Pola Asuh, Asah Dan Asih

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/tatang-muttaqin-5'>TATANG MUTTAQIN</a>
OLEH: TATANG MUTTAQIN
  • Kamis, 30 Juni 2016, 09:01 WIB
Pola Asuh, Asah Dan Asih
KELUARGA merupakan komponen masyarakat terkecil di mana orangtua adalah lingkungan yang pertama dan utama bagi pembentukan kepribadian dan tingkah laku anak. Dikatakan demikian karena sejak kelahirannya anak berada di lingkungan dan di bawah asuhan orangtuanya. Pola sikap, perilaku, dan nilai-nilai yang ditanamkan orangtua kepada anak melalui pengasuhannya itu merupakan landasan fundamental bagi perkembangan kepribadian dan tingkah laku anakselanjutnya.

Segall, et al., (1990) menyebutkan bahwa ‘the developmentalniche’ memiliki tiga komponen yang saling terkait, yaitu: (1) konteks fisik dan sosial tempat anak hidup, (2) pengasuhan yang ditentukan secara kultur dan praktek - praktek pendidikan, dan (3) karakteristik psikologis orangtua. Secara lebih tegas Fuhrmann (1990: 108) menyatakan, jika suatu faktor dapat dipisahkan sebagai faktor tunggal yang berpengaruh dalam perkembangan anak, faktor itu jelas faktor keluarga atau orangtua.

Unit keluarga, meskipun berubah secara drastis sebagai hasil inovasi teknologi dan sosiologis, tetapi tetap sebagai tempat sosialisasi utama. Dengan cara apa dan bagaimana orangtua menanamkan pola sikap, perilaku, dan nilai kepada anak, sangat tergantung kepada filosofi atau cara pandang orangtua tentang anak (anak di mata orangtua). Cara-cara yang digunakan orangtua dalam pengasuhan anak tersebut akan berdampak terhadap perkembangan kepribadian dan tingkah laku anak.

Pada dasarnya ada tiga cara pandang orangtua terhadap anak, yaitu: (1) anak dipandang sebagai obyek, (2) anak dipandang sebagai subyek, dan (3) anak dipandang sebagai obyek sekaligus subyek. Orangtua yang memandang anak sebagai obyek, cenderung menggunakan pendekatan authoritarian dalam mengasuh anak; dan orangtua yang memandang anak sebagai subyek, cenderung mengunakan pendekatan permissive atau laissez-faire dalam mengasuh anak; sedangkan orangtua yang memandang anak sebagai obyek sekaligus subyek, cenderung menggunakan pendekatan authoritative dalam mengasuh anak.

Baumrind seorang ahli psikologi mengemukakan tiga tipe orangtua dengan karakteristiknya, yaitu: orangtua authoritarian, orangtua permissive, dan orangtua authoritative (Baumrind dalam Lerner & Hullsch, 1983:282- 283). Orangtua authoritarian berusaha untuk menentukan, mengontrol dan menilai tingkah laku dan sikap-sikap anak sesuai dengan yang ditentukan, terutama sekali berdasarkan standar-standar yang absolut mengenai perilaku. Orangtua ini menekankan nilai kepatuhan yang tinggi terhadap kekuasaan atau kewenangannya dengan menghukum, memaksa dengan kuat untuk mengekang ‘kehendak diri’ anak bila perilaku dan keyakinan-keyakinan anak bertentangan dengan apa yang dipandang benar menurut orangtua.

Pendekatan authoritarian menekankan pada kepatuhan yang keras, tanpa variasi ataupun negosiasi, dan kurang memperhatikan lingkungan sekitar. Pendekatan ini terutama direkomendasikan untuk menghilangkan penyimpangan tingkah laku. Orangtua permissive mencoba untuk mereaksi terhadap perilaku hasrat dan keinginan, impuls-impuls anak, dengan cara tidak menghukum tetapi menerima, mengiakan atau membolehkan. Orangtua ini tidak menawarkan dirinya kepada anak sebagai ‘agen’ yang aktif dan bertanggung jawab terhadap pembentukan atau modifikasi tingkah laku anak saat ini atau di masa depan. Orangtua tipe ini menjadikan dirinya sebagai sumber penghidupan (resource) bagi anak, dan menuruti keinginan atau kehendak anak (Norman, Richard, dan Sharon, 1994).

Selanjutnya Norman, Richard dan Sharon (1994) menambahkan bahwa pendekatan permissive atau laissez-faire menekankan pada kebebasan anak untuk berbuat atau beraktivitas dalam mengembangkan dirinya. Dasar pertimbangannya bahwa anak memiliki hak dan kebebasan dan harus diberi kebebasan mengembangkan diri sesuai dengan potensinya.

Hetherington & Parke (1993) menyebutkan, orangtua permissive adalah longgar secara berlebihan dan disiplin yang diterapkan tidak konsisten. Sedangkan, tipe orang tua authoritative menurut Hoffman (1970), berusaha menunjukkan atau mengatur aktivitas anak mereka dengan cara-cara yang berpusat pada isu rasional. Orangtua berusaha merangsang tingkah laku yang diinginkannya pada anak melalui penjelasan-penjelasan dan mempertimbangkannya dengan anak. Orangtua tipe ini memberikan dorongan lisan (verbal) ‘saling memberi dan menerima’ serta mengizinkan anak untuk duduk bersama-sama untuk ikut mempertimbangkan apa yang tersirat dibalik arahan mereka. Orangtua ini menggunakan kontrol tegas tetapi pada tingkat yang tidak terlalu membebani anak dengan retriksi atau kekangan.Orangtua authoritative berusaha mengkombinasikan kekuasaan atau kewenangan dalam membesarkan anak dengan aturan-aturan yang dilihat sebagai hak dan kewajiban bersama yang saling melengkapi antara orangtua dan anak.(Baumrind, 1968: 261).

Steinberg (1993) menambahkan bahwa orangtua authoritative adalah hangat tetapi tegas.Mereka menggunakan seperangkat standar untuk mengatur tingkah laku anak tetapi membangun harapan-harapan yang disesuaikan dengan perkembangan kemampuan dan kebutuhan anak.Mereka menekankan nilai yang tinggi pada perkembangan otonomi dan pengarahan diri, tetapi bertanggung jawab penuh terhadap perilaku anak.Para orangtua ini menanamkan kebiasaan-kebiasaan rasional, berorientasi pada masalah dan menyenangkan dalam perbincangan dan penjelasan di seputar persoalan disiplin dengan anak-anak mereka.

Setiap pendekatan yang digunakan orangtua dalam pengasuhan anak seperti yang diuraikan di depan, jelas memiliki dampak terhadap perkembangan kepribadian dan perilaku anak. Hurlock (1997) menyebutkan disiplin otoriter yang keras (‘authoritarian’), disertai banyaknya hukuman badan cenderung memupuk kebencian kepada semua orang yang berkuasa dan menimbulkan perasaan menyerah, perasaan yang dapat dan sering berkembang menjadi kompleks martir.

Pendekatan disiplin otoriter dan disiplin lunak (‘permissive’) dalam keluarga, keduanya menimbulkan pertentangan di rumah dan menyebabkan kebencian pada anak.Disiplin yang demokratis (‘authoritative’) biasanya menghasilkan hubungan yang baik dan harmonis dalam keluarga. Hasil penelitian Baumrind dalam Heterington & Parke (1993 : 431) menunjukkan dampak pola pengasuhan orangtua terhadap perkembangan kepribadian dan perilaku anak adalah sebagai berikut. Pola pengasuhan permissive menyebabkan anak bersifat menurutkan kata hati, mau menang sendiri dan agresif. Akibat lainnya seperti: menentang, tidak mau mengalah terhadap orang dewasa atau orangtua, kepercayaan diri rendah, orientasi untuk berkompetisi dan berprestasi rendah, kontrol diri sangat kurang, cepat marah, tanpa tujuan dan lemah dalam mengarahkan tujuan-tujuan aktivitasnya, serta bersifat menguasai dengan keras sekali.

Pola pengasuhan authoritarian adalah anak menjadi penakut, cemas atau gelisah, suka murung, tidak bahagia, mudah tergganggu dan suka mengganggu, permusuhan secara pasif dan menggunakan tipu daya, mudah stres atau tegang, mudah dongkol dan menarik diri dari masyarakat, serta tidak terarah. Sedangkan, pola pengasuhan authoritative, menyebabkan anak giat atau penuh semangat dan ramah tamah. Dampak lain dari pola pengasuhan authoritative adalah percaya diri, kontrol atau mawas diri baik, periang atau menyenangkan, mampu bergaul dengan baik antarteman sebaya, mampu mengatasi stres atau tekanan dengan baik, memiliki perhatian dan rasa ingin tahu pada cerita roman, dapat bekerja sama dengan baik dengan orang dewasa, taat atau mudah diatur, mempunyai tujuan tertentu, dan berorientasi prestasi. Selain itu anak akan selalu berpikir rasional dan punya semangat kompetisi yang sehat.

Menyimak hasil-hasil penelitian di atas, maka contoh berperilaku yang baik dari orangtua atau orang dewasa lainnya di manapun berada (di rumah, di kantor, atau di lingkungan pergaulan masyarakat) kepada anak-anak sangatlah diperlukan. Dengan begitu anak akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang berkepribadian dan berperilaku yang baik pula, dan terhindar atau menghindari perilaku kekerasan. Tetapi sebaliknya, jika contoh perilaku kekerasan yang disaksikan dan dirasakan anak sepanjang hidupnya, maka akan kita saksikan generasi yang cenderung berorientasi pada tindak kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan yang ia hadapi. Anak sering kali dianggap sebagai pribadi-pribadi kecil dan lemah yang seolah sepenuhnya harus berada di bawah kendali kekuasaan orang dewasa. Akibatnya, orang tua merasa berhak melakukan apa saja terhadap anak (Kohn, 2006).
 
Pengertian sempit dan paradigma keliru ini terus berkembang sehingga banyak diajarkan baik di rumah maupun di sekolah, bahwa anak-anak harus menurut sepenuhnya kepada orang tua, guru atau orang dewasa lain. Mereka sama sekali tidak boleh membantah, mengkritik, apalagi melawan tanpa adanya penjelasan secara terperinci dalam situasi bagaimana hal itu seharusnya dilakukan (Kohn, 2006). Pandangan demikian akhirnya terus berkembang dan sering membuka peluang terhadap berbagai tindak kekerasan, penindasan, dan perlakuan salah terhadap anak.Seolah mendidik anak memang harus dilakukan dengan kekerasan.

Keluarga dalam hal ini orang tua mempunyai peranan penting dalam pembentukan identitas, seperti yang dikemukakan Grotevant & Cooper (dalam Archer, 1994;98) bahwa peran penting kualitas keluarga yang ikut mewarnai pembentukan identitas antara lain terletak pada interaksi orang tua dengan anak; yang dalam hal ini disebut pola pengasuhan. Hauser dkk (dalam Papini,1994) membedakan pola pengasuhan orang tua menjadi enabling dan constraining.

Aspek pola pengasuhan orang tua terdiri dari aspek kognitif dan afektif.Aspek kognitif ditandai oleh (1) tindakan pemusatan pada pemecahan masalah, (2) keterlibatan dalam eksplorasi dan pemenuhan rasa ingin tahu, (3) keterbukaan dalam perbedaan pandangan anggota keluarga. Sedangkan aspek afektif ditandai oleh (1) ekspresi empati dan (2) penerimaan terhadap anggota keluarga.

Perilaku orang tua yang termasuk enabling dalam aspek kognitif dicirikan dengan mengajak mendiskusikan masalah-masalah yang berkaitan dengan pilihan studi lanjutan, turut membantu dalam pemenuhan rasa ingin tahu yang berkaitan dengan pilihan studi lanjutan, memberikan kesempatan untuk mengemukakan pandangan serta memberikan pertimbangan tentang masalah-masalah yang dihadapi. Begitu pula dalam aspek afektif ditandai dengan menanggapi dan menghargai pandangan dan keputusan anak dalam perlakuan-perlakuan tersebut, akan memberikan peluang pada anak untuk tidak sungkan bertanya, bertukar pendapat, belajar dan berlatih mencari berbagai alternatif pemecahan masalah yang berkaitan dengan pilihan studi lanjutannya. Apabila anak merasa dihargai pendapatnya atau keputusannya, anak akan merasa bertanggung jawab atas keputusan yang ditetapkannya.

Dengan demikian pola pengasuhan enabling akan mendukung terhadap kelancaran eksplorasi dan komitmen. Pola pengasuhan pembatasan (constraining) dalam aspek kognitif ditandai dengan sikap tidak memberikan peluang untuk belajar menyelesaikan masalah sendiri, tidak terlibat dalam pencarian informasi dan tidak memberikan informasi yang jelas apabila terdapat perbedaan pandangan dalam masalah keluarga. Pada aspek afektif menunjukkan tidak menghargai pendapat anggota keluarga, suka memberikan penilaian yang berlebihan atau merendahkannya. Dengan perlakuan-perlakuan tersebut, anak merasa sungkan untuk bertanya, untuk menerima pendapat, merasa dianggap tidak mampu menyelesaikan masalah, merasa tidak dihargai pendapat atau keputusannya.

Dengan demikian pola pengasuhan pembatasan akan menghambat kelancaran eksplorasi dan komitmen. Di Amerika, trend memasukkan anak dalam program tersebut sebenarnya lebih banyak dilakukan oleh para wanita yang bekerja sehingga mereka harus menitipkan anaknya. Di Indonesia sendiri, kecenderungan untuk memasukkan anak dalam program child day-care tampaknya sudah mengalami perubahan karena anak-anak yang mengikuti program bukanlah disebabkan karena ibunya harus bekerja sepanjang hari.

Saat ini, memasukkan anak dalam program child day-care lebih banyak dipengaruhi oleh alasan trend atau mode sehingga seringkali lupa untuk melihat pada kebutuhan sebenarnya dari sang anak. Tidak jarang anak-anak tersebut dimasukkan oleh orang tuanya karena mereka tidak mau repot-repot untuk mendidik atau mengajari beberapa ketrampilan pada anak-anak mereka; atau karena para orang tua berpikir, semakin cepat dimasukkan ke day-care program, anak mereka akan semakin cepat pintar.  Pengasuhan harus diarahkan untuk menyuburkan perkembangan kecerdasan majemuk (multiple inteligensia).

Menurut Sudjatmiko kecerdasan multipel adalah berbagai jenis kecerdasan yang dapat dikembangkan pada anak, antara lain kemampuan menguraikan pikiran dalam kalimat-kalimat, presentasi, pidato, diskusi, tulisan;kemampuan menggunakan logika-matematik dalam memecahkan berbagai masalah, kemampuan berpikir tiga dimensi; ketrampilan gerak, menari, olahraga; kepekaan dan kemampuan berekspresi dengan bunyi, nada, melodi, irama; kemampuan memahami dan mengendalikan diri sendiri; kemampuan memahami dan menyesuaikan diri dengan orang lain; dan kemampuan memahami dan memanfaatkan lingkungan. [***]

Penulis adalah peneliti di The Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS), University of Groningen, The Netherlands


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA