"Pers sendiri punya banyak masalah. Senjakala media cetak, televisi pun saya pikir sudah mau masuk 'sore'," kata Karni saat berbincang dengan
Kantor Berita Politik RMOL, di kawasan Kuningan, Jakarta, Rabu (24/2).
Saat ditemui, Karni baru saja menghadiri acara media gathering yang digelar TV One, stasiun televisi berita di mana ia menjadi pemimpin redaksi. Media gathering itu dalam rangka ulang tahun TV One yang ke-8 pada 14 Februari lalu.
Kembali pada ancaman terhadap media massa mainstream, Karni mengungkapkan salah satu penyebabnya adalah perkembangan teknologi yang sangat pesat.
"Dampaknya, orang-orang malas membaca, malas memahami berita secara utuh," kata Karni.
Ia menyinggung kebiasaan masyarakat, terutama generasi muda, yang lebih banyak membaca informasi yang disebarkan lewat media sosial. Akibatnya, generasi yang pada dasarnya memang tidak suka membaca ini tidak dapat memahami informasi secara utuh.
"Mereka lebih banyak, misalnya membaca twitter, akhirnya informasi dapat sepotong-sepotong. Bahkan sebuah riset mengatakan, pembaca media dari usia 15-25 tahun akan hilang," ungkap Karni.
Ia pun menyinggung soal kemajuan citizen journalism. Menurutnya, walaupun itu menandakan semakin tingginya kemauan masyarakat mencari sumber informasi, tetapi di sisi lain itu adalah ancaman bagi para insan pers.
"Bicara nasib media di masa depan enggak usah terlalu teknis. Hal-hal yang terkait masa depan media massa harus pelaku pers bicarakan lebih fokus," tekannya.
Bicara tentang dunia pers yang digelutinya puluhan tahun, Karni baru saja meraih penghargaan Medali Spirit Jurnalisme dalam acara puncak Hari Pers Nasional (HPN) 2016 yang diselenggarakan di Pantai Kuta, KEK Mandalika, Nusa Tenggara Barat, Selasa (9/2).
Pemandu acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TV One ini menerima salah satu anugerah bergengsi yang diberikan oleh Komunitas HPN dan tidak diberikan tiap tahun. Saat itu, yang memberikannya adalah Menteri Komunikasi dan Infomatika (Menkominfo), Rudiantara.
Sebelum Karni, pada 2009, pendiri Jawa Pos, Dahlan Iskan, juga mendapat penghargaan ini. Sebelumnya, tahun 2010, tokoh pers nasional almarhum Rosihan Anwar. Sedangkan pada 2011, pendiri kelompok Kompas Gramedia, Jakob Oetama.
"Bagi saya penghargaan itu bukan datang dari satu organisasi. Tetapi dari komunitas pers. Itu semacam pengakuan prestasi seorang wartawan," ucapnya.
"Saya sendiri tidak pernah mengharapkan dan tidak menyangka akan mendapat anugerah itu," ucap Karni.
[ald]
BERITA TERKAIT: