Berawal mengantar si bungsu, sejak usia 4 tahun memulai sekolah di Annie MG Schmidtschool, saya belajar tentang pelaksanaan penggabungan sekolah atau regrouping sebagai upaya efisiensi persekolahan, di mana dua sekolah digabungkan menjadi satu payung manajemen.
Di Indonesia juga "regrouping" diupayakan untuk mengefisienkan sekolah, semisal SDN Cikiduy 1,2,3,4 yang berlokasi 1 gedung dengan 4 kepala sekolah dengan bergiliran (shifting) waktu belajar didorong gabung dengan insentif "block-grant" namun tak mudah karena mengurangi jabatan kepala sekolah dari 4 jadi 1. Mungkin karena di sini jabatan itu biasa saja sehingga tak serumit di tanah air. Dalam suatu pertemuan, saya berkesempatan ditanya President Universitas Groningen (UG) dan saya dengan bebas menyampaikan aspirasi dan tuntutan, dan saya juga baru tahu bahwa beliau President UG yang tak jarang berpapasan sepeda dengan para mahasiswa.
Mengancik pada pembelajaran, sebagai siswa Grup 1
Openbare basiSchool atau sekolah dasar yang lamanya 8 tahun dari grup 1-8, aktivitas di sekolah hanyalah bermain, belajar mandiri dan bersosialisasi sebagai bagian tujuan pendidikan dasar, yaitu membantu tumbuh kembang fisik, mental dan emosional anak sehingga tak jarang sekolah menyediakan beragam makanan, biasanya sayur dan buah-buahan agar anak sejak dini mau makan buah dan sayuran.
Berangkat ke sekolah tak membawa buku atau alat tulis/gambar karena sudah ada di sekolah cukup roti untuk makan siang karena untuk 3 hari sekolah lanjut sampai jam 15.00. Ketika pulang, si Bungsu yang biasanya sulit makan sayur dengan "lancar dan nikmat" mengunyah wortel mentah dari sekolah. Setiap bulan ada pertunjukan siswa sebagai wahana membentuk kepercayaan diri dan kerja sama dengan dibagi per dua kelas dan ditonton semua siswa dan sebagian orang tua yang berkenan hadir.
Selanjutnya, saya belajar dari kegiatan sekolah putra kedua berusia 10,5 tahun saat itu yang bersekolah di Borgmannschool yang menyediakan mobil jemputan (connexion) baik pembelajaran Bahasa Belanda maupun jemputannya bagi siswa yang baru datang dari luar negeri (non-Belanda) yang terletak di pusat kota Groningen. SD Borgmann terdiri dari 4 gabungan sekolah dengan 4 kepala sekolah (principal) yang dikoordinir oleh seorang direktur dengan kampus yang terpencar dan menggunakan fasilitas olahraga, ekstrakurikuler bersama sehingga pemanfaatkan beragam fasilitas tersebut optimal.
Memasuki sekolah di Grup 6 alias turun dibanding sewaktu sekolah di Indonesia kelas V yang diidasarkan kondisi ketersediaan kelas yang relatif masih tak padat. Nampaknya jenjang atau kelas tak terlalu penting bagi mereka, kalau mau naik lagi silahkan saja nanti asal mampu mengejar ketertinggalan. Pelajaran di Grup 6 pun hanya beberapa mata pelajaran saja semisal matematika, sains dan lingkungan (semacam IPS) yang biasanya dimulai dengan nonton TV sebagai media visualisasi dan lalu siswa diminta menceritakan ulang atau mendiskusikannya.
Pada jenjang SD belum ada pelajaran Bahasa Asing seperti Bahasa Inggris. Lagi-lagi secara isi pelajaran, tak banyak yang dipelajari di jenjang SD karena orientasinya pada pembentukan fisik, mental dan emosional siswa sehingga senang dan siap belajar pada jenjang selanjutnya yang lebih serius, SMP dengan ragam bentuk, baik general maupun vokasional.
Sesekali orang tua diundang hadir pada
unjuk kabisa siswa Grup 6 sekaligus penyerahan diploma (sertifikat) belajar keterampilan semacam drum-band, dan saya pun menyempatkan hadir dan menyimak bagaimana kegiatan tersebut dikelola dan ditampilkan.
Secara umum, tak ada yang istimewa dari sistem persekolahan di Belanda ini namun selalu dalam posisi teratas dalam kemampuan rerata siswa baik membaca, bahasa, sains dan matematika semisal standar organisasi negara maju berupa PIRLS, PISA, TIMMS padahal belajarnya santai dan liburnya banyak sekali, empat musim dengan empat liburan 2 pekanan dan liburan panjang kenaikan kelas sekitar 2 bulan. Nampaknya mereka belajar sedikit namun tingkat pemahaman yang utuh dan merata dengan kerangka logika yang jalan sehingga mampu menginferensi dalam beragam kasus berbeda dengan prinsip sama.
Menginjak si Cikal yang saat itu berusia 12 tahun yang akan selesai karena batas usia SD 12 tahun. Di Grup 8 pada tengah tahun ada semacam ujian nasional bernama CITO-test yang didesain lebih santai di mana siswa dapat mengisi jawaban sambil menikmati makanan ringan semisal permen atau coklat agar tak membuat siswa tertekan atau stress.
Hasil test ini akan jadi masukan untuk rencana studi SMP selanjutnya, yang kuat akademinya masuk Lyceum dan Gimnasium, lalu ada yang HAVO dan yang lebih praktis VMBO agar nantinya diarahkan ke vokasi. Jadi tak semua anak diarahkan ke universitas dan menjadi sarjana namun diarahkan sesuai kemampuan dan bakat sehingga selaras dan optimal talentanya.
Selesai SD Belanda, si Cikal lebih berkeinginan untuk melanjutkan ke International School (ISG) sehingga gurunya tersebut menyarankan kami ikut Open Day ISG. Dalam Open Day tersebut, calon siswa diperkenalkan mengikuti bagaimana pembelajaran di sekolah berlangsung dan mata pelajarannya. Sebagai sekolah international yang berbasis di Inggris dengan IB-nya, model ISG ini ada di beragam belahan dunia termasuk Indonesia semisal Ghandi Memorial School atau Rafless International School, dan semacamnya dengan kurikulum yang distandarkan seperti pelajaran Matematika, IPA, Humanities (History and Geography), Visual Art, dan Drama.
Sebagai orang tua yang harus mendampingi, saya menyimak setiap paparan pelajaran- pelajaran tersebut sampai ke lab-nya, pelajarannya sederhana dan praktis, semisal geografi belajar mengukur jarak, skala dan semacamnya atau matematika dengan model deretan angka dalam psikotest atau Test Potensi Akademik (TPA).
Pola pembelajarannya sangat interaktif dan siswa diarahkan saling membantu sehingga tak terjadi gap pintar dan kurang pintar. Setiap pekan ada pelajaran mental ROW yang diarahkan agar siswa punya ketegasan sikap dan pandangan namun juga saling menghormati. ROW ini juga menekankan perlunya zero-bully alias tak mentoleransi adanya praktek bully sebagai komitmen bersama.
Metode dan isi pembelajaran di sekolah yang ada di berbagai belahan dunia memiliki keunikan dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan beberapa sistem persekolahan mampu melakukan evidence based learning dalam cara dan metoda pembelajaran sehingga mampu mendekatkan "waktu dan kesiapan siswa, konten pelajaran dan relevansi konten dengan dunia nyata."
Agar pembelajaran mampu merespon kesiapan dan kebutuhan siswa, maka semua perlu terus membaca, menyimak dan memetakan beragam khasanah persekolahan. Menjaga yang lama yang baik dan mengkreasi yang baru yang lebih baik sebagaimana pesan penuh hikmah,
al-mukhafadzah 'ala al-qadiem al-shalih waa al-akhdzu bi al-jadied al-ashlah. [***]
Penulis adalah peneliti di The Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS), University of Groningen, The Netherlands