Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

SUMPAH PEMUDA: RELASI GERAKAN PELAJAR DAN SANTRI

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/muhammad-sulton-fatoni-5'>MUHAMMAD SULTON FATONI</a>
OLEH: MUHAMMAD SULTON FATONI
  • Rabu, 28 Oktober 2015, 11:20 WIB
SATU tahun sebelum Sumpah Pemuda yang digagas para pelajar tahun 1928, para santri berkumpul di Surabaya dalam forum Muktamar NU tahun pada tanggal 9-11 Oktober 1927.

Tak kurang dari 146 kiai hadir, termasuk beberapa undangan, seperti Dr. Soetomo (pendiri Budi Utomo) dan Van der Plas (Inlandshe Zaken). Pada Muktamar ini memutuskan konsep mode pakaian pribumi  untuk menghindari pakaian celana panjang, dasi, sepatu dan topi yang waktu itu identik dengan kolonial Belanda. Terdapat konsekuensi hukum Islam yang berat bagi seorang muslim Indonesia yang dengan bangga menggunakan uniform khas kolonial Belanda (doc. PBNU, 1927).
 
Identitas kebudayaan memang selalu dalam proses (in process). Namun para santri saat itu menilai identitas kebudayaan yang diusung Belanda itu proses yang harus dibenturkan (the Clash of Civilizations) demi kepentingan identitas nasional. Meskipun Antropolog C. Kluckhohn mengkategorikan model berpakaian sebagai kebudayaan universal (cultural universals) namun NU berpandangan mode ala kolonial Belanda itu bisa mendominasi kebudayaan-kebudayaan lokal yang notabene modal kemerdekaan. Ahmad Shalaby (1973) intelektual Mesir menyebut keputusan ini sebagai bentuk perlawanan para ulama terhadap penjajah Belanda.
 
Sebulan sebelum Sumpah Pemuda yang diinisiasi para pelajar di Jakarta, terjadi peristiwa serupa di Surabaya yang kembali diinisiasi para santri se Indonesia. Melalui Muktamar III pada tanggal 28-30  September 1928 para santri berkumpul membahas beberapa tema keislaman dan kebangsaan. Pada hari pertama membahas relasi pejabat kolonial dengan problem keislaman masyarakat. Hari kedua mendiskusikan problem sosial keislaman. Hari ketiga membedah soal relasi tradisi dan keislaman (doc.PBNU, 1928).
 
Pada hari pertama sesi pembukaan, Hadratussyaikh Hasyim Asyari menyampaikan garis besar perjuangan para santri yang memuat beberapa prinsip:

Pertama, Sesungguhnya pertemuan dan saling mengenal persatuan dan kekompakan adalah perkara yang tidak seorangpun tidak mengetahui manfaatnya.

Kedua, Persatuan, ikatan batin satu dengan yang lain, saling bantu menangani satu perkara dan seia sekata merupakan penyebab kebahagiaan yang terpenting dan faktor paling kuat untuk menciptakan persaudaraan dan kasih sayang.

Ketiga, Perpecahan adalah penyebab kelemahan, kekalahan dan kegagalan di sepanjang zaman. Bahkan pangkal kehancuran dan kemacetan, sumber keruntuhan dan kebinasaan, dan penyebab kehinaan dan kenistaan.

Keempat, Tolong menolong atau saling bantu pangkal keterlibatan umat-umat.
 

Di hadapan ratusan peserta Muktamar, KH. Hasyim Asyari juga menjelaskan fenomena pasang surut bangsa-bangsa di dunia sepanjang zaman. Di antara mereka ada yang mengalami kepunahan. Terdapat pula yang mengalami kejayaan. Cermin sejarah tersebut mengajarkan agar setiap anak bangsa punya kekukuhan untuk bersatu, komitmen mewujudkan cita-cita, satu visi dan mempunyai kesamaan perspektif (doc. PBNU, 2015). Hasil Muktamar NU III pun menyebar ke seluruh Indonesia melalui jaringan sosial santri. Kesadaran untuk bersatu, bersinergi dan memperkuat persaudaraan menggejala dimana-mana.
 
Gayung pun bersambut. Di antaranya aksi para pelajar yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia menggelar Kongres Pemuda di Jakarta pada tanggal 27-28 Oktober 1928. Rapat pertama digelar di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng Jakarta Pusat. Pada sesi ini Moehammad Yamin menyampaikan ide persatuan Indonesia yang berbasis sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan dan dedikasi.

Pada hari kedua, Minggu, 28 Oktober 1928 rapat digelar di Gedung Oost-Java Bioscoop, jalan Medan Merdeka Utara Jakarta Pusat, membahas masalah pendidikan. Pada sesi ini Sarmidi Mangoensarkoro mengulas urgensi pendidikan bagi generasi bangsa. Puncak acara digelar di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106 yang menghasilkan keputusan yang dibacakan oleh Soegondo Djojopoespito, Ketua Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI).

Naskah keputusan tersebut adalah:
Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea:  Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga:   Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

 
Keputusan tersebut akhirnya populer dengan sebutan Sumpah Pemuda”. W.R. Soepratman yang hadir dalam Kongres ini untuk kali pertama memperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia yang ia ciptakan. Selamat Hari Sumpah Pemuda.

*Penulis adalah Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA