Dengan keputusan tersebut, pro-kontra atas kunjungan Presiden RI ke Amerika Serikat tak berlanjut.
Yang tersisa tinggal ketidakpuasan para pelobi yang berhasil meyakinkan Presiden agar terbang ke Washington, walaupun di tanah air berderet-deret persoalan yang dihadapi Kepala Negara. Mereka tidak puas karena semua skenario yang mereka susun untuk "menjual" kehadiran Presiden RI di AS, di menit-menit terakhir dirusak sendiri oleh Presiden Joko Widodo.
Dengan keputusan itu Presiden Joko Widodo menunjukkan bahwa ia memang masih atau tetap peduli kepada rakyat Indonesia.
Jokowi agaknya cukup sadar bahwa rakyat tetap menjadi aset paling penting dan berharga dari pada para pelobi dan pebisnis. Tanpa rakyat, tanpa dukungan rakyat, Jokowi tak akan bisa berada serta bertahan di Istana.
Hingga Selasa sore 27 Oktober masih ada kritikan yang menilai keputusan Jokowi kembali ke tanah air, sebagai sebuah tindakan yang tidak tepat. Presiden dinilai salah dalam membuat keputusan dan dikatakan seharusnya menuntaskan kunjungan di AS sesuai yang sudah dijadwalkan. Tokh sekalipun kembali ke tanah air lebih cepat, tetap saja kepulangan itu tidak akan menyelesaikan persoalan kabut asap. Sebab yang akan turun ke lapangan, bukan Jokowi sendiri.
Sampai pada poin tersebut, kritikan itu masih bisa dibenarkan. Hanya saja yang perlu dilihat dan diantisipasi adalah kerusakan negara yang diakibatkan oleh absennya pemerintah (Presiden).
Yang juga dilupakan oleh yang tidak setuju atas keputusan pulang lebih cepat itu adalah soal status psikologis Presiden Jokowi.
Sejauh ini, tidak semua puas atas kepemimpinannya sebagai Presiden. Kepemimpinan Jokowi dilihat masih terjebak dalam tarik menarik kepentingan antar kekuatan. Tidak ada keputusan yang diambil Jokowi memiliki kesakralan.
Tapi keputusan memperpendek perjalanan di AS menjadi contoh bahwa Presiden sudah berani dan mampu keluar dari tarik menarik yang membuat posisinya melemah. Dan tarik menarik itu mulai berubah seperti benang kusut atau lingkaran setan.
Benang kusut dan lingkaran setan ini telah membuat satu tahun kerja menjadi "idle".
Jokowi bukan sekedar Presiden dan Kepala Negara serta Kepala Pemrintahan. Dia juga sekaligus sebagai Orang Nomor Satu di Indonesia. Dalam posisi seperti itu Jokowi merupakan simbol terpenting. Dalam posisi itu dia bisa menggunakan hak prerogratifnya.
Yang juga dilupakan banyak orang, Jokowi terpilih sebagai Presiden RI periode 2014 - 2019, karena dia menyandang simbol dan persepsi sebagai orang bersih, pejabat yang tidak terlibat korupsi. Presiden yang bukan berwajah koruptor.
Jokowi bekerja bukan karena kepentingan dirinya, keluarganya atau partai politik yang mendukungnya.
Jokowi blusukan bukan karena mau mencari popularitas lewat pemberitaan. Melainkan karena dia tetap ingin agar hubungannya sebagai pemimpin dengan rakyat, tetap terpelihara.
Dalam hal musibah asap yang melanda 43 juta orang Indonesia, bangsa ini memerlukan simbol sekaligus pemimpin.
Sehingga simbol yang melekat pada Jokowi itulah yang dibutuhkan. Simbol itu menjadi hal yang terpenting dari keberadaannya di Indonesia. Terjadi simbolisasi, dengan adanya Jokowi, berarti negara hadir, tidak melarikan diri dari tanggaung jawab.
Sudah lama bangsa ini memiliki pemimpin. Sudah terlalu banyak orang yang mengaku sebagai pemimpin atau mampu memimpin. Tetapi ketika rakyat membutuhkan para pemimpin untuk mengatasi permasalahan bangsa, para pemimpin itu tidak hadir, mengelak bahkan pura-pura tidak tahu ada masalah yang dihadapi bangsa.
Sudah lama rakyat sadar bahwa mereka hanya dibutuhkan oleh para elit politik di saat menjelang Pemilu. Apakah itu pada saat Pemilu Legislatif di tingkat pusat ataupun di daerah.
Nah, ketika Jokowi sebagai Presiden didaulat, dikritik agar tetap berada di tanah air, maknanya bukan dalam pengertian harafiah. Tetapi maknanya agar pemerintah hadir di saat 43 juta manusia sedang menghadapi masalah besar.
Jangan lupa, jumlah manusia sebanyak 43 juta, sudah melebihi total penduduk sebuah negara di Eropa, Amerika Latin, benua Afrika, Timur Tengah bahkan di Asia Tengah.
Sehingga wajar bila ekstra perhatian bagi ke-43 juta manusia itu dilakukan oleh pemerintah. Wajar pula bila melayani kesulitan yang dihadapi ke-43 juta manusia itu dianggap jauh lebih penting dibanding dengan pertemuan dengan para pebisnis AS bahkan Obama sendiri.
Saat ini kehadiran negara, pemerintah, pemimpin, presiden, gubernur, bupati dan walikota - dalam sebuah situasi yang pelik, telah menjadi sesuatu yang mahal.
Benar bahwa Jokowi tak akan mungkin turun ke lapangan sendirian. Tetap saja dia harus menugaskan dan mengandalkan para pembantunya.
Tetapi kehadiran Jokowi menjadi kebutuhan karena yang bisa disaksikan adalah para birokrat pemerintah, termasuk Wakil Presiden, sepertinya kurang begitu peduli pada penderitaan rakyat yang terkena bencana kabut asap.
Mau tidak mau rakyat berpaling ke Jokowi. Karena mungkin ada anggapan, setelah dia mengadakan blusukan ke daerah yang terkena kebakaran hutan beberapa waktu lalu, tinggal dia pejabat yang punya kepedulian dan empati.
Sehingga ketika rakyat menyerahkan kepercayaan dan harapan mereka kepada Jokowi, hal itu tidak salah sama sekali.
Kebetulan Jokowi juga sampai saat ini belum dikenal sebagai pejabat negara yang sedang menghimpun kekayaaan. Dia justru menolak kenaikan gaji - sekalipun usul itu diajukan oleh DPR -RI, lembaga legislatif yang selama ini selalu berusaha menjatuhkan Presiden.
Jokowi sangat berbeda dengan SBY, Presiden pendahulunya. SBY mengeluh berkali-kali karena gajinya tidak pernah naik atau dinaikkan.
Hal ini semua sebenarnya berakumulasi dan menjadi alasan bagi rakyat untuk merasa berhak rindu akan kehadiran Jokowi.
Seperti diutarakan pada bagian sebelumnya, tentu ada pihak yang kecewa dengan keputusannya kembali lebih cepat ke tanah air. Terutama para pelobi. Sebab sebuah sejumlah pertemuan bisnis di Pantai Barat Amerika, yang dirancang oleh para pelobi itu - tergerus kualitas dan kredibilitasnya. Sebab yang hadir menggantikan Jokowi hanya para pembantunya (Menteri-Menteri).
Tidak apa-apa, mereka, para pelobi kecewa. Sebab tokh mereka bekerja dengan prinsip mencari keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Mereka merupakan perantara, penikmat komisi yang ukurannya hanya sebatas "siapa yang bisa dimakan hari ini atau besok". Tak masalah mereka menjadi korban dari keprotokoleran.
Yang lebih baik dan lebih penting, Presiden memperhatikan nasib jutaan rakyat yang tak punya harta dan keahlian seperti para pelobi di atas.
Yang terpenting Presiden tidak menelantarkan nasib 43 juta rakyat yang meredang kesulitan hidup di desa dan hutan balantara Indonesia.
Potensi bisnis yang hilang akibat dari pembatalan pertemuan di Pantai Barat AS itu boleh jadi dalam kisaran triliunan rupiah. Tapi apalah artinya jumlah itu jika dibandingkan dengan kerugian yang diderita oleh 43 juta rakyat Indonesia.
Kerugian materi para pelobi itu, mungkin masih bisa dikompensasi oleh Menteri BUMN dengan cara mencari peluang bisnis di luar bidang pelobian. Atau oleh Sofyan Wanandi, Kepala Staf Wakil Kepresidenan RI yang dikenal sebagai salah seorang pengusaha sukses serta memiliki jaringan politik dan bisnis di berbagai negara.
Pernyataan Presiden yang menyebut bahwa kemungkinan pesawat kepresidenan yang ditumpanginya dari Washington akan mendarat di Palangkaraya (Kalimantan Tengah) atau Palembang (Sumatera Selatan), cukup menunjukkan, Presiden benat-benar memberi prioritas atas penanggulangan masalah kabut asap.
Presiden tidak merasa wajib ke Istana Bogor lebih dulu untuk istirahat sejenak baru kembali ke daerah musibah.
Penegasan Presiden cukup menyejukkan bagi para korban kabut asap dan mereka yang menderita sakit pernapasan di Sumatera dan Kalimantan.
Kembalinya Jokowi ke tanah air diharapkan akan menghidupkan semangat koordinasi di antara para pejabat pemerintah.
Kehadiran Jokowi diharapkan bisa mempersatukan kepedulian bangsa atas musibah kabut asap. Dan kepedulian itu harus dimulai oleh duet Jokowi - JK.
Jangan lagi ada kepedulian yang tidak seimbang antara kedua figur bangsa ini. Jangan lagi ada pertanyaan, mengapa hanya Pak Presiden yang sibuk mengurus kabut asap? Mengapa justru Pak Menteri Koordinator Polkam yang memberi tahu situasi yang dihadapi bangsa? Mengapa bukan wakilnya Pak Joko Widodo?
[***]