sudah mengatakan seperti itu, seharusnya sebagai pihak yang mengawasi pemerintah, DPR harusnya memberikan apresiasi.
Jadi, ada perbedaan sikap antara pemerintah dan DPR?Saya tidak ingin berpolemik mengenai persoalan itu. DPR yang lebih memahami, apakah gedung itu memang betul-betul dibutuhkan, dan patut atau tidak kalau gedung DPR itu dibangun dalam situasi saat ini.
Kalau ada masyarakat atau LSM yang menuntut berarti, mereka menilai tidak patut dan tidak adil. Sah-sah saja mereka melakukan hal seperti itu, tapi tolong juga pahami juga ketaÂtanegaraan kita.
Kalau pembangunan itu tiÂdak menjadi prioritas PreÂsiÂden, kenapa Presiden tidak mengÂhentikan aliran dana pemÂbaÂngunan gedung terseÂbut?Presiden tidak dapat serta-merta menghentikan distribusi APBN, karena hak itu dibahas bersama antar pemerintah dengan DPR. Masa kita meminta PreÂsiden untuk melanggar undang-undang.
Seperti yang sudah saya katakan tadi, Presiden sebenarnya menginginkan adanya optimaliÂsasi anggaran. OptimaliÂsasi anggaÂran negara pada dasarnya adalah optimalisasi terhadap keaÂdilan masyarakat. Karena, sumÂbangan terbesar terhadap anggaÂran negara berasal dari pemÂbaÂyaran pajak oleh rakyat.
Makanya Presiden ingin anggaÂÂÂran belanja negara, dialoÂkasiÂkan untuk membangun berÂbagai sektor yang dibutuhkan rakyat. Bukan sekadar membuat gedung, belanja pegawai, semiÂnar dan perjalanan dinas pejabat negara.
Marzuki dan SBY berbeda siÂkap, kenapa sampai begitu?
Lho ini kan bukan sikap pribadi, tapi lembaga. Jadi, wajar berbeda pandangan. Pak Marzuki juga tidak memutuskan hal itu sendirian. Dia mendapat dukuÂngan dan penolakan dari sejumÂlah fraksi di DPR. Sementara itu, Pak SBY berbicara atas nama Presiden dan Pemerintah, sebagai pemegang amanah rakyat.
[RM]