CATATAN TENGAH

Menakar Kebaikan dan Dosa Amerika pada Indonesia

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Senin, 26 Oktober 2015, 20:30 WIB
Menakar Kebaikan dan Dosa Amerika pada Indonesia
derek manangka/net
AMERIKA Serikat tergolong salah satu negara Barat yang banyak membantu Indonesia. Terutama di masa Perang Dingin antara blok Barat dan blok Timur sedang hangat-hangatnya.

Bantuan paling berarti antara lain ketika Amerika Serikat menjadi semacam sponsor atau promotor. Dengan status seperti itu AS mengajak investor asing menanamkam modalnya di Indonesia.

Peran AS melalui Bank Dunia dan IMF dalam mengkoordinir bantuan atau pinjaman di forum IGGI (Inter Government Group on Indonesia), sangat menentukan. Sebab setiap tahun selama sekitar 20 tahun, IGGI menyetujui usulan pinjaman dari Indonesia - pinjaman mana kemudian digunakan untuk pembangunan di tanah air.

Pinjaman-pinjaman tersebut walaupun pada akhirnya membuat Indonesia terlilit hutang luar negeri dan menghasilkan banyak koruptor, tapi secara konsep bagus. Peran AS di sini sangat berarti.

Paling tidak pada pertengahan tahun 1990-an Indonesia sempat dijuluki sebagai "The Asian Tiger", Macan Asia atau NIC (New Industrialised Country). Konotasinya pada dua dekade lalu itu, satu loncatan lagi, Indonesia akan menjadi negara industri.

Bantuan AS itu ketika itu sangat berarti. Sebab pasca peristiwa G.30.S/PKI tahun 1965, tingkat kepercayaan dunia terhadap Indonesia - sebagai negara tujuan investasi, relatif sangat rendah. Tingkat resiko Indonesia pada akhir tahun 1960-an itu, masih sangat tinggi.

Freeport misalnya termasuk investor asing pertama asal AS yang masuk ke Indonesia setelah UU Penanaman Modal Asing diperkenalkan tahun 1968.

Masuknya Freeport, secara tidak langsung membuat investor lainnya ikut tertarik ke Indonesia. Para investor asing antara lain membandingkan keputusan atau keberanian Freeport. Perusahaan ini berani berinvestasi di Pulau Papua, khususnya di wilayah yang masih sangat terisolir, Timika.

Pulau Papua yang pada waktu itu masih dikenal dengan sebutan Irian Barat - belum sepuluh tahun dikembalikan Belanda kepada Indonesia.

Keberanian Freeport mengirim sinyal positif ke semua investor asing. Bahwa Indonesia yang baru keluar dari kemelut politik 1965 dan sedang bergumul dengan anasir-anasir komunis, memiliki stabilitas keamanan yang baik. Dan stabilitas keamanan itu merupakan jaminan bagi investor.

Tapi dibalik bantuan-bantuan itu semua, selalu ada "harga" yang harus dibayar. Dan bayaran yang harus jadi beban Indonesia, mahal. Sehingga kalau dibuat semacam timbangan atau neraca, hasil bantuan itu untuk skala tertentu pada akhirnya secara sosial politik sangat merugikan Indonesia.

Bangsa ini kehilangan jatih diri dan kedaulatan.

Sebab dibalik semua bantuan itu selalu ada tekanan dan persyaratan yang sulit ditolak para negosiator Indonesia.

Lihat saja pasca reformasi, di saat krisis multi dimensi sudah menyerang Indonesia, kembali AS mengulurkan tangan pada Indonesia.

Kali ini dia masuk melalui perubahan UUD 45. Dari sistem politik dimana setiap keputusan diambil secara mufakat, berganti menjadi sistem voting. Dan yang mengubah ini para LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang dibiayai pemerintah AS atau Partai Demokrat maupun Partai Republik. Mereka merekrut para cendekiawan kita, sehingga tidak ada kesan ada "Amerikanisasi" dalam amandemen UUD 45.

Setelah UUD 45, berhasil dimandemen, agar sejalan dengan agenda mereka (para cendekiawan) mengusulkan perubahan UU Partai Politik. Hasilnya puluhan partai politik tumbuh. Sayonara sistem tiga partai PPP. Golkar dan PDI.

Dan silahkan renungkan sendiri dampaknya. Kita sudah dan masih menyaksikan terjadinya Partai Kembar, perkelahian di Pilkada dan sebagainya. Semua itu akibat demokrasi liberal yang diadopsi oleh UU Parpol (bikinan antek Amerika).

Lihat pula perdebatan soal eksistensi Freeport. Persoalan pelik yang ditimbulkannya terletak pada munculnya sentimen separatisme.

Keinginan sejumlah rakyat Papua memisahkan diri dari NKRI menjadi begitu tinggi, karena seolah-olah pemerintah pusat hanya mengeruk kekayaan Papua, tanpa membangun pulau dan warga Papua. Dan pengerukan yang dimaksud antara lain yang dilakukan oleh Freeport.

Sejatinya Amerika Serikat dan Freeport harus disalahkan. Sebab negara dan perusahaan ini, selama lebih dari 40 tahun sudah menghasilkan milyaran dolar Amerika. Tetapi dana keuntungan sebanyak itu tak membekas dalam pembangunan Papua. Pulau yang menjadi tempat penambangan, masih tetap tertinggal jauh. Tetapi bagi Indonesia, untuk menyalahkan AS dan Freeport secara hukum tidak mungkin. Kecuali dari segi CSR - Corporate Social Responsibility. Ini yang tidak dipahami oleh masyarakat luas dan pemerintah sendiri tidak punya kemampuan menjelaskan.

Disadari atau tidak, dampak negatif dari kehadiran Freeport, secara politik sangat mahal. Sebab sekalipun pemerintah hanya memperoleh saham sangat kecil, tapi rakyat Papua selalu menganggap pemerintah pusatlah yang kenyang memakan semua uang hasil tambang Freport.

Di pihak lain yang menikmati keuntungan berlipat ganda yaitu investor Freeport dan Amerika Serikat, dari jauh hanya senyum-senyum.

Pemerintah AS menikmati keuntungan dalam bentuk restitusi pajak - yang jumlahnya juga tidak kecil.

Setelah bantuan luar negeri dan investasi, kini ke soal sederhana. Yaitu penerbitan "Travel Warning".

Peringatan ini menjadi semacam "fashion" dari Gedung Putih. Terjadi keributan sedikit saja di sebuan negara, termasuk Indonesia, Gedung Putih langsung meminta seluruh kedubes AS di seluruh dunia mengeluarkan peringatan. Agar warganya jangan berkunjung ke sebuah negara pada periode tertentu.

Indonesia yang dikleim sebagai sahabat Amerika Serikat, termasuk yang menjadi langganan "Travel Warning".

Bukan sekali dua kali Washington menyarankan agar warganya tidak berkunjung ke Indonesia dengan alasan dan pertimbangan keamanan. Pasca "Nine Eleven", Indonesia seolah merupakan negara yang paling tidak aman di jagad raya ini.

Turis, pengusaha yang berminat ke Indonesia, otomatis terinsinuasi dengan peringatan itu. Padahal "Travel Warning" itu sebetulnya tidak memiliki dukungan fakta yang kuat.

Mari kita analisa.

Terjadi ledakan bom di Kedubes Australia, Kuningan Jakarta. Ledakan itu menelan korban. Tapi secara faktual tidak berarti seluruh Jakarta apalagi seluruh wilayah Indonesia dalam keadaan tidak aman, sehingga tidak aman bagi warga asing berkunjung ke Indonesia.

Efek dari "Travel Warning" itu sangat merugikan citra Indonesia. Sebab yang ikut terpengaruh bukan saja warga Amerika Serikat tapi warga negara asing lainnya. Inilah yang antara lain dimaksud dengan dosa Amerika kepada Indonesia.

Beralih ke isu lain. Adalah AS yang membohongi Indonesia tentang bahaya komunis. Hingga awal tahun 1970-an, AS masih terus berkampanye tentang bahaya ancaman komunisme. Indonesiapun menjadikan ideologi yang berasal dari Eropa itu, sebagai paham yang harus dilarang hidup di bumi Nusantara.

Eh, diam-diam Amerika mendekati RR China, negara yang paling banyak anggota Partai Komunisnya di dunia. Negara yang memiliki penduduk terbanyak di dunia - 1,2 milyar orang pada 40 tahun lalu. Sampai akhirnya secara mengejutkan di tahun 1978, AS membuka hubungan diplomatik dengan China.

Tindakan ini jelas sebuah sikap yang tidak "fair". Sebab di tahun 1978 itu Indonesia masih sedang sengit-sengitnya membenci RRC. Dan Indonesia membenci RRC antara lain atas hasil provokasi AS. Saat itu Indonesia masih membekukan hubungan diplomatiknya dangan RRC.

Sikap AS seperti ini sama dengan pengkhianatan seorang suami. Kepada sang isteri, dia menjelek-jelekkan seorang tetangga berstatus "janda" miskin tapi cantik. Tapi diam-diam dia pacarin oleh AS (suami) sampai akhirnya dikawini.

Menghadapi kemungkinan terjadinya perang kawasan, AS menawarkan pesawat-pesawat tempur canggih F-16. Tapi hanya dalam tempo kurang dari satu dekade, AS meng-embargo Indonesia. Dengan cara tidak mengizinkan pembelian suku cadang bagi pesawat tersebut. Alasan yang digunakan AS, karena militer Indonesia melakukan pelanggaran HAM berat di Timor Timur.

AS pura-pura lupa bahwa dialah yang mendorong dan "menugaskan" Indonesia memerangi komunisme di Timor Portugis. Karena itu, masuknya Indonesia di Timor Leste (sekarang) di tahun 1975 yang secara paksa, berakibat terjadinya benturan antara militer Indonesia dengan rakyat sipil. Rakyat Timor Timur, Timor Leste, Timor Portugis menentang masuknya Indoneaia di bekas provinsi seberang lautan Portugal itu.

Korban di pihak rakyat Timor, berjatuhan. Kejadian ini menyebar ke seluruh dunia dan pemerannya adalah pers AS. Atas dasar itu Washington mengenakan sanksi berupa embargo.

Padahal pelanggaran HAM berat itu tidak bisa dilepskan dari 'penugasan' AS agar Indonesia menginvasi Timor Portugis.

Dampaknya skuadron tempur pesawat yang dibeli dari AS - ketika tak punya suku cadang, menjadi rusak dan otomatis tak bisa difungsikan.

Yang menjadi korban para penerbang TNI AU.

Contoh-contoh di atas hanya sebagian dari sekian banyak dosa Amerika pada Indonesia.

Catatan yang menunjukkan sisi dosa AS ini tidak dimaksudkan agar pembaca "membenci" negara adi daya itu.

Tapi kalu bisa mulai detik ini kemudian ke depan bangsa Indonesia harus lebih kritis dalam menghadapi manuver AS maupun bangsa lain. [***]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA