Pendidikan Yang Berkualitas Dan Berkeadilan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/tatang-muttaqin-5'>TATANG MUTTAQIN</a>
OLEH: TATANG MUTTAQIN
  • Kamis, 28 Juli 2016, 06:45 WIB
Pendidikan Yang Berkualitas Dan Berkeadilan
EMPAT tahun lalu, firma pendidikan Pearson merilis "Top 20" kualitas pendidikan yang masih dirajai oleh Finlandia.

Namun kiwari kedigjayaan Finlandia disalip oleh tiga serangkai negeri Asia Timur, terutama untuk mata pelajaran Matematika dan Sains. Capaian matematika tertinggi diraih Shanghai (613), disusul Singapura (573), dan Hongkong (561). Adapun untuk Sains, Shanghai tetap di urutan atas (581) disusul Hongkong (555), dan Singapura (551).

Decak kagum dunia atas pencapaian Asia Timur tersebut tak lepas dari perpaduan ekspektasi yang positif terhadap pentingnya pendidikan, kegigihan, kedisiplinan dan peran orang tua dalam persekolahan. Orang tua Asia Timur, baik di Amerika dan juga Eropa mau berinvestasi untuk membeli 2 pasang buku untuk setiap pelajaran, yang satu dibaca dan dibawa siswa dan satunya lagi dibaca orang tua, umumnya ibunya untuk memantau dan mendampingi belajar anak.

Tak pelak, baik di Amerika maupun di Eropa, prestasi anak-anak Asia Timur selalu menonjol. Hal ini lebih lebih kentara lagi di negeri mereka sendiri karena kompetisi sangat ketat, kerja keras dan disiplin atau terhempas. Demikian mantra persekolahan dan bimbingan belajar di negeri-negeri Asia Timur (Tzuyi, 2016).

Suasana kompetitif juga sangat dirasakan di tanah air sehingga sekolah saja tidak cukup, perlu tambahan les, bimbingan belajar atau try-out untuk bisa lolos seleksi mauk sekolah idaman. Dalam rangka ikhtiar meningkatkan berkualitas pendidikan, di samping melakukan ujian terstandar nasional (UN), Indonesia juga berpartisipasi dalam test standar negara maju (PISA) sejak tahun 2000. Hasilnya, untuk kemampuan membaca cukup mengalami perbaikan dari nilai 371 tahun 2000 merangkak ke 382 (2003), 393 (2006), dan 406 (2009). Namun terakhir turun kembali menjadi 396 yang tentu masih jauh dibanding negara Asia Timur.

Untuk Sains, siswa Indonesia jauh lebih rendah lagi berada di kisaran 382 di atas Peru sebagai juru kunci (373). Dan semakin menurun untuk Matematika, di mana rerata siswa Indonesia hanya mampu meraih nilai 375 atau sedikit di atas juru kunci, Peru 368.

Capaian rerata siswa Indonesia yang belum sesuai harapan membutuhkan akselerasi agar sedikit mampu ke tengah karena kalau terlalu tinggi ekspektasinya juga kondisi obyektif kita juga memang berat. Sebagian memberikan pandangan lain karena anak Indonesia banyak yang meraih prestasi gemilang dalam beragam olimpiade sains yang menjadi proyek kebanggaan pemerintah, dalam hal ini Kemdikbud, serta menjadi "area perburuan" bagi Singapura yang mencari lulusan SMA bertalenta terbaik dari ragam budaya dan ras untuk mencapai ranking terbaik PT yang menjadi target Singapore dan Korea Selatan.

Fakta tersebut nampak paradoksal, sekalipun benar adanya karena yang satu dilihat kinerja agregat nasional sedangkan yang kedua kinerja individual. Tidak salah namun barangkali akan lebih baik jika kita lihat secara lebih utuh potret makro dan mikronya secara jernih agar keluar usulan solusi yang tepat.

Kalau dilihat "perjuangan" siswa, pendidikan di Indonesia itu cukup sulit sehingga kalau terkuasai dengan utuh, kualitasnya sangat baik. Setidaknya pengalaman pribadi saya yang kebetulan 2 anak saya pernah belajar di dua sistem, yaitu sekolah Belanda dan sekolah Indonesia Jarak Jauh (Sekolah Indonesia Netherlands atau SIN). Mendampingi anak belajar jarak jauh SIN benar-benar sangat menguras pikiran dan tenaga, di lain pihak pelajarandi sekolah Belanda, khususnya matematika dan IPA masih cukup sederhana sehingga relatif mudah dan tak ada PR sertaa tak perlu les tambahan sehingga akhirnya kami memutuskan berhenti dari SIN.

Kembali ke pengukuran kemampuan kognitif yang umumnya dilakukan pada anak usia akhir SMP (15 tahun), sebagian kecil sekolah terbaik di Indonesia tak kalah bersaing dengan sekolah di negara maju hanya butuh peningkatan praktek verbal, baik lisan maupun tulisan sehingga kalau diukurnya sekolah tersebut, Indonesiaa tak akan di bawah hanya ketika agregat dan dominannya sekolah yang apa adanya maka anjlok ke posisi terbawah. Mungkin membandingkan SMUN Bukit Duri dengan SMA Swasta di pinggiran Jakarta atau SMA di pinggiran Rangkasbitung. SMA-SMK Negeri secara umum lumayan karena biaya yang mencukupi dari APBD, namun jenjang ini didominasi sekolah swasta yang umumnya kualitas input dan prosesnya jauh di bawah negeri.

Ironisnya, penghuni SMA-SMK swasta didominasi siswa keluarga yang secara status sosial ekonomi di bawah sekolah negeri. Hanya sedikit saja sekolah swasta karena pilihan dengan kualitas ekstra sehingga input yang medioker dapat dipoles menjadi lebih unggul semacam di Al-Azhar dan sekolah swasta elit lainnya. Hal ini diperberat dengan potret Madrasah Aliyah (MA) yang mengisi porsi pasar sekitar 13-15 persen yang sekitar 95 persennya sekolah swasta dengan kualitas minimal. Sekalipun setingkat SMA-SMK dengan MA tak mudah dipersamakan dalam "keberuntungan" karena yang satu merujuk Kemdikbud yang didesentralisasi sedangkan MA merujuk Kemenag yang tersentralisasi.
Nasib MA swasta, seperti jatuh tertimpa tangga karena tak mungkin terbantu oleh Kemenag (APBN) juga bukan kewenangan pemerintah daerah (APBD).

Singkatnya, masalah terbesar adalah kesenjangan yang tak dapat dilepaskan dari kealfaan penyelenggara negara dalam mengejawantahkan Konstitusi, di mana perintahnya mencerdaskan anak bangsa bukan mencerdaskan anak bangsa yang sekolah di sekolah negeri saja yang berdampak pada tak berimbangnya subsidi pendidikan. Siswa yang sekolah di sekolah swasta nyaris banyak tak tersentuh APBN-APBD sehingga siswa yang berlatar belakang ekonomi lebih baik lebih banyak mendapat subsidi dan keuntungan dari negara, sedangkan siswa dari ekonomi kurang mampu nyaris tak terjangkau.

Jadilah yang miskin membiayai pendidikan sendiri atau bantuan budi baik yayasan atau organisasi sosial sedangkan yang mampu dibantu pembiayaannya, dan agar lebih baik menambah biaya untuk meningkatkan layanan tambahan.

Ketimpangan ini semakin menjadi-jadi ketika diperkenalkan sekolah negeri berstandar internasional (SBI) dan rintisan SBI (RSBI) yang mendapat dana berlimpah ruah dari APBN, APBD Provinsi dan APBD Kab/Kota serta orang tua. Deraan krisis pada tahun 1997 dan "tekanan" lembaga internasional sedikit membantu sekolah swasta melalui Dana Bantuan Operasional (DBO) yang lebih berpihak swasta, dan berlanjut dengan model pendanaan Biaya Operasional Sekolah (BOS) yang dihitung berbasis siswa tanpa membedakan negeri dan swasta.

Melihat kesenjangan dan misalokasi ini, sebenarnya pilihan yang tepat adalah menjadikan sekolah negeri dikuota untuk siswa yang tak mampu sebagaimana dilakukan Ridwan Kamil, di Kota Bandung yang tantangannya adalah menilai basis ketidakmampuan. Alternatif lainnya membatasi atau menghentikan secara bertahap alokasi dana ke sekolah negeri unggulan yang didominasi orang kaya untuk direalokasi, misalnya dengan menambahkannya untuk meningkatkan besaran BOS sehingga mendekati besaran kebutuhan riil.

Gagasan lain adalah dengan menjadikan satuan pendidikan sebagai institusi mandiri (dulu Badan Hukum Pendidikan-BHP) yang diperlakukan sebagai kontraktor”, berapa meluluskan dengan kualitas tertentu dikonversi dengan dana pemerintah yang banyak dilakukan di negara maju dan studi Patrinos (2009) di berbagai negara bisa jadi rujukan. Dalam melakukan fungsi proteksi pemerintah, bantuan ke satuan pendidikan swasta juga perlu dilihat kualitasnya agar tak menjamur satuan pendidikan "apa adanya" yang dalam jangka panjang merugikan peserta didik.

Di samping kesenjangan ekonomi, kita menghadapi kesenjangan antarkota dan antarprovinsi (AKAP) dan kesenjangan antara kota dan desa. Sebagai contoh angka partisipasi murni (APM) SD-MI sudah melampaui 95 persen dan angka partisipasi kasar (APK) SMP-MTs mencapai lebih dari 98 persen, dan APK SM-MA mencapai 71 persen (Kemdikbud, 2012). Pencapaian nasional tersebut cukup baik namun jika ditelisik di tingkat provinsi kesenjangan demikian menganga, misalnya APM SM-MA di DKI Jakarta (96,4 persen), DI Yogyakarta (82,1 persen), dan Maluku (81,3 persen). Bandingkan dengan tetangga Jakarta, Jawa Barat (46,5 persen) yang lebih rendah dari provinsi baru, Sulawesi Barat (47,0 persen) dan  Papua Barat (48,3 perseb).

Potret tersebut tentu membuat kita terperangah karena Jawa Barat, di mana UI, ITB, Unpad, UPI dan UIN berada menjadi provinsi tertinggal dalam pendidikan.  Kenapa demikian? Karena Jawa Barat populasinya sangat besar dan bervariasi sehingga menaikkannya tak mudah sekalipun Gubernur sudah berusaha mengangkat profesor sebagai staf ahli misalnya.

Faktor birokrasi dan tata kelola (governance) Jawa Barat dalam pendidikan patut menjadi perhatian namun juga ulasan Pearson tentang "budaya pendidikan" alias perilaku masyarakat terhadap pendidikan patut juga didalami. Bandingkan dengan Maluku, daerah konflik dengan infrastruktur terbatas mampu berada dalam posisi ke-3 dalam pencapaian partisipasi pendidikan menengah. Kesenjangan antar kabupaten dan kota di Jawa Barat lebih lebar lagi, di mana APM SM-MA tertinggi diraih Kota Cirebon yang mencapai 85 persen dan terendah Kabupaten Bandung Barat hanya 20,7 persen. Kelima kab/kota yang pencapaiannya tertinggi adalah kota dan lima terendah semuanya kabupaten, artinya ada kesenjangan kota dibanding kabupaten. Juga Jawa Barat kawasan pantai (Pantura) secara umum lebih baik angka partisipasi pendidikannya dibanding kawasan pegunungan (Priangan).

Mengatasi kesenjangan AKAP, pemerintah perlu memberikan perhatian yang lebih pada provinsi, kabupaten dan kota yang tertinggal pencapaiannya dengan melakukan insentif dan disinsentif fiskal, perpaduan antara "dibina" dengan alokasi dana lebih besar selama periode tertentu misalnya, kalau tak berhasil "dibinasakan" alias tak diberi alokasi lewat pemda namun langsung ke sekolah. Adapun menyikapi masalah "budaya pendidikan," nampaknya perlu melibatkan dan menerjunkan antropolog untuk membedah "kendala budaya" agar diperoleh cara yang tepat dalam mengatasinya.

Selanjutnya, agar pendidikaan tidak melahirkan sedikit "pemenang" dan berlimpah "pecundang", maka suasana pembelajaran diubah arahnya dari "pembelajaran individualis yang kompetitif" menjadi "pembelajaran kolaboratif" sehingga yang tertinggal dibantu oleh yang pintar yang tentu tak akan mengurangi kepintaran malah makin memperkokoh penguasaan. Ajaran agama menekankan keharusan menyampaikan yang berpengetahuan pada yang belum tahu atau menurut Covey, "mengajarkan pada orang lain" merupakan pembelajaran paling efektif.

Efektivitas pembelajaran akan sangat bergantung pada kerja sama peserta didik dan guru sehingga posisi guru menjadi kunci sebagaimana diulas Pearson. Kompetensi guru juga tak kalah beragamnya. Kemampuan guru dalam menguasai soal Ebtanas di bawah 50 persen. Jumlah guru PNS mendekati angka 2 juta dan non-PNS di sekolah umum dan madrasah melampaui angka 2 juta dengan kualifikasi dan kompetensi yang sangat bervariasi.  Kualitas guru dipengaruhi oleh bagaimana orang merasa bangga sehingga profesi guru merupakan panggilan batin bukan karena pilihan terpaksa atau pilihan sementara sambil menunggu tawaran profesi yang lebih menjanjikan.
Di samping itu, Pearson mengurai juga besaran gaji yang sekalipun berdasarkan studi berkorelasi negatif dengan kinerja guru namun setidaknya "menjadi daya pikat" bagi generasi muda bertalenta untuk menjadi guru.

Sebagian guru, baik PNS maupun non-PNS sudah mendapat tunjangan profesi yang untuk ukuran di perdesaan cukup baik namun sebagian lainnya belum mendapatkan tunjangan profesi tersebut sehingga banyak guru yang dibayar dibawah standar UMR, utamanya guru non-PNS sehingga menyambi pekerjaan lain.

Dari pendapatannya keragaman guru sungguh luar biasa, sehingga masih banyak guru di satuan pendidikan swasta yang mendapat honor di bawah UMR. Di sisi lain ada banyak guru yang berpendapatan cukup melimpah semisal guru PNS di satuan pendidikan negeri unggulan (Gaji PNS, tunjangan profesi, tunjangan Pemda, tambahan tunjangan dari Komite Sekolah dan lain-lain). Seiring dengan gagasan satuan pendidikan sebagai "kontraktor", guru juga diperlakukan profesional oleh satuan pendidikan langsung sehingga diberi penghargaan yang baik dan sekaligus evaluasi kinerjanya. Sekolah melakukan kontrak kinerja dengan Pemda, dan guru juga melakukan kontrak kinerja dengan sekolah sehingga antara biaya dan kinerja sebanding. Model "kontraktual" ini juga akan mengurangi penambahan guru yang sulit dibendung saat ini sehingga kelebihan guru bisa ditekan.

Inilah barangkali yang bisa dilakukan untuk meningkatkan akses dan kualitas pendidikan di tanah air yang tentu tak akan serta merta dapat melonjakkan kinerja karena ada faktor lainnya seperti budaya, status sosial-ekonomi masyarakat dan budaya birokrasi yang juga perlu terus diperbaiki.

Sekalipun dalam beberapa dekade ini agak sulit masuk setingkat capaian pendidikan negara maju apalagi Asia Timur namun tentu optimisme terhadap pendidikan negeri ini tetap tinggi. Ini penting karena seperti kata Covey, hasil dan kinerja ke depan akan tergantung sikap, dan sikap tergantung paradigma yang dipengaruhi cara kita memandang untuk meraih optimisme pendidikan yang lebih berkualitas dan berkeadilan. [***]

Penulis adalah peneliti di The Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS), University of Groningen, The Netherlands

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA