RMOL. Pasalnya, berbagai poin yang disepakati dalam Undang-undang tersebut akan berdampak langÂsung terhadap keraton di seluruh Indonesia.
Begitu disampaikan Ketua FIKK se-Nusantara, Mudaffar Sjah, kepada Rakyat Merdeka, di Gedung DPD, Jakarta, Kamis (10/2).
“Kalau Presiden menetapkan Sultan Yogyakarta sebagai GuÂbernur, bisa dimakzulkan dengan dalih melanggar konsÂÂtitusi,†katanya.
Poin krusial dalam RUUK DIY, yakni tentang kedudukan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam, serta pengisian jabaÂtan gubernur di Yogyakarta.
Dalam RUUK yang disusun pemerintah, posisi Sultan dan Paku Alam adalah orang nomor satu dan dua di DIY yang disebut dengan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama. Namun, untuk menjalanÂkan proses pemeÂrintah, dipilih guÂberÂnur secara demokratis seÂsuai atuÂran perunÂdang-undangan yakni melalui pemilihan di DPR. SeÂÂmentara itu, Kesultanan YogÂyaÂkarta mengÂinginÂkan SulÂtan dan Paku Alam otomatis menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur.
Mudaffar Sjah selanjutnya meÂngatakan, pemerintah bersikap diskriminatif bila pemerintah meÂnetapkan Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta.
“Penetapan tersebut juga berÂtentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,’’ ujarnya.
Berikut kutipan selengkapnya:Saat ini RUUK DIY sedang diÂbahas DPR, bagaimana tanggaÂpan kesultanan se-Nusantara mengenai hal itu?Semua sultan di nusantara meÂminta pemerintah bersikap adil dalam membahas RUU tersebut. Jangan hanya Yogyakarta saja yang diistimewakan. Semua kesultanan yang ada di Indonesia juga harus diperhatikan, karena kami juga bagian dari budaya dan kearifan lokal negara ini.
Upaya apa yang sudah dilaÂkuÂkan FIKK se-Nusantara agar pemerintah tidak bersikap disÂkriminatif?Kami sudah beberapa kali rapat dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri Gawawan Fauzi) dan Komisi II DPR. Dalam perteÂmuan itu, kami menyampaikan berbagai konsep agar semua kesultanan yang ada di Indonesia diperlakukan adil. Kami menÂdesak pemerintah dan DPR memÂbuat Undang-undang yang mengakui eksistensi para sultan dan kesultanannya.
Maunya daerah istimewa, begitu?Tidak. Kami tidak memikirÂkan masalah istimewa atau tidak. Kami hanya ingin ada perhatian yang sama di mata hukum dan pemerintahan. Jadi, saat terjadi pelanggaran terhadap hukum adat, pelanggaran itu juga dapat diselesaikan melalui hukum negara.
Jadi, poin-poin apa saja yang diÂinginkan dalam Undang-undang tersebut?Pertama, kami menginginkan adanya pengakuan secara hukum terhadap seluruh kesultanan di Indonesia.
Kedua, kami ingin menÂdapat kewenangan untuk memÂbangun daerah masing-maÂsing bersama pemerintah daerah.
Ketiga, kami ingin ada alokasi anggaran untuk melakuÂkan peÂmeÂliharaan keraton. Sebab, biaya mengurus keraton itu tidak murah.
Selain itu, Undang-undang terÂsebut juga akan mengatur sejumÂlah prinsip, seperti persoalan baÂtas wilayah, pelestarian buÂdaya, serta hak-hak dan hukum adat.
Dengan adanya alokasi anggaÂÂran terhadap kesultanan, bagaiÂmana membagi kekuaÂsaan anÂtara pemerintah pusat, daerah dan kesultanan, apa seÂtiap sultan langsung ditetapkan sebagai keÂpala daerah?Tidak seperti itu. Setelah eksisÂtensi kesultanan diakui Undang-undang dan berbagai haknya diÂpenuhi, para sultan tidak perlu lagi berpolitik. Kesultanan hanya bertugas untuk menjaga budaya dan kearifan lokal di wilayahnya masing-masing.
Jika para sultan ingin merangÂkap sebagai pemimpin daerah, mereka harus memperoleh jabaÂtan itu melalui mekanisme yang ada dan berlaku, yakni pemiliÂhan. Tidak otomatis ditetapkan, seperti keinginan Kesultanan YogyaÂkarta.
Kenapa?Lho, penetapan kan melanggar Undang-Undang Dasar. KonstiÂtusi kita mengamanatkan, semua pejabat negara hingga ke kepala daerah harus dipilih. Jadi, kalau PreÂsiden menetapkan Sultan YogyaÂkarta sebagai Gubernur, dia bisa di-impeach (dimakzulÂkan), karena melanggar konsÂtitusi.
Jika anggaran pemeliharan Kesultanan dibebankan keÂpada Pemerintah, Kesultanan akan mengambil anggaran dari peÂmeÂrintah pusat atau daerah?Setelah kesultanan nusantara dibuatkan undang-undang, otoÂmatis anggaran pemeliharaannya dibebankan kepada APBN. NaÂmun, jika hal tersebut membeÂratkan negara, anggaran tersebut tidak usah sepenuhnya dibebanÂkan kepada negara. Anggaran peÂmeliharaan keraton dapat diÂambil dari hasil pengelolaan keÂkayaan daerah, baik yang dilakuÂkan pihak swasta maupun peÂmerintah daerah.
Kapan RUU tentang keraton itu diajukan ke DPR?Saat ini kami tengah merumusÂkan draf RUU tersebut. Kami menargetkan tahun ini selesai dan dapat diajukan ke DPR. Kalau Pemerintah dan DPR memiliki itikad baik, kami yakin pembuaÂtan Undang-undang ini bisa cepat dituntaskan.
[RM]