"Apakah pemilihan langsung lebih demokratis daripada pemilihan yang dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat? Tentu saja tidak. Selama anggota legislatifnya dipilih secara demokratis, pemilihan kepala daerah yang mereka pilih juga pasti demokratis," tegas Ketua DPP PAN Saleh Partaonan Daulay (Senin, 8/9).
Selain itu, dalam membuat keputusan, DPR RI sudah barang tentu melihat dari aspek positif dan negatif yang ditimbulkan dari keputusan tersebut. Indonesia sudah punya pengalaman yang cukup dalam pilkada langsung. Sejauh ini, sebagian besar anggota DPR RI melihat bahwa kerugian pilkada langsung lebih besar dari manfaatnya.
Selain merangsang munculnya raja-raja kecil di daerah, pilkada langsung ditenggarai telah menyuburkan praktik korupsi di daerah-daerah. Buktinya, sudah lebih 325 orang gubernur dan bupati/walikota yang ditetapkan tersangka dan dijatuhi hukuman. Padahal, pilkada langsung baru dilaksanakan delapan tahun terakhir.
"Belum lagi, pilkada langsung membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Andaikata pilkada langsung menghabiskan antara 20-30 miliar, kalikan saja dengan 500 kabupaten/kota. Itu belum termasuk pilkada gubernur di 34 provinsi yang ada. Biaya demokrasi yang besar seperti itu lebih baik dimanfaatkan untuk pembangunan bagi kepentingan masyarakat," tegas Saleh, caleg terpilih dari dapil Sumut II ini.
Pilkada langsung juga dinilai telah banyak menyita perhatian dan energi masyarakat. Untuk 2015 saja, tercatat lebih dari 260 kabupaten/kota yang akan melaksanakan pilkada. Sementara dalam setahun saja hanya ada 365 hari. Itu artinya, hampir setiap hari pilkada dilangsungkan di daerah-daerah.
Friksi sosial tidak jarang terjadi akibat pilkada. Yang menang pilkada belum tentu merasa nyaman sebab yang kalah kadang-kadang melakukan aksi protes. Bahkan hampir seluruh pilkada gubernur dan pilkada bupati/walikota diselesaikan di Mahkamah Konstitusi. Akibatnya sudah jelas, mantan ketua MK juga terbukti melakukan korupsi besar-besaran terkait kasus-kasus sengketa pilkada yang ditanganinya.
"Semestinya, pemerintah, anggota legislatif, dan masyarakat lebih fokus untuk melaksanakan program pembangunan. Jika ada pilkada, fokus akan terbelah. Birokrasi di pemerintahan pun tidak jarang terpecah. Bahkan ada banyak pejabat karir atau birokrat yang dimutasi dan dinon-jobkan sebagai ekses pilkada".
Kalau ada pilkada, gubernur dan bupati/walikota dipastikan tidak akan fokus dua tahun atau setahun terakhir masa jabatannya. Pasalnya, kepala-kepala daerah tersebut akan mengalihkan perhatiannya untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi pilkada berikutnya. Sering sekali, program pembangunan hanya diarahkan dalam konteks pemenangannya dalam pilkada.
"Kalau dibalik, apa hal positif dari pilkada langsung? Apakah efek positifnya lebih banyak dari efek negatifnya. Ini yang mesti direnungkan secara bersama-sama sebagai anak bangsa. Pilihan untuk menetapkan pilkada oleh anggota legislatif tidak boleh dilihat dari sudut politis saja, tetapi harus dilihat secara komprehensif dalam konteks kepentingan bangsa Indonesia secara keseluruhan," ungkap Saleh.
Bila pemerintah ke depan khawatir tentang kemungkinan defisit anggaran, salah satu alternatif yang bisa dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan menghemat biaya demokrasi kita. Jika pemilihan kepala daerah dilaksanakan hanya oleh anggota legislatif, maka diperkirakan akan menghemat trilunan rupiah anggaran negara.
"Daripada berpikir untuk menjual pesawat kepresidenan, misalnya, tentu lebih baik melakukan penghematan lewat pilkada oleh anggota legislatif. Kualitas dan legitimasinya dinilai sama dengan pilkada langsung. Tidak ada satu pun aturan perundang-undangan pun yang dilanggar," tandas Ketua Umum PP. Pemuda Muhammadiyah ini.
[zul]
BERITA TERKAIT: