Demikian disampaikan politisi PDI Perjuangan, Evita Nursanty. Evita pun menjadikan masalah ini menjadi bahan disertasi disertasi untuk meraih gelar Doktor Bidang Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran.
"Karena itu dalam penelitian ini saya mencoba memberikan nomenklatur dengan konsep baru peran DPR dalam politik luar negeri dengan
tipe track one and half," kata Evita dalam keterangan beberapa saat lalu (Sabtu, 16/1).
Jumat kemarin (15/1), Evita mempertahankan disertasi mengenai diplomasi parlemen dengan mengambil contoh kasus terorisme. Sidang terbuka ini digelar di Grha Sanusi Hardjadinata Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung, Jawa Barat.
Dikatakan Evita, menggunakan tipe
one and half track karena DPR juga berperan sebagai bagian dari
state atau lembaga negara sebagaimana juga diatur dalam UU MD3 atau
track one. Di sisi lain, DPR merupakan representasi rakyat atau pembawa suara rakyat yang dipilih melalui pemilu yang dikenal dengan
track two.
Evita menyebut, dalam studi hubungan internasional ada berbagai tipe diplomasi yang sudah dikenal. Yaitu
formal diplomacy, track one diplomacy, track two diplomacy, dan
multi-track diplomacy. Tipe-tipe diplomasi ini sebagaimana disampaikan Diamond & McDonald, Ziegler, Magalhaens dan juga Montville.
Selain itu, lanjutnya, ada juga istilah
soft diplomacy dan
hard diplomacy. Belakangan, muncul istilah
smart diplomacy. Dan yang pasti, semua tipe diplomasi ini dalam rangka pencarian resolusi dari berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat internasional.
Untuk menjalankan
one and half track diplomacy ini, Evita menyarankan perlunya dilakukan revisi UU 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU 24/2000 tentang Perjanjian Internasional yang sesuai semangat konstitusi. Selain itu perlu pembenahan atau pengaturan hubungan koordinasi antara Kemlu RI dengan DPR (BKSAP) termasuk dengan kementerian atau lembaga pemerintah lain yang terkait dengan hubungan luar negeri, secara lebih jelas. Sehingga terjadi hubungan yang sinergi dan terkoordinasi sebagai institusi "state" yang menjalankan misi kenegaraan yang sama.
"Perlunya pembenahan di internal DPR sehingga pelaksanaan peran dan fungsi diplomasi parlemen dapat dilakukan secara efektif, baik itu koordinasi efektif antara Komisi-komisi DPR dengan BKSAP, efektifitas pemilihan anggota terkait kerjasama bilateral maupun multilateral, hingga publikasi berbagai kegiatan diplomasi parlemen," jelas Evita Nursanty.
Terkait pembahasan isu terorisme di InterParliamentary Union (IPU), Evita menyebut, selama ini parlemen Indonesia sangat aktif memberikan kontribusi dalam pembahasan isu ini apalagi Indonesia menjadi korban aksi terorisme internasional selama ini. Peran DPR dalam diplomasi ini juga mendorong DPR mendukung lahirnya perundangan terkait tindak pidana terorisme, pembentukan badan atau institusi baru," sambungnya.
IPU merupakan wadah parlemen dari banyak negara atau lintas-negara. Sehingga penelitian ini memenuhi prinsip dasar Trygve Mathissen yang menyebutkan bahwa kajian hubungan internasional melintasi batas negara sebagai aspek penting dari aspek internasional.
"Kajian Trygve Mathissen memunculkan pengertian ilmu hubungan internasional yang sangat sederhana, yakni
all the international aspects of human social life," demikian Evita.
[ysa]
BERITA TERKAIT: