Sigapnya pemerintah dengan mengeluarkan PerpPu tersebut menunjukkan adanya darurat kejahatan seksual terhadap anak yang juga melibatkan pelaku anak-anak dengan diikuti pembunuhan yang sangat sadis. Dalam hal perkosaan, sebagai contoh Polda Metro Jaya memetakan peningkatan kejahatan perkosaan selama Januari-Desember 2014 sebanyak 63 kasus atau mengalami peningkatan lebih dari 10 persen dibanding tahun sebelumnya.
Dengan melihat fakta dan pemberitaan yang ada, menjadi wajar jika sebagian besar orang tua akan menyambut baik kecepatan dan ketegasan pemerintah yang diharapkan mampu memiliki efek jera agar penjahat seksual tidak semakin merajalela.
Dalam perspektif hukum, upaya pemerintah tersebut patut didukung semua pihak dan benar-benar dilaksanakan oleh para penegak hukum tanpa pandang bulu sehingga mampu memberi keadilan untuk para korban dan keluarganya. Namun demikian, di samping upaya penegakan hukum juga diperlukan ikhtiar meningkatkan keadaban publik sehingga beragam tindak kejahatan dan secara khusus kejahatan seksual terus dapat diminimalkan, salah satunya lewat penguatan peran keluarga dalam tumbuh kembang generasi muda yang sehat fisik, mental dan sosial.
Untuk hal ini tak ada salahnya jika kita menengok pengalaman Negeri Kincir Angin yang secara sistem hukum, kepemerintahan dan pendidikan memiliki banyak kemiripan dengan Indonesia. Pemerintah Belanda secara bertahap dan konsisten menutup lembaga pemasyarakatan karena semakin menurunnya angka kejahatan. Laporan termutakhir dari Kementerian Hukum menunjukkan adanya penurunan kejahatan secara terus-menerus dan diproyeksikan akan terus berkurang sekitar 0.9 persen setiap tahun dalam jangka menengah ke depan sehingga sepertiga dari 13.500 sel tahanan kosong sehingga perlu ditutup (
Telegraph, 22 Maret 2016).
Ditilik dari aspek penegakan hukum, Negeri Tulip ini sangat longgar sehingga jangankan minuman beralkohol yang merupakan tradisi dan identitas sebagian besar warga negaranya sebagai bagian dari sarana bersosialisasi, bahkan ganja-pun diperkenankan dengan distribusi terbatas di kedai kopi†(coffee shop). Tentu fakta ini tidak untuk menjustifikasi pelegalan minuman beralkohol di tanah air karena konteks sosialnya jauh berbeda.
Setidaknya ada tiga rekayasa sosial dalam menerapkan hukum yang longgar namun efektif.
Pertama, sekalipun institusi perkawinan masih mendominasi sekitar 53 persen namun perceraian terbilang tinggi mencapai 38 persen sehingga 1 dari 3 pasangan yang menikah atau hidup bersama (cohabitation) bercerai. Sekalipun dari aspek ekonomi sudah tidak ada masalah, di mana keluarga yang kurang mampu atau menganggur mendapatkan tunjangan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal namun tingginya perceraian menjadi masalah baru yang membutuhkan perhatian negara, terutama terkait tumbuh kembang anak.
Sebagaimana Negara Barat pada umumnya, Belanda mengatur secara ketat dan detail keharusan pengurusan anak secara bersama paska perceraian(McIntosh, 2009). Dengan pengaturan ini, jumlah anak yang tinggal dalam pengaturan bersama terus mengalami peningkatan dari hanya 5persen pada tahun 1998 menjadi sekitar 30 persen pada tahun 2011 (CBS, 2012 sehingga anak mampu tumbuh kembang dengan baik.
Kedua, penggabungan pendidikan anak usia dini dengan pendidikan dasar selama 8 tahun mampu menjamin semua anak usia 4-12 tahun bersekolah dengan menekankan pengembangan fisik, emosi dan sosial(Dunn, 2004) di samping aspek pengembangan bahasa dan wicara (Hoff &Shatz 2007) dan pengetahuan (Goswami, 2010). Dengan penekanan pentingnya tumbuh kembang fisik dengan membiasakan makanan yang sehat bergizi dan olahraga yang dipadankan dengan pengembangan emosi dengan beragam permainan yang melibatkan teman untuk berbagi kesempatan dan perasaan, maka tumbuh kembang fisik dan mental anak menjadi optimal.
Selanjutnya pola lintas kelas (multigrade)memperluas kesempatan anak berteman dan secara bertahap anak dituntut membuat proyek bersama untuk meningkatkan keterampilan sosial. Semuanya bermuara pada tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal, baik fisik, mental dan sosial sehingga mampu menjadi bagian warga yang baik dan bertanggungjawab.
Ketiga, hukum dan aturan ditekankan sebagai instrumen untuk merekayasa perilaku masyarakat dengan tetap merujuk aspek alamiah perkembangan keadaban sehingga para perancang aturan dituntut melibatkan lintas keilmuan untuk melakukan beragam eksperimentasi sosial. Eskperimentasi sosial umumnya percaya bahwa setiap individu bertindak dengan memilih alternatif yang memberikan kepuasan paling optimal (Coleman, 1973).
Dengan adanya pemenuhan kebutuhan dasar semua warga dan setiap individu akan memaksimalkan kepuasan optimal sekaligus resiko minimal, penegakan hukum bisa mengkombinasikan tiga dasar tujuan berperilaku: kepuasan hedonistik, kepuasan materi dan norma sosial (Lindenberg& Steg, 2007). Dengan demikian penegakan hukum bukan sekedar hukum
ansich namun juga mempertimbangkan konteks yang lebih luas secara seimbang agar berkelanjutan dalam menekan perilaku yang menyimpang. Di sinilah peran pembiasaan dalam unit kecil masyarakat berupa keluarga menjadi sangat penting untuk bersinergi dengan wahana sosialisasi dan internalisasi nilai, yaitu pendidikan.
Penguatan Peran Keluarga dalam Pendidikan Anak
Keadaban yang dibangun lewat pendidikan karakter tak semudah membalikkan telapak tangan sehingga sinergi antara keluarga yang diwakili orang tuadan lembaga pendidikan menjadi suatu keniscayan untuk optimalnya upaya memaksimalkan tumbuh kembang anak. Untuk meningkatkan sinergi diperlukan komunikasi yang efektif berbasis kesamaan makna (frame of reference) yang dipernyata dengan kesamaan pengalaman (Schramm, 1964).
Sayangnya, pemahaman dan pengalaman guru dan orang tua tak selalu sepadan karena guru dipersiapkan dengan tahapan dan jenjang pendidikan sebagai pengajar semisal lewat Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang tersebar di seantero tanah air, sedangkan orang tua tidak dipersiapkan secara sistematik karena tak ada universitas keayahbundaanâ€. Di sinilah institusi yang mampu melakukan mediasi sebagai jembatan menjadi penting, yaitu pemerintah.
Setidaknya ada dua institusi yang bisa bersinergi, yaitu: Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, Kementerian Pendidikan Kebudayan yang merumuskan pola, substansi dan strategi mempromosikan pentingnya peningkatan pemahaman peran keluarga dan pendidikan keorangtuaan†dan desa sebagai ujuk tombak implementasi beragam program pemerintah yang langsung bersentuhan dengan keluarga (rumah tangga).
Terkait pola, substansi dan strategi, gagasan Bronfenbrenner (1994) terkait ekologi manusia masih relevan untuk dipertimbangkan terkait pentingnya mensinergikan lima sistem ekologis, yaitu: (1) mikro yang berhubungan langsung seperti keluarga, guru, teman dan sekitarnya; (2) meso seperti pengalaman dalam kelompok atau sekolah; (3) ekso yang menghubungkan individu dalam perannya dengan konteks social; (4) makro terkait tradisi dan budaya yang biasanya terkait dengan status social dan ekonomi keluarga atau etnisitas; dan (5) chrono yang berhubungan dengan adanya perubahan seperti perceraian.
Substansi yang komprehensif menjadi tak berguna tanpa eksekusi sehingga peran desa/kelurahan menjadi sangat strategis apalagi seiring dengan ditetapkannya UU No. 6/2014 tentang desa. Di samping itu, desa merupakan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sehingga beragam program strategis pemerintah akan melibatkan desa sebagai ujung tombak, termasuk dalam upaya penguatan keluarga sebagai pilar bangsa.
Kelahiran UU Desa, menjadikan desa di Indonesia semakin mirip dengan desa/kelurahan di Negeri Kincir Angin ini yang dikenal dengan Wijk yang menjadi sentra aktivitas warga yang terpadu, termasuk untuk tumbuh kembang anak dan remaja serta lanjut usia. Setiap Wijk terdiri setidaknya memiliki sebelas pusat layanan utama, yaitu: pusat aktivitas ke-RT/RW-an atau Buurt centrum, pusat layanan sosial (Maatschappelijke Dienst), posyandu (Centrum voor Jeugd an Gezin), pusat layanan anak (Kindercentra), pusat kegiatan anak (Kinderactiviteiten), pusat aktivitas remaja (Jeugd en Jongerenwerk), perpustakaan (De Bibliotheek), pusat kegiatan olahraga (Sporthal), pusat informasi desa/kelurahan (Wijkinformatie), dan TK-SD (Basisschool), serta penitipan balita (kinderopvang).
Sebagian besar institusi yang ada di Wijk tersebut, utamanya untuk penguatan keluarga dalam memastikan tumbuh kembang anak yang sehat jasmani, mental dan sosial melaluipusat layanan anak (Kindercentra), pusat kegiatan anak (Kinderactiviteiten), pusat aktivitas remaja (Jeugd en Jongerenwerk), penitipan balita (kinderopvang). Di samping itu, juga untuk orang tua belajar bagaimana mendampingi anak dan remaja, baik lewat berbagi pengalaman, pelatihan dan seminar keluarga yang dilaksanakan di posyandu (Centrum voor Jeugd an Gezin).
Hampir sebagian besar institusi-institusi tersebut juga ada di desa di tanah air, seperti: Posyandu, Bina Keluarga Balita (BKB), Pos PAUD, TK/RA/KB, TPA/TPQ, Puskemas, Pustu, PKK dan lainnya yang jika direvitalisasi dan dioptimalkan akan mampu meningkatkan kemampuan keorangtuaan†yang akan berkontribusi signifikan untuk pendidikan karakter. Semoga!
[***]
Penulis adalag peneliti di The Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS), University of Groningen, The Netherlands.