Berita

Marwan Effendy

Wawancara

WAWANCARA

Marwan Effendy: Jaksa-jaksa Terlibat Masalah Gara-gara Ulah Masyarakat

MINGGU, 13 MARET 2011 | 02:03 WIB

RMOL. Marwan Effendy, Jaksa Agung Muda (JAM) Pengawasan Kejaksaan Agung, menilai 70 persen kasus yang menimpa jaksa disebabkan ulah masyarakat, 30 persen sisanya disebabkan faktor jaksa sendiri.

“Saya mengimbau agar masya­rakat juga jangan berkonspirasi dalam kasus persidangan dengan jaksa. Permasalahan penyuapan jaksa kebanyakan diawali oleh masyarakat dulu, bukan jaksa. Sebagian besar, hampir 70 persen diawali masyarakat dan sisanya 30 persen oleh jaksa,” ungkap Marwan.

Untuk itu. dia menekankan perlunya peran masyarakat dalam upaya membantu melakukan perbaikan terhadap institusi kejaksaan yang selama ini disorot oleh kalangan media massa. Ma­syarakat, lanjut Marwan, harus melaporkan jaksa yang bermasa­lah kepada kejaksaan di daerah­nya maupun langsung kepada dirinya.


Berikut petikan wawancara.

Dari laporan yang dilansir, ada peningkatan jaksa yang dikena­kan sanksi pada kurun waktu  2009 sampai 2010. Penjelasan Anda?
Dulu di bidang pengawasan bila ada laporan pengaduan di­pe­riksa oleh pemeriksa dan peme­rik­sa itu sangat terbatas. Di Kejagung ada sekitar lima ins­pektur dan 20 inspektur pem­bantu, proses pengawasan ini tidak akan berjalan bila hanya mengandalkan 20 inspektur pembantu. Apalagi pengaduan dari daerah-daerah semuanya dikirim kesini. Maka kemarin kita merekrut 40 orang, itu berarti 10 unit tambahan. Idealnya, kejaksaan memiliki 50 unit, ber­arti 200 orang penyidik, karena laporan yang masuk ada ribuan belum laporan tunggakan tahun kemarin.

Apakah hanya dari lapo­ran saja, tidak melaku­kan investi­gasi?
Saat ini mela­lui laporan saja, karena ada lapo­ran dari Ins­pek­to­rat Umum, Inspeksi Khusus, di samping laporan dari luar. Lapo­ran dari pihak luar ada sekitar 700 lebih, sehingga total laporan yang masuk ada 927 laporan pe­nga­duan.

Bila jaksa ter­bukti melaku­kan pe­lang­garan, sank­si apa saja yang di­beri­kan Ke­­jak­­saan Agung?
Tindakannya, kalau dia tidak menerima uang pasti dicopot jak­sanya atau strukturalnya, se­hingga jaksa tersebut tidak punya jabatan struktural. Tapi, kalau pelanggarannya agak ringan pa­ling dia ditunda kenaikan pangkat atau penurunan pangkat tiga tingkat selama 2-3 tahun.

Paling banyak, sanksi yang di­­berikan?
Paling banyak sanksi berat ada 132. Sanksi itu artinya diberhen­tikan secara tidak hormat sebagai jaksa. Selama ini yang kena ada jaksa dan ada penuntut umum.

Bagaimana pendapat Anda soal pembentukan Komisi Ke­jaksaan?
Komisi Kejaksaan itu sebenar­nya hak deskresi yang diberikan undang-undang kepada presiden. Jadi, kalau presiden melihat kinerja kejaksaan kurang bagus, maka presiden dapat membentuk Komisi Kejaksaan. Mungkin karena presiden melihat kinerja kejaksaan kurang bagus, maka Presiden membentuk Komisi Kejaksaan.

Bagaimana dengan tugas­nya, apakah akan tumpang tin­dih de­ngan tugas pengawsan in­ter­­nal yang dimiliki kejak­saan?
Tidak akan tumpang tindih. Kalau Komisi Kejaksaan punya laporan nanti mereka lanjutkan ke Kejaksaan Agung. Kalau Keja­gung tidak menindaklanjuti, maka mereka bisa mengambil alih. Dan apabila ditindaklanjuti tapi penuh dengan rekayasa untuk melin­dungi, mereka bisa ambil alih.

Apakah kinerja pengawasan Kejagung akan terbantu de­ngan kehadiran Komjak?
Jadi dengan adanya Komjak ini, kami terbantu karena penga­wasan bisa maksimal. Tapi, kalau kita liat peraturan presidennya, di situ tidak akan terjadi duplikasi penyelenggaraaan pengawasan, karena walaupun komjak diberi­kan kewenangan langsung me­me­riksa tapi pengalaman selama ini, kewenangan itu diberikan dulu kepada Kejagung.

Apakah tidak masalah kalau Komjak sampai melakukan pe­meriksaan?
Tidak masalah, oleh karena itu dalam Komjak ada orang kejak­saan di pengawasan untuk me­nemukan bentuk perilaku yang menyimpang di kejaksaan.

Ada pendapat, Komisi Ke­jak­saan dibentuk karena pe­ngawasan di internal Kejagung  pengawasan kurang efektif. Pandangan Anda?
Tidak juga, jadi begini, komjak hakikatnya dibentuk untuk me­ningkatkan kinerja kejaksaan. Mungkin selama ini kasus yang menimpa Kejagung, seperti kasus-kasus yg mencoreng dan mnurunkan citra kejaksaan. Maka dibentuklah Komjak untuk memperbaiki citra kejaksaan dan juga agar masyarakat ikut ber­peran dalam pengawasan kejak­saan. Keberadaan Komjak adalah kehendak rakyat yang diatur dalam konstitusi. Itu ‘kan komit­men bersama, memang baiknya masyarakat ikut mengawasi, karena selama ini masyarakat mengawasi tidak ada wadahnya.

Apakah banyaknya jaksa yang bermasalah karena kesa­lahan proses rekrutmen?
Tidak ada kaitan dengan proses rekrutmen. Proses rekruitmen sudah dilakukan oleh pihak independen, sama dengan tes di instansi yang lain. Di Kejagung juga melakukan itu tapi ketika wawancara dilihat integritasnya dan kemampuan intlektualnya.

Lalu, apa yang salah di ke­jak­­saan?
Jadi, ada sistem di luar rekrut­men ini, sistem yang belum ber­jalan dengan baik. Sistem itu salah satunya adalah pengawa­san. Lebih tepatnya pengawasan melekat.

Pengawasan melekat?
Pengawasan yang dilakukan oleh atasannya langsung. Selama ini bukan tidak berjalan tapi mereka tidak paham atasan ma­sing-masing jaksa itu. Pengawa­san melekat itu untuk mencegah tapi tidak berjalan. Tugasnya me­lakukan pencegahan dan penin­dakan agar sikap dan perilaku jaksa sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ini garda terdepan dengan pengawasan dari atasan kepada dua tingkat ke bawah.

Bagaimana mengoptimalkan pengawasan melekat itu?
Saya ke daerah-daerah untuk memacu itu dengan sosialisasi agar mereka paham. Karena se­lama ini mereka menganggap ada pengawasan internal. Ini salah satu sistem manajemen, ada pe­ren­canaan, pelaksanaan dan kontrol. Jadi, dalam hal ini, pe­ren­canaan dan pelaksanaan diawasi oleh pengawasan mele­kat. Intinya, atasan mengawasi bawahan.

Apakah bisa bersinergi juga dengan Komjak dan penga­wa­san internal?
Kinerja Komjak dan penga­wasan internal tidak berjalan maksimal kalau peran waskat ini tidak optimal. [RM]

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Kades Diminta Tetap Tenang Sikapi Penyesuaian Dana Desa

Rabu, 31 Desember 2025 | 12:10

Demokrat Bongkar Operasi Fitnah SBY Tentang Isu Ijazah Palsu Jokowi

Rabu, 31 Desember 2025 | 12:08

KPK Dalami Dugaan Pemerasan dan Penyalahgunaan Anggaran Mantan Kajari HSU

Rabu, 31 Desember 2025 | 12:01

INDEF: MBG sebuah Revolusi Haluan Ekonomi dari Infrastruktur ke Manusia

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:48

Pesan Tahun Baru Kanselir Friedrich Merz: Jerman Siap Bangkit Hadapi Perang dan Krisis Global

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:40

Prabowo Dijadwalkan Kunjungi Aceh Tamiang 1 Januari 2026

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:38

Emas Antam Mandek di Akhir Tahun, Termurah Rp1,3 Juta

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:26

Harga Minyak Datar saat Tensi Timteng Naik

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:21

Keuangan Solid, Rukun Raharja (RAJA) Putuskan Bagi Dividen Rp105,68 Miliar

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:16

Wacana Pilkada Lewat DPRD Salah Sasaran dan Ancam Hak Rakyat

Rabu, 31 Desember 2025 | 11:02

Selengkapnya