RMOL. Pemerintah dinilai kurang serius memberantas korupsi. Sebab, mau melemahkan KPK dalam penanganan kasus-kasus korupsi dengan cara membonsai hak penuntutan.
“Sebenarnya UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak PiÂdana Korupsi ( Tipikor) sudah baÂgus dengan memberikan hak peÂnyelidikan, penyidikan, dan peÂnuntutan bagi KPK.
Kalau yang sudah bagus mestiÂnya tidak perlu diubah lagi, di dalam istilah bola don’t change the winning team,†ujar Wakil KeÂÂÂtua KPK, Haryono Umar, keÂpada Rakyat Merdeka, di Jakarta, keÂmarin.
Seharusnya, kata Umar, UU itu direvisi terhadap aturan yang belum sempurna. Misalnya saja, masalah gratifikasi belum begitu jelas dalam UU Tipikor.
Berikut kutipan selengkapnya: Mengapa KPK tidak setuju dengan revisi UU Tipikor?Ada beberapa hal yang krusial. Misalnya, mengenai kerugian negara di bawah Rp 25 juta tidak dianggap korupsi, dan berkaitan dengan penuntutan akan diserahÂkan kepada kejaksaan.
Apa dampaknya bila Rp 25 juta tidak dianggap korupsi?
Itu berbahaya karena pelayaÂnan publik di seluruh Indonesia masih sangat buruk dan pelayaÂnan publik masih banyak suap serta menekan masyarakat. Ini menyebabkan pelayanan publik di Indonesia semakin lama seÂmakin buruk dan indeks korupsi Indonesia makin jelek, tentunya Indonesia tetap menjadi negara yang korup selamanya.
Bagaimana dengan keweÂnaÂngan penuntutan, apa yang diÂkhawatirkan?
Selama ini, KPK punya keweÂnangan penyidikan, penyelidikan dan penuntutan yang berada di bawah satu atap, sehingga lebih mudah, lebih efisien dan tidak terjadi kelambatan. Kita mengÂkhawatirkan terjadi bolak-balik dalam penanganan kasus korupsi.
Ada yakin begitu?Ya, apabila nanti dipisahkan, kita sangat khawatir. KPK mengÂanggap sudah cukup dengan konÂdisi sekarang. Tapi mengapa itu diungkit lagi. Dengan kondisi ini menjadikan tindak pidana koÂrupsi dianggap tindak pidana biaÂsa, sehingga semangat kita untuk memberantas korupsi menjadi meÂlemah.
Apa kira-kira penyebab ada keinginan seperti itu?Tanya kepada yang buat. Yang jelas, saya tidak begitu yakin pemÂberantasan korupsi bisa berÂjalalan maksimal bila kondisinya seperti itu. Kalau sekarang di KPK proses penyidikan dan penyelidikan itu semua ikut, baik jaksa, polisi dan auditor sudah bersama-sama. Itu sudah bagus, kenapa hak penuntutan mau dinonsai.
Bagaimana dengan hukuman mati yang dihilangkan?Hal tersebut yang harus diperÂtanyakan, kenapa mesti dihilangÂkan. Direvisi tersebut ada hukuÂman minimal 1 tahun, ini aneh. Masa korupsi dihukum satu taÂhun. Kalau satu tahun, belum remisi, dia proses di pengadilan saja sudah berapa bulan. Hal ini tidak menimbulkan efek jera bagi koruptor.
Harapan Anda bagaimana?Ya, dihukum seberat-beratnya. Msyarakat bisa melakukan peÂnunÂtutan, misalnya perdata. Ada orang yang menebangi hutan, lalu tindakan tersebut menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Tidak patut hanya dihukum satu tahun.
Bagaimana dengan aturan bahwa pelapor tindak pidana koÂrupsi akan dipidanakan?Itu akan menyebabkan masyaÂraÂkat menjadi takut untuk melaÂpor. Seharusnya masyarakat haÂrus didorong untuk berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi. Tidak mungkin KPK mengetahui kasus gratifikasi di semua proÂvinsi tanpa pelaporan dari maÂsyarakat.
Lalu, apa yang seharusnya diÂrubah dalam UU Tipikor?Seharusnya yang dirubah adalah masih terjadi hambatan dan kebingungan seperti mengeÂnai gratifikasi dan LHKPN (LaÂporan Harta Kekayaan PenyeÂlenggara Negara).
Maksudnya?
Jumlah nilai gratifikasi itu mesti dipertegas, berapa yang diperkenankan, berapa yang tidak. Kemudian kalau ada yang tidak lapor, sanksinya seperti apa, selama ini tidak jelas.
Bagaimana dengan LHKPN?Semuanya harus dipertegas. Misalnya semua pegawai wajib melaporkan kekayaannya. Bagi yang tidak melapor akan dikenaÂkan sanksi. Misalnya, kekayaanÂnya yang tidak dilaporkan ke LHKPN itu disita negara.
[RM]