Sehingga semua pertanyaan yang diajukan beberapa teman, hanya bisa saya jawab dengan fakta dan data yang saya ketahui. Dan fakta serta data itu bersifat subyektif.
Sementara para sahabat, yang saya tahu belum tentu sahabatnya Surya Paloh, bertanya untuk mencari jawaban obyektif.
Alasan mereka; sayalah satu di antara wartawan senior yang mengenal dekat SP. Saya dianggap netral dan kebetulan tidak berada di lingkar SP - baik di Partai Nasdem maupun "Media Group".
Tapi yang lebih menjadi alasan kuat mengapa para sahabat tertarik menanyakan pendapat tentang SP, karena Nopember 2014 lalu penerbit Gramedia meluncurkan buku saya "Surya Paloh Melawan Arus Menantang Badai".
Hal tersebut dilihat oleh banyak sahabat, bahwa saya bukan hanya mampu memotret kepribadian politik Surya Paloh. Tapi lewat buku itu saya bisa menghapus atau mengurangi persepsi negatif tentang SP. Dan kini SP sedang dipersepsikan sebagai politisi sekaligus pengusaha negatif.
Sementara itu berita-berita yang bersifat insinuatif dan mengarahkan opini dan persepsi publik bahwa Surya Paloh terlibat korupsi, semakin marak.
Salah satu hal yang membuat persepsi SP negatif, pernyataan Razman Nasution, mantan pengacaranya Gubernur Sumut. Gatot Pudjo.
Nasution sudah bukan lagi pengacara Gatot Pudjo. Entah apa penyebabnya, tak ada yang tahu. Apakah ada ketidak sepahaman di antara mereka dalam soal pembelaan atau menyangkut kisaran "fee" ataupun dikarenakan soal lain.
Yang pasti kesan yang muncul, Razman Nasution masih menjadi pengacaranya Gubernur Sumut, Dan isu Gubernur Sumut inilah yang menarik SP dalam kisaran korupsi tersebut.
Sementatra saya melihat Razman Nasution sepertinya sengaja mengaburkan posisinya. Dia sudah mantan pengacara Gatot Pudjo, tapi seolah-olah masih.
Waktunya berlaga di atas panggung sudah selesai, tapi dia masih mengulur waktu. Dan bahasa tubuhnya cukup mengesankan bahwa dia sedang mengincer SP.
Ketika berbicara soal korupsi di pemda Sumut, termasuk mengait-ngaitkan nama Surya Paloh, dia seolah sangat legitimate.
Oleh sebab itu cara Razman Nasution memberi penjelasan atau mengomentari kasus korupsi di pemda Sumut ini, inilah yang saya anggap perlu diluruskan sebelum bicara apakah SP terlibat korupsi atau tidak.
Lagi pula jangan sampai terjadi, pemberitaan tentang kasus korupsi di pemda Sumut yang begitu marak, membuat kita terpengaruh. Menganggap puncak dari segala pemberantasan korupsi di Indonesia adalah dalam kasus korupsi di pemda Sumut.
Jangan sampai kita digiring bahwa Sumut merupakan barometer nasional.
Bukan meremehkan jumlah uang yang dikorupsi di pemda Sumut. Tetapi sangat tidak patut kalau korupsi yang jumlahnya hanya puluhan atau ratusan milyar kita tempatkan sebagai persoalan prioritas. Sementara mega korupsi Bank Century sebesar Rp. 6,7 triliun, kita diamkan.
Korupsi yang menghubungkan nama Presiden dan Wakil Presiden tidak kita pentingkan, sementara korupsi yang mengaitkan keterlibatan Ketua Umum partai, kita besar-besarkan. Ada unsur ketidakwajaran dan keluar dari proporsi.
Iinilah yang kemudian saya rasakan sorotan terhadap korupsi Gubernur Sumut, berlebihan bahkan sesuatu yang sudah mulai keluar dari konteks.
Apalagi penyelesaian kasus ini sudah berproses. Misalnya Sekjen Partai Nasdem yang dijadikan tersangka KPK sudah diberi sanksi oleh partainya. Patrice Rio Capella tidak lagi menjadi Sekjen Partai Nadem. Dia juga direcall dari keanggotaannya di parlemen Senayan. Akan beda situasinya bila Surya Paloh sebagai Ketua Umum menghalang-halangi KPK apalagi melakukan intervensi langsung.
Tetapi Nasution tetap keukeuh menyoroti korupsi tersebut. Yaitu dengan mengaitkan soal baik buruknya manajemen partai Nasdem serta orang-orang yang berada di sekitar SP.
Artinya yang disoroti Nasution lebih banyak yang berada di luar isu korupsi. Telah terjadi politisasi atau kasus korupsi. Atau soal politik di-convert menjadi tema korupsi.
Akibatnya obyektifitas pembahasan soal terlibatnya SP dalam korupsi bansos pemda Sumut, ternoda.
Dalam situasi seperti ini, seharusnya saya menelpon SP. Menanyakan duduk persoalannya. Dan saya yakin dia akan terbuka menjawab semua pertanyaan.
Keyakinan itu cukup beralasan. Tahun lalu SP ditulis oleh berbagai media yang menudingnya sebagai "makelar" dalam penjualan minyak kepada pemerintah. Dalam pertemuan empat mata, hal ini saya tanyakan.
Jawaban SP spontan.
"Harga minyak mentah di pasaran internasional US$ 100,- per barel. Lalu saya perkenalkan perusahaan pemasok minyak dari Angola dengan harga US$ 60,- per barel. Itu artinya saya membantu pemerintah. Menghemat US$ 40,- per barrel, sebuah jumlah yang kalau diakumulasi tidak kecil. Lalu dimana kesalahan saya ?" katanya
"Seharusnya cara saya diikuti atau ditiru oleh perusahaan atau pengusaha nasional yang lebih banyak lagi. Semakin banyak yang melakukan hal serupa, semakin baik bagi pemerintah. Coba anda hitung. Kalau ada 5 pengusaha saja yang melakukan apa yang saya lakukan, pemerintah kita sudah tertolong banyak. Persoalannya apakah semua punya visi mau membantu pemerintah? Atau apakah saya tidak boleh membantu pemerintah ?" bertanya SP.
"Tapi anda dilihat sebagai memanfaatkan kedekatan dengan Presiden. Artinya anda melakukan nepotisme dan kolusi yang dianggap racun di Indonesia", saya menyela.
"Derek saya ini sudah kenyang. Mungkin banyak yang tidak tahu kalau dalam soal ekonomi saya sudah cukup mapan. Tapi kalau sudah soal Merah Putih, tak ada tawar menawar atau kata ragu pada diri saya", ujar pemilik Metro TV dan harian "Media Indonesia" itu.
Kata "kenyang" yang diucapkannya 20 Nopember 2014 lalu itu, 11 bulan kemudian, tepatnya 20 Oktober 2015 kemudian mengiang di kuping saya.
Sementara sebelumnya saya punya data kekayaan dan perusahaan SP, yang saya investigasi secara diam-diam
Hasilnya memang cukup mengejutkan. Wajar kalau SP menganggap dirinya sudah "kenyang".
Ternyata sekalipun SP selama 10 tahun berada di luar pemerintahan SBY (2004 - 2014), keberadaan di luar pemerintahan itu tak membuatnya kurang berhasil mengkapitalisasi berbagai bisnis.
Tapi satu hal yang cukup fenomenal adalah terjunnya SP dalam bisnis minyak kelapa sawit. Mengapa fenomenal ? Menurut sumber yang sangat dekat dengan SP, dari perusahaan inilah pembiayaan Partai Nasdem dilakukannya.
Dalam Pilkada serentak Desember 2015 mendatang, semua calon Walikota, Bupati dan Gubernur yang menggunakan Partai Nasdem sebagai kendaraan politik, otomatis mendapat bantuan keuangan dari DPP Partai Nasdem. Istilah kerennya, setiap calon Gubernur, Walikota dan Bupati, jangan lagi punya pemikiran negatif. Setelah terpilih akan berusaha memanfaatkan jabatannya untuk melakukan korupsi anggaran. Mau mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan sewaktu proses pencalonan.
Dan itu semua adalah misi dan visi SP sebagai pendiri dan pimpinan puncak partai Nasdem. Saya tidak mengecek lagi berapa dana yang dikeluarkan SP atau Nasdem menghadapi Pilkada serentak tahun ini.
Tetapi saya cukup percaya bahwa SP sudah "kenyang" sehingga tidak lagi mengincer duit receh seperti di bansos Pemda Sumut.
Bahwasanya kemungkinan anak buahnya yang "belum kenyang" sehingga masih sangat membutuhkan uang receh tersebut, persoalannya tidak bisa dicampur aduk.
Saya cukup percaya bahwa SP sudah "kenyang". Sebab sekalipun kehidupan partai secara finansil sudah cukup membebaninya, tapi beban itu tak mengganggu kehidupan privacy-nya.
Dia tetap seperti seorang pengusaha yang saya kenal 30 tahun lalu. Modist, trendy dan sedikit seleb. Yang membedakan, saat ini selain punya kapal pesiar (yacht) dan pulau, SP punya mainan baru. Dua jet pribadi dan satu helikopter.
Bagi saya yang belum pernah naik jet pribadi dan helikopternya, cukup terkagum-kagum dengan pencapaiannya itu. Bukan karena materi tapi karena kemampuannya mengkombinasikan bisnis dan politik atau sebaliknya.
Fakta ini membuat saya bertanya pada diri sendiri : "Apakah orang yang sudah berlimpah harta seperti itu, masih butuh uang receh ...seperti puluhan milyar dari bansos pemda Sumut..?
Apakah SP yang sudah menjadi "deal maker" kaliber internasional tidak berpikir akan resiko politiknya jika dia harus bermain-main dengan uang receh ? Saya tak mau letih mencari jawabannya. Biarlah waktu yang akan bicara. "Time will tell...".
[***] Penulis adalah jurnalis senior.