Belajar Mudah Dan Efektif?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/tatang-muttaqin-5'>TATANG MUTTAQIN</a>
OLEH: TATANG MUTTAQIN
  • Selasa, 19 Juli 2016, 07:08 WIB
Belajar Mudah Dan Efektif?
KETIKA empat tahun lalu, anak-anak memulai sekolah, salju cukup deras terus menghujani Groningen sehingga salju di jalanan mencapai 20-30 centimeter. Salju tersebut berlanjut turun sebagaimana diperkirakan dalam ramalan cuaca yang berdampak jalanan tak mudah sehingga menimbulkan kemacetan.

Sepulang sekolah yang diantar Mercy connexion, sopir mengabarkan bahwa besok sekolah diliburkan. Jika dikumpukan banyak sekali libur sekolah di Belanda; tiap pergantian musim yang empat macam selalu ada libur dua pekan, sepekan paskah, liburan kemerdekaan atau pembebasan kota sampai liburan kenaikan kelas yang cukup panjang sekitar enam pekan. Di samping banyak libur, tak pernah ada tugas alias PR yang dibawa ke rumah untuk jenjang pendidikan dasar.

Namun dengan ikhtiar yang tak terlalu berat namun hasil pembelajaran di negeri kincir angin ini cukup membanggakan sekalipun tak berada di puncak sebagaimana Shanghai, Singapura atau Hongkong namun di kawasan Eropa cukup tinggi bersama Switzerland dan Finlandia.

Jika merujuk raihan pendidikan standar organisasi kerjasama ekonomi maju atau OECD melalui Program for International Student Assessment (PISA) dengan 3 kategori utama, yaitu kemampuan baca (28 items), matematika (19 items) dan sains (35 items)untuk siswa usia 15 tahun dengan beragam soal, baik pilihan berganda, jawaban singkat dan essay, raihan rerata siswa adalah 511 untuk kemampuan membaca (ranking 10), 523 untuk matematika (ranking 15) dan 515 untuk sains (ranking 15) atau rerata selisih dengan Indonesia mencapai lebih dari 100 poin, dan berada jauh di atas rerata siswa Amerika Serikat (AS) dan negara maju lain pada umumnya (negara OECD).

Pertanyaannya, bagaimana dengan upaya yang tak terlalu berat bisa meraih prestasi yang cukup memuaskan? Dalam hal ini, AS juga merasa tertinggal sehingga setiap laporan capaian pendidikan di AS, selalu ditekankan tentang adanya tren stagnasi pencapaian raihan pendidikan negeri adidaya dengan merujuk PISA.

Dalam rangka ikhtiar meningkatkan berkualitas pendidikan, disamping melakukan ujian terstandar nasional (UN), Indonesia juga berpartisipasi dalam PISA tersebut sejak tahun 2000 dan untuk kemampuan membaca cukup mengalami perbaikan dari nilai 371 tahun 2000 merangkak ke 382 (2003), 393 (2006), dan 406 (2009) namun terakhir turun kembali menjadi 396 yang tentu masih jauh dibanding negara OECD dan partisipan lainnya. Pencapaian kemampuan membaca paling top termutakhir adalah Shanghai (578), Hongkong (545), dan Singapura (542).

Jika melihat capaian termutakhir, nampaknya ras kuning yang cukup gigih dengan ekspektasi pendidikan yang dikenal positif mendominasi dalam matematika dan sains. Capaian matematika tertinggi diraih Shanghai (613), disusul Singapura (573), dan Hongkong (561), sedangkan Indonesia jauh di bawah, yaitu 375 atau sedikit di atas juru kunci, Peru 368.

Untuk sains, Shanghai tetap di urutan atas (581) disusull Hongkong (555), dan Singapura (551) serta Indonesia berada di kisaran 382 di atas Peru sebagai juru kunci (373).

Potret PISA tersebut selalu menjadi kegelisahan para pegiat pendidikan di negeri Paman Sam karena berada sedikit di bawah rerata OECD dan jauh dibanding Asia Timur. Untuk kemampuan membaca, AS mendapat nilai 498 dan matematika meraih 481, serta sains bertengger di 492.

Meskipun demikian, semua pemerhati pendidikan memahami kenapa capaian ras kuning semisal Shanghai, Hongkong, Singapura dan Korea Selatan berada di puncak karena pengerahan usaha dan banting-tulang semua pihak termasuk siswa di negeri tersebut terbilang luar biasa alias tak ada hari tanpa belajar dengan disiplin yang ekstra ketat.

Saya ingat, bagaimana saya ditegor oleh profesor Korea Selatan karena saya minta ijin ke toilet tak tahan ingin ke toilet di musim dingin. Sang profesor berpetuah, bahwa hal semacam itu boleh dilakukan saat istirahat karena kalau dalam pembelajaran mengganggu. Sungguh jauh berbeda dengan di negeri Barat yang bisa keluar tanpa beban.

Bagaimana dengan Indonesia?

Tentu masih perlu berjuang lebih keras dan sekalipun kerja keras siswa Indonesia tak sekeras China atau Singapore namun cukup memeras pikiran dan keringat. Lihatlah beban pelajaran yang cukup banyak dengan isi yang kadang di luar perkiraan sehingga saya pun kadang bingung membaca soal PPKN yang bertanya mendalam tentang tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi atau perbedaan nomenklatur pemerintahan pra- amandemen dengan pasca-amandemen yang pejabat eselon 1 saja belum tentu semuanya tahu.

Di samping, kedalaman yang terlalu menukik sekalipun relevansinya terbatas juga kadang muncul pertanyaan titipan” semisal pertanyaan nama pejabat lokal di daerah tinggal. Pertanyaan yang unik sebenarnya karena paska reformasi bahkan kita juga tak ingat lagi nama-nama menteri di kabinet saat ini karena banyak dan sering berganti atau tak terlihat juga kinerjanya sehingga tak pernah diliput media dan tak diingat. Sungguh mengingat nama-nama seperti ini tak relevan bahkan membebani subjek didik.

Civic education sejenis PPKN ini sejatinya menanamkan nilai-nilai kewarganegaraan dan budaya berkeadaban (civic culture) sehingga selepas sekolah subyek didik mampu menempatkan dirinya secara tepat dalam masyarakat sebagai public benefit dari pendidikan.

Bagaimana agar pembelajaran efektif sehingga seperti siswa di Holland ini yang tak terlalu berat bebannya namun capaiannya signifikan?

Penekanan pendidikan dasar selama delapan tahun dari usia 4-12 tahun ditekankan pada pendidikan karakter dan memahami lingkungan sekitar dengan diimbangi banyak aktivitas fisik yang diharapkan tumbuh kembang dengan sehat fisik, berkecukupan gizi, kemampuan komunikasi dan sosial.

Kesadaran yang tumbuh kembang pada jenjang pendidikan dasar dimantapkan dengan percepatan kemampuan kognitif, analisis dan refleksi pada jenjang pendidikan menengah pertama. Penekanan membaca, belajar mandiri, kontekstualisasi dan presentasi di depan kelas secara regular dan intensif mempercepat pemahaman dan kemampuan siswa sehingga mampu mengejar ketertinggalan. Sehingga di penghujung SMP, ketika test PISA dilakukan sudah siap dan memahami pertanyaan dan mampu berargumen dan mengkongkretkan pertanyaan tersebut dalam kehidupan keseharian.(praktikal-reflektikal).

Barangkali pengalaman tersebut, secara bertahap dapat dilakukan dan disinergikan dalam sistem dan metoda pembelajaran di tanah air. Semoga! [***]

Penulis adalah peneliti di The Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS), University of Groningen, The Netherlands

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA