RISALAH KANG TATANG

Memimpikan Pendidikan Anak Bangsa

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/tatang-muttaqin-5'>TATANG MUTTAQIN</a>
OLEH: TATANG MUTTAQIN
  • Sabtu, 11 Juni 2016, 03:06 WIB
Memimpikan Pendidikan Anak Bangsa
KESENJANGAN merupakan topik yang selalu hangat sehingga ekonom yang mengajar di Ecole D’Economie De Paris, Thomas Piketty mencurahkan sekitar 15 tahun untuk mengurai kesenjangan sejak 2 abad silam yang terangkum dalam buku bertajuk Capital in the Twenty-First Century (2014).
Hasil olahan Piketty dengan sangat elok memetakan hubungan antara kesenjangan dan distribusi pendapatan juga distribusi kesejahteraan dan hubungan antara kesejahteraan terhadap pendapatan.

Setahun kemudian, Robert D. Putnam mendedahkan kesenjangan dengan tajuk yang tak kalah menantang mantra American Dream, di mana semua anak, tanpa melihat latar belakang keluarga dan sosial, punya peluang sama untuk meraih masa depannya. Lewat Our Kids: the American Dream in Crisis Putnam (2015) menunjukkan bahwa peluang meraih mimpi akan masa depan tersebut terbantahkan dari beragam fakta kisah anak kaya dan anak miskin dari beragam kota. Bahkan, kakek Frank dari Port Clinton Ohio bergumam: "If we’re in Cleveland or New York, you can order whatever you want, but when you are in Port Clinton, you do what they can do."

Saat menyimak uraian Putnam, pikiran saya malah menerawang masa kecil sekitar 35 tahun silam ketika memulai mencicipi bangku sekolah di SD Inpres Lojisari, sekira 20 km dari pusat kota Garut. Di antara teman yang pernah menimba ilmu bersama, saya hanya bisa bersua dengan tiga teman di SD Inpres tersebut yang dipertemukan kembali lewat media sosial, facebook.

Peluang anak kurang mampu apalagi tinggal jauh dari kota Kabupaten untuk mencicipi pendidikan yang lebih tinggi sangat terbatas sehingga kemungkinan terjadinya mobilitas sosial juga terkendala. Mungkin bagi sebagian anak Indonesia, jangankan bermimpi tentang masa depan bahkan membayangkan untuk pendidikan lanjutan sampai sekolah menengah atas-pun mungkin tidak, karena pengkastaan ini sudah dimulai sejak pendidikan usia dini.

Studi Bank Dunia tentang manfaat besar pendidikan pra-sekolah wabilkhusus untuk anak-anak dari keluarga pendapatan rendah memang sangat signifikan apalagi di pra-sekolah formal semisal Taman Kanak-Kanak (TK) atau Busthanul Athfal (BA) dan Raudhatul Athfa (RA). Namun cakupan pendidikan pra-sekolah belum mencapai setengah anak Indonesia sehingga anak-anak kurang mampu banyak tak mampu menikmatinya yang berdampak pada kurangnya kesiapan sekolah.

Jika tidak dilakukan upaya serius dan cakupan pendidikan anak prasekolah tetap terbatas maka akan memberi dampak lanjutan, mereka yang kurang mampu dan tidak bisa menikmati pendidikan pra-sekolah akan semakin tertinggal dibanding anak lain sehingga percaya dirinya juga kurang berkembang sebagian ada yang mengulang kelas bahkan akhirnya dropout dari sekolah.

Sebagian besar lainnya beruntung menyelesaikan SD sekalipun dengan hasil yang pas-pasan sehingga gagal menikmati kursi SMP/MTs negeri yang relatif lebih berkualitas dan terjangkau. Karena tak lolos seleksi kasta SMP/MTs negeri dan tak mampu masuk swasta berkualitas karena mahal (nonsubsidi), maka mereka melanjutkan ke SMP/MTs swasta yang terjangkau dengan kualitas alakadarnya.

Sebagian bisa melanjutkan ke SMA/SMK/MA namun sulit untuk diterima di sekolah negeri karena persaingan kursi "pasar bebas" apalagi sampai mampu mencicipi nyaman dan murahnya kuliah di PTN. Disinilah Matthew effect lewat akumulasi keberuntungan (cumulative advantage) akan terus berlanjut di mana yang kaya makin jaya dan yang miskin makin papa.

Dengan demikian, pendidikan prasekolah sangat penting dalam memastikan kesiapan anak belajar. Dalam konteks Indonesia, temuan Pandia dkk (2012) mengkonfirmasi bahwa anak yang mengikuti prasekolah belajar lebih baik pada jenjang persekolahan lebih lanjut. Dalam jangka panjang meningkatkan keunggulan untuk berkompetisi dalam memperebutkan kursi sekolah jenjang selanjutnya yang makin berkompetisi secara bebas sehingga anak dari keluarga miskin karena tak mampu mengikuti pendidikan prasekolah makin tersisih untuk masuk SMP/MTs favorit, SMA/SMK/MA yang diperebutkan apalagi PTN idaman sehingga sangat kecil peluangnya siswa dari keluarga kurang mampu (kuintil 1 atau 20 persen terbawah) untuk mencicipi PTN favorit sehingga peluang mobilitas sosial makin tipis.

Kecilnya peluang tersebut membuat Raeni, putri Pak Mujiono pengayuh becak mendadak terkenal karena mampu menyelesaikan sarjana dengan IPK hampir sempurna di Jurusan Pendidikan Akuntasi, Universitas Negeri Semarang (UNNES). Seperti sebuah keajaiban, di tahun 2014 sosok Raeni diliput secara massif media cetak dan elektronik bahkan menjadi perhatian Presiden SBY saat itu untuk menjamunya ke istana sekaligus memberikan beasiswa untuk studi lanjut ke Inggris. Fenomena Raeni menjadi luar biasa padahal sejatinya harus biasa, jika merujuk pesan Konstitusi bahwa semua anak bangsa berhak untuk mendapatkan pendidikan.

Singkatnya, alih-alih mampu menjadi wahana untuk memfasilitasi mobilitas sosial, pendidikan telah menjadi kavling-kavling peluang dan harapan untuk anak-anak dari keluarga mampu dan sedikit (kurang dari 1 persen) untuk yang ekonomi pas-pasan namun memiliki kelebihan yang ruar biasa karena mampu bersaing dengan anak lain yang lebih bergizi, memiliki waktu yang lebih luang bahkan mendapat pengayaan lewat bimbingan belajar dalam kelas-kelas intensif.

Ilustrasi tersebut menyiratkan perlunya menata ulang agar persekolahan tidak menjadi instrumen pengkastaan anak-anak bangsa sehingga setiap anak memiliki lebih banyak peluang asal memiliki kesungguhan untuk mengejawantahkan mimpi-mimpinya. Jika SD/MI sudah hampir ada di setiap desa/kelurahan, maka pendidikan prasekolah (TK, RA, BA dan sejenisnya) baru menjangkau sebagian kecil masyarakat nyaris 95 persen disediakan oleh swasta yang tentunya berbiaya sehingga sulit menjangkau anak kurang mampu.

Pemerintah tak mungkin mampu menyediakan pendidikan prasekolah sebagaimana pembangunan SD Inpres yang massif sebagai berkah minyak di tahun 1970-an, maka pilihan yang paling mungkin adalah dengan mengintegrasikan prasekolah (anak usia 4-5 tahun) dengan SD dengan penekanan tetap pada permainan, sosialisasi dan pembentukan karakter alias tak diperkenalkan baca dan tulis dengan kelas yang cair (bisa digabung usia 4-5 tahun), baru di usia 6 tahun diajarkan baca dan tulis. Dengan demikian total lama gabungan prasekolah-SD menjadi sekira 8 tahun dari usia 4 tahun dan selesai sekitar 11-12 tahun disesuaikan dengan tingkat kecepatan daya serap anak dalam pembelajaran.

Sambil menanti pemerintah yang tentunya membutuhkan payung hukum berupa UU, PP dan Permen misalnya. Kita bisa ikut menyalakan lilin harapan dengan gotong royong untuk membantu anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk mencicipi keceriaan prasekolah dengan beragam cara sesuai dengan kemampuan dan kondisi riil yang ada. Insya-Allah. [***]

Penulis adalah penekun kajian pendidikan di The Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS), University of Groningen, The Netherlands.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA