RISALAH RAMADHAN

Mudik, Silaturrahmi Dan Ziarah

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/tatang-muttaqin-5'>TATANG MUTTAQIN</a>
OLEH: TATANG MUTTAQIN
  • Rabu, 29 Juni 2016, 13:13 WIB
Mudik, Silaturrahmi Dan Ziarah
PEMBANGUNAN sebagai suatu kegiatan nyata dan berencana menjadi menonjol sejak selesainya Perang Dunia ke-2. Dengan merdekanya bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang tadinya berada di bawah kungkungan dan jajahan kolonial, maka sejak itulah tiap-tiap negara mulai berkesempatan untuk membenahi nasib masing-masing untuk membangun negara dan kehidupan rakyatnya.
 
Para pemikir pembangunan pasca Perang Dunia ke-2, seperti Servaes (1986), seolah-olah begitu yakin bahwa masalah keterbelakangan dan ketertinggalan yang terdapat di negara miskin dapat diatasi dengan penerapan secara mekanistis sistem ekonomi dan politik yang ada di Barat ke negara-negara dunia ketiga. Karena itu unsur sentral pembangunan ketika itu adalah jargon pertumbuhan (growth) dan mengindentikan pertumbuhan dengan kemajuan (progress). Dari kesan inilah seolah-olah pembangunan adalah suatu yang organik, tetap ada (immanent), terarah, kumulatif, purposif, dan tidak dapat diubah lagi (Zulkarimein, 1992).
 
Massifikasi konsepsi pembangungan berdampak pada percepatan perubahan paradigma dalam pembangunan sehingga ilmu ekonomi pembangunan menjadi salah satu disiplin ilmu pengetahuan yang mengalami perubahan teori dan paradigma sangat cepat sepanjang lebih dari setengah abad terakhir. Adelman (2002) menulis "No area of economics," mulai dari generasi peraih Nobel dekade 1960-an: Jan Tinbergen dan dekade 1970-an: Simon Kuznets, sampai generasi dekade 1990-an: John Nash dan Amartya Sen. Adelman menimpali "has experienced as many abrupt changes in its leading paradigm since World War II as has development economics."
 
Pada awalnya, paradigma pembangunan didominasi oleh paradigma modernisasi sehingga tidak  aneh jika  setiap negara yang baru merdeka berusaha melakukan pembangunan dengan tujuan terwujudnya masyarakat yang maju dan modern. Arus utama pemikiran di atas tidak terkecuali merasuk terhadap pemikir-pemikir dan pemimpin bangsa Indonesia saat itu, terutama pasca 1966 atau yang lazim dikenal sebagai orde baru yang sekaligus menahbiskan dirinya sebagai orde pembangunan melalui penerapan konsep pembangunan lima tahun (pelita).

Pemikiran dan praktik pembangunan ini telah dirasakan manfaatnya dan memberikan kemajuan yang luar biasa, terutama kemajuan yang bersifat fisik dan secara kuantitatif telah mampu meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan bangsa sehingga hampir semua pemikir saat itu sepakat bahwa pembangunan yang dilakukan telah mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara spektakuler.
 
Namun, karena hasil pembangunan ini hanya dirasakan oleh sebagian kecil bangsa Indonesia maka kesenjangan yang demikian tajam memunculkan perasaan adanya ketidakadilan dan kecemburuan yang massif yang memicu terjadinya keresahan sosial yang pada akhirnya meluluhlantahkan sebagian yang telah diraih.  Fenomena ini sejak awal sudah diprediksi Mabub ul Haq, ekonom Pakistan melakukan "muhasabah" dengan tajuk Reflections on Human Development (1995) terhadap paradigma pembangunan Barat yang sangat materialistik, yang serta-merta diterapkan di negara-negara berkembang sehingga terjadi perubahan paradigmatik dari "national income accounting" ke "people-centered policy."
 
Kritisisme Haq tersebut juga sejalan dengan peraih Nobel Ekonomi tahun 1998, Amartya Sen yang mendedahkan bahwa pembangunan bukanlah proses yang dingin dan menakutkan dengan mengorbankan darah, keringat serta air mata dengan segala dampaknya. Pembangunan seharusnya merupakan proses yang mampu menjadi wahana insan mengembangkan hidup sesuai dengan pilihannya, development as a process of expanding the real freedoms that people enjoy sehingga manusia mampu mengoptimalkan potensinya.

Sen berpandangan bahwa penyebab dari langgengnya kepapaan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas yang mencakup akses terhadap kebebasan politik, kesempatan ekonomi, kesempatan sosial (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), transparansi, serta adanya jaring pengaman sosial. Pandangan Sen yang mendedahkan pencapaian kesejahteraan melalui kebebasan "Development as Freedom" tak jauh berbeda dengan apa yang pernah dikemukakan pemikir Soedjatmoko dengan "Development and Freedom."
 
Implikasi Modernisasi
 
Setiap pilihan tentunya akan memunculkan konsekuensi sebagai suatu akibat dari sebab yang kita pilih. Demikian pula dengan pilihan bangsa Indonesia untuk mengorientasikan pada pembangunan (modernism minded) sudah pasti akan memberikan implikasi-implikasi, baik yang positif maupun yang negatif. Implikasi positif adalah terkondisikannya masyarakat yang mandiri dengan semangat kerja yang tinggi dan penghargaan terhadap waktu dan prestasi kerja. Adapun implikasi negatif dari semangat ekonomi akan membawa orang  pada patologi sosial berupa  materialisme, asosial, impersonal, dan perilaku yang sangat mekanistis dengan kecenderungan terkena depresi dan perasaan teralinasikan sehingga sangat mudah dipicu untuk melakukan tindakan kekerasan.
 
Penyakit sosial tersebut bisa berasal dari biaya ekonomi, sosial maupun psikologis yang semuanya harus dibayar sebagai penebus modernisasi, jer basuki mawa bea. Kenyataan tersebut harus dicermati secara mendalam, sebab bagaimanapun hal tersebut merupakan suatu realitas yang seharusnya  kita pahami jauh-jauh sebelum proyek besar yang namanya pembangunan itu bergulir dan mencari jalan keluarnya sehingga implikasi positif modernisasi dapat diraih dengan senantiasa mampu mengeliminir implikasi negatifnya.

Masyarakat modern yang identik dengan masyarakat industri memerlukan keterampilan baru yang cocok dengan masyarakat yang berorientasikan kepada teknologi. Akibatnya keterampilan lama menghilang, karena setiap teknologi  membawa nilai-nilai khas, kehadiran teknologi baru sudah barang tentu secara lambat namun pasti akan menghilangkan nilai-nilai lama, misalnya teknologi komunikasi akan mengurangi hubungan sosial dan persaudaraan antarmasyarakat.
 
Pembangunan yang berjalan dengan sangat cepat telah menyingkirkan sejumlah keterampilan, menghilangkan sejumlah besar lapangan kerja, bahkan telah menggusur rumah dan tanah, serta merusak lingkungan. Dengan kondisi tersebut maka etika masyarakat mengalami degradasi yang bersifat substantif sehingga dibutuhkan suatu wahana dan mekanisme pembanding untuk mencoba mengantisipasi munculnya penyakit sosial tersebut.
 
Trilogi Lebaran: Mampukah menjadi Terapi?

 
Dengan mencoba mengambil momen lebaran yang merupakan budaya umat Islam yang inherendengan citra ke-Indonesiaan -sebab tidak ada istilah lebaran atau halal bil halal dalam terminologi Islam-, artinya lebaran merupakan terminologi dari budaya dan tradisi masyarakat Indonesia. Lantas ada apa dalam momen lebaran tersebut?
 
Dengan melihat kejadian-kejadian yang rutin dilaksanakan di hari lebaran ada beberapa hal yang perlu diberi perhatian dan memiliki potensi untuk menghadapi dan mengobati penyakit-penyakit sosial masyarakat  saat ini sebagai ekses negatif modernisasi, yaitu fenomena-fenomena sebagai berikut :

Pertama, ,udik yang merupakan proses revitalisasi dan humanisasi massal yang tidak dibiayai pemerintah sebagai unsur dominan negara baru berkembang, dengan mudik orang-orang yang sudah kehilangan jati dirinya dalam hiruk-pikuk kehidupan kota yang keras menemukan kembali masa lalunya di kampung yang relatif lebih alami dan bersahabat. Mereka yang asalnya hanya dihitung sebagai sekrup kecil dalam mesin raksasa kota, ingin kembali diperhitungkan dan diperlakukan sebagaimana layaknya manusia, mereka ingin meninggalkan wajah-wajah garang kota dan menikmati wajah-wajah desa dan kampung halaman yang ramah dan bersahaja sehingga walaupun sejenak mereka dapat mengekspresikan kembali perasaan kekeluargaan dan persaudaraan yang meneduhkan.

Kedua, silaturahmi yang merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dari rantaian kegiatan lebaran. Kita akan melihat anak yang hilang bersimpuh-haru sungkem di hadapan orang tuanya seraya menyampaikan permohonan maaf. Suami isteri kembali menjalin cinta kasihnya setelah selama setahun penuh menjadi orang-orang asing yang tidak saling menyapa. Selanjutnya kerabat, rekan kerja dan tetangga saling bertegur sapa dan saling berbagi rasa dan jasa setelah selama satu tahun penuh saling berkompetisi, saling curiga, bahkan saling memeras. Itulah makna dan hakikat silaturahmi sehingga nilai-nilai persaudaraan menjadi suatu yang sangat diharapkan dan sangat menyejukkan.

Ketiga, ziarah Kubur, di samping orang-orang bersilaturahmi dengan orang-orang yang masih hidup, merekapun bersilaturahmi dengan orang-orang yang sudah meninggal dengan melakukan ziarah ke kubur yang mencoba mengambil hikmah dan pelajaran dari orang-orang terdahulu sebagai bahan proyeksi ke masa depan.
 
Fenomena-fenomena di atas merupakan hal yang unik dari budaya masyarakat Indonesia, sebagian orang dengan agak sinis melihat fenomena ini sebagai penghamburan waktu, biaya, dan tenaga yang sudah tidak pantas dilakukan oleh orang-orang modern dengan trade mark-nya kesangkilan (efisiensi) dan kemangkusan (efektivitas). Tetapi kalau kita lebih jeli dan mencoba berempati maka akan terasa betapa bermaknanya  semua fenomena di atas, di sana terdapat pesan-pesan luhur yang sangat bermanfaat bagi masyarakat yang katanya sudah mengalami modernisasi dengan sejumput penyakit-penyakit sosial yang ada di dalamnya. Fenomena mudik, silaturahmi, dan ziarah kubur merupakan fenomena yang umumnya dirasakan oleh orang-orang kelas bawah (mustad'afin) yang biasanya merupakan generasi yang ditumbalkan untuk mesin raksasa yang namanya modernisasi.
 
Dengan mudik, silaturahmi, dan ziarah mereka yang terhempas, tertindas, dan hampir kehilangan jati dirinya memperoleh wujud dirinya ketika mudik. Mereka merasa diperlakukan sebagai layaknya manusia, setelah selama satu tahun penuh mereka hanya dihitung dengan statistika modern sebagai bagian sekrup-sekrup raksasa modernisasi sehingga wajarlah jika mereka selalu berusaha untuk mudik walaupun harus berebut tiket dengan tangan menenteng oleh-oleh dan keringat yang bercucuran dengan biaya penambahan tuslag, bahkan bertaruh nyawa, toh mereka dengan senyum penuh harapan dan kegembiraan melakukan semuanya.
 
Dapat dibayangkan apabila tidak ada mudik, silaturahmi, dan ziarah kubur sebagai rangkaian kegiatan lebaran maka media apa yang mampu memfasilitasi orang-orang yang terempas di atas? Setiap manusia memiliki keinginan untuk berekspresi, beraktualisasi dan dihargai eksistensinya sebagaimana dipetakan dalam Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow, maka sarana apa yang mampu dijadikan katup pengaman atau saluran (oulet) terhadap semua keinginan orang-orang kecil di atas? Maka dengan lebaran keinginan di atas dapat terartikulasikan sehingga tepatlah apa yang dikatakan Gus Dur, bahwa mudik bukan semata-mata hiburan, tetapi juga terapi psiko-sosial secara massal yang  biayanya tidak membebani pemerintah.
 
Selamat Mudik dan semoga lancar dan selamat! [***]

Penulis adalah peneliti di The Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS), University of Groningen, The Netherlands
 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA