Tak Menutup Kemungkinan Jokowi akan Khianati Megawati

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/zulhidayat-siregar-1'>ZULHIDAYAT SIREGAR</a>
LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR
  • Selasa, 18 Maret 2014, 20:06 WIB
Tak Menutup Kemungkinan Jokowi akan Khianati Megawati
mega-jokowi
rmol news logo Perseteruan Ketua Dewan Pembina DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menyeruak setelah Joko Widodo resmi ditunjuk sebagai calon presiden partai berlambang kepala banteng itu.

Prabowo berang karena merasa dikhianati Megawati. Pasalnya, dalam Perjanjian Batu Tulis yang ditandatangani sebelum Pilpres 2009 lalu disebutkan, Megawati dan PDIP akan mendukung Prabowo sebagai calon presiden pada Pilpres 2014.

Perseteruan kedua elit politik ini mengingatkan masyarakat Indonesia akan pertikaian elit politik sebelumnya. "Telikung-menelikung ini soal biasa dalam politik dan kekuasaan. Itu sudah lumrah, bahkan sejak zaman Ken Arok," jelas Direktur Eksekutif The Indonesia Reform Institute Syahrul Effendi Dasopang kepada Rakyat Merdeka Online (Selasa, 18/3).

Syahrul mengingatkan, pada awal kemerdekaan misalnya, Soekarno mengkhianati pejuang asal Aceh, Teungku Daud Beureuh, yang saat itu dijanjikan kebebasan pelaksanaan syariat Islam tapi tidak terbukti. Pada masa berikutnya, Soekarno yang kemudian dikhianati Soeharto. Sementara Soeharto dikhianati Akbar Tanjung, BJ Habibie, dan Ginanjar Kartasasmita, termasuk Prabowo sendiri.

"Gus Dur juga dikhianati Megawati," beber Syahrul.

Alasannya, kalau Mega dan PDIP tidak bergabung dalam gerakan yang ingin menurunkan Gus Dur, tidak mungkin Presiden RI keempat yang bernama asli Abdurrahman Wahid itu lengser tahun 2001 padahal usia pemerintahanya baru sekitar dua tahun.

"Mega juga dikhianati SBY. Bisa saja nanti Jokowi mengkhianati Mega. Atau Ahok mengkhianati Prabowo. Karena presedennya ada. Itu praktik yang lumrah," imbuh mantan Ketua Umum PB HMI ini.

Syahrul menegaskan, semua perseteruan elit politik itu tidak terkait dengan kepentingan rakyat. Semuanya hanya menyangkut kekuasaan dan kepentingan sesaat para elit tersebut.

"Mereka berseteru, nasib kita dipertaruhkan. Rakyat tetap susah cari makan. Karena semua perjanjian itu nggak ada hubungannya dengan rakyat. Isinya hanya bagi-bagi kekuasaan," kesal Syahrul.

Agar perjanjian dan perseteruan di antara sesama elit tidak terjadi lagi, menurutnya ada dua solusi. Pertama, perlu ada komitmen dari elit untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Elit jangan lagi membuat masyarakat tergantung kepada mereka. "Kedua, rakyat harus mandiri. Rakyat perlu meningkatkan kesadaran politik mereka," tandasnya. [zul]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA