RMOL. Kerjasama Golden Agri Resources Limited (GAR) dan The Forest Trust (TFT) bulan lalu (Rabu, 9/2), masih menyisakan persoalan.
Kerjasama tersebut dilakukan untuk menemukan solusi terbaik dalam mengembangkan industri sawit nasional sebagai bagian dari pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kerjasama itu juga diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat di kawasan industri sawit.
Kebijakan Konservasi Hutan (KKH) adalah salah satu konsep yang dikembangkan GAR dalam kerangka kerjasama itu. KKH dimaksudkan untuk menciptakan pertumbuhan jangka panjang, tidak hanya untuk kelangsungan hidup anak perusahaan Sinar Mas itu, namun juga untuk industri sawit nasional umumnya. Selain itu, KKH juga bertujuan untuk memastikan GAR tidak memiliki rekam jejak deforestasi. Hal lain yang sedang dipersiapkan GAR dan TFT adalah apa yang disebut productivity policy dan social and commnunity engagement policy sebagai wujud dari komitmen keberlanjutan lingkungan hidup.
Sejumlah pihak, termasuk lembaga yang kerap bersuara miring menyikapi industri sawit nasional seperti Greenpeace, juga dilibatkan dalam proses kerjasama itu. Perwakilan Greenpeace pun hadir pada acara penandatanganan kerjasama yang diliput puluhan wartawan dari dalam dan luar negeri. Namun belakangan, dalam laporan berjudul “Giant Indonesian Palm Oil Company Announces Plan to Halt Forest Destructionâ€, yang disampaikan kemudian, Greenpeace memberi kesan seolah mereka tidak mengetahui substansi perjanjian kerjasama GAR dan TFT itu.
“Komitmen baru Golden Agri adalah langkah besar dalam upaya mengakhiri keterlibatan mereka dalam deforestasi. Dan bila mereka melakukan perubahan ini, akan begitu luas wilayah hutan yang dapat diselamatkan,†ujar Bustar Maitar, Kepala Kampanye Greenpeace untuk Perlindungan Hutan dalam laporan itu.
Laporan Greenpeace ini oleh sejumlah pihak dianggap tidak fair. Greenomics Indonesia, misalnya, mempertanyakan sikap Greenpeace yang walaupun mengetahui dasar pemikiran kerjasama itu, tetapi tetap memberikan penilaian yang miring terhadap industri sawit nasional.
“Greenpeace harus menjelaskan motif mereka. Sehingga publik mengetahui bahwa Greenpeace memang terlibat dalam dialog itu,†kata Direktur Greenomics Elfian Effendy.
Sepak terjang Greenpeace yang didirikan di Kanada dan sekarang berkantor pusat di Belanda beberapa waktu belakangan kerap menjadi sorotan sejumlah pihak yang curiga dengan maksud dan tujuan kampanye penyelamatan hutan yang mereka lakukan. Dikhawatirkan, kampanye Greenpeace itu justru untuk melemahkan perekonomian nasional.
Wakil Ketua Komisi XI DPR, Achsanul Qosasih, misalnya, termasuk dalam kelompok yang menduga Greenpeace tengah menjalankan agenda kepentingan asing di tanah air dengan terus menyudutkan kebijakan pemerintah Indonesia dalam sektor perkebunan dan kehutanan.
Kader Partai Demokrat ini mengingatkan, dalam persaingan bisnis global, LSM memang seringkali digunakan sebagai kuda troya untuk merontokkan perekonomian nasional dan perusahaan lokal. Qosasih terus terang mengatakan, dirinya jengah melihat keangkukan LSM asing seperti Greenpeace seringkali menggurui. Dengan dalih menyelamatkan paru-paru dunia, LSM itu bisa jadi sedang dalam misi merusak perekonomian nasional. Persis seperti musang berbulu domba. [guh]