Urie Bronfenbrenner (1990) memetakan aspek pengembangan secara komprehensi melalui teori ekologi yang memetakan 5 sistem yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, yaitu: Pertama, sistem mikro yang terkait dengan
setting individual di mana anak tumbuh dan berkembang yang meliputi: keluarga, teman sebaya, sekolah dan lingkungan sekitar tetangga.
Kedua, sistem meso yang merupakan hubungan di antara mikro sistem, misalnya hubungan pengalaman-pengalaman yang didapatkan di dalam keluarga dengan pengalaman di sekolah atau pengalaman dengan teman sebaya.
Ketiga, sistem exo yang menggambarkan pengalaman dan pengaruh dalam setting sosial yang berada di luar kontrol aktif tetapi memiliki pengaruh langsung terhadap perkembangan anak, seperti, pekerjaan orang tua dan media massa.
Keempat, sistem makro yang merupakan budaya di mana individu hidup seperti: ideologi, budaya, sub-budaya atau strata sosial masyarakat. Kelima, sistem chrono yang merupakan gambaran kondisi kritis transisional (kondisi sosio-historik).
Keempat sistem pertama harus mampu dioptimalkan secara sinergis dalam pengembangan berbagai potensi anak sehingga dibutuhkan pola pengasuhan, pola pembelajaran, pola pergaulan termasuk penggunaan media massa, dan pola kebiasaan (budaya) yang koheren dan saling mendukung. Di samping optimalisasi keempat sistem tersebut, perlu dilakukan upaya penanganan yang tepat terhadap berbagai kemungkinan kondisi kritis dan transisional pada anak.
Dalam teori perkembangan anak sebagaimana disampaikan Prof Urie Bronfenbrenner, tumbuh-kembang anak tidak akan terpisahkan dari kelima sistem interaksi seperti tersebut di atas. Pada proses interaksi inilah banyak institusi yang akan menyosialisasikan nilai-nilai dan pengetahuan kepada anak. Oleh karena itu, orangtua tidak dapat dengan sempurna menginginkan anaknya menjadi seperti yang ia inginkan, karena banyak institusi yang turut berperan dalam proses sosialisasi.
Proses Sosialisasi dapat dijelaskan melalui kerangka A-G- I-L (Adaption, Goal Attainment, Integration dan Laten Pattern) yang diperkenalkan oleh Sosiolog Talcott Parsons dalam menganalisis tindakan-tindakan sosial (T. O. Ihromi, 2004). Fase-fase tersebut dalam proses sosialisasi anak dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, fase laten yang merupakan proses sosialisasi belum terlihat jelas. Anak belum merupakan kesatuan individu yang berdiri sendiri dan dapat melakukan kontak dengan lingkungannya. Pada fase ini anak masih dianggap sebagai bagian dari ibu, dan anak pada fase ini masih merupakan satu kesatuan yang disebut "two persons system."
Kedua, fase adaptasi merupakan fase anak mulai mengenal lingkungan dan memberikan reaksi atas rangsangan-rangsangan dari lingkungannya. Orangtua berperan besar pada fase adaptasi, karena anak hanya dapat belajar dengan baik atas bantuan dan bimbingan orangtuanya.
Ketiga, fase pencapaian tujuan yang berarti fase sosialisasi yang tidak hanya sekadar memberikanumpan balik atas rangsangan yang diberikan oleh lingkungannya, tapi sudah memilikimaksud dan tujuan. Anak cenderung mengulangi tingkah laku tertentu untuk mendapatkan pujian dan penghargaan dari lingkungannya.
Keempat, fase integrasi yang ditandai tingkah laku anak tidak lagi hanya sekadar penyesuaian(adaptasi) ataupun untuk mendapatkan penghargaan, tapi sudah menjadi bagian dari karakter yang menyatu dengan dirinya sendiri.
Menurut Sosiolog George Ritzer (1969:114) orangtua bukanlah satu-satunya pihak yang akan mempengaruhi tumbuh-kembang anak, akan tetapi orangtua merupakan
significant other bagi anak dan
role model bagi seorang anak dalam proses pembentukan kepribadiannya. Dengan demikian pada tahap awal, orangtua memiliki peran penting dalam pertumbuhan danperkembangan anak, termasuk dalam pembentukan karakter dan penanaman nilai-nilai budi pekerti pada anak. Karena orangtua merupakan sosok pertama dan utama dalam melindungi, merawat, dan mencurahkan kasih-sayang sebelum anak mengenal orang lain.
Di Indonesia orangtua mengenal istilah asuh, asah dan asih yang dijadikan pola untuk mendidik putra- Pola asuh adalah perlakuan orangtua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberiperlindungan, dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari. Pola asuh lebih menyangkut padaperawatan dan perlindungan anak yang sangat menentukan pembentukan fisik dan mental anak.
Pola asah menyangkut perawatan anak dalam menyuburkan kecerdasan majemuk, utamanya terkait dengan aspek kognitif dan psikomotorik. Pola asah ini meliputi pembentukan intelektualitas, kecakapan bahasa, keruntutan logika dan nalar, serta ketangkasan dalam mengolah gerak tubuh.
Sedangkan pola asih merupakan perawatan anak dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan spiritual sehingga mampu menyuburkan rasa kasih sayang, empati, memiliki norma dan nilai sosial yang bisa diterima oleh masyarakat. Pola asih ini akan mempengaruhi perkembangan afeksi anak, meliputi moral, akhlak, emosi dan perilaku.
Pola asuh, asah dan asih orangtua terhadap anak dipengaruhi oleh banyak hal, seperti latar belakang budaya, status sosial-ekonomi, kondisi geografis, dan pemahaman nilai-nilai. Dengan demikian, masing-masing ranah kebudayaan memiliki pola asuh, asah dan asih yang berbeda- beda. Orangtua di beberapa daerah menerapkan pola asuh, asah dan asih secara turun-temurun.
Selanjutnya, dengan meminjam pisau analisis dari Teori Model Ekologi yang dikemukakan oleh Prof. Urie Bronfenbrenner (1979) yang mengurai adanya empat milieu yang mempengaruhi perkembangan anak, yaitu: tingkat mikro, meso, exo, dan makro, maka perspektif budaya ada dalam tingkat makro sehingga tingkat pengaruhnya sangat luas tetapi tidak langsung.
Setidaknya ada empat area utama yang terkait dengan perspektif budaya dalam pengembangan anak usia dini, yaitu: bagaimana pandangan orang tua dan masyarakat terhadap anak; bagaimana pattern yang umum terjadi dalam masyarakat di dalam upaya mengasuh, mengasah dan mengasih (pola asuh, asah, dan asih); bagaimana ketersediaan dan jenis permainan yang ada dalam masyarakat; serta mendalami intensitas, pengaruh dan upaya pembatasan interaksi anak dengan media massa, baik televisi dan terlebih beragam gadget yang semakin massif dan intensif dalam kehidupan anak saat ini.
Keempat area penting tersebut perlu dioptimalkan untuk tumbuh kembang anak secara lebih baik. Semoga.
[***]
Penulis adalag peneliti di The Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS), University of Groningen, The Netherlands.