Tepat di hari anti korupsi sedunia, 9 Desember 2013, Indonesia berkabung. Bukan karena ada beberapa perampok uang rakyat diganjar hukuman diatas 10 tahun dan dirampas hartanya hingga puluhan milyar rupiah, namun justru hanya karena soal maha sepele: keteledoran yang mengakibatkan banyak korban.
Indonesia benar-benar dikejutkan kembali dengan sebuah kejadian yang senantiasa berulang, yakni kecelakaan lalu lintas. Tidak main-main, yang menjadi sorotan media dan publik kali ini adalah sederetan kereta listrik (KRL) yang menendang truk tanki bermuatan minyak di pelintasan Bintaro yang mengakibatkan ledakan hebat layaknya asap bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Tidak jauh dari situ, beberapa tahun silam, dua kereta saling berciuman secara kasar dan naif. Akibat dari dua kejadian itu, lebih dari seratus orang meregang nyawa sia-sia.
Media massa pun kemudian sangat asyik masuk memberitakannya dalam serial cerita yang tanpa henti. Mulai dari saat kejadian, evakuasi, mereka yang dirawat di rumah sakit, pemakaman, perbaikan jalan, bahkan aneka mistik. Ada juga diskusi yang membahas soal kecelakaan hingga cara-cara preventif di kemudian hari. Dengan tabrakan kemarin, seolah semua menjadi mafhum, sadar, dan mengamini bahwa kejadian serupa tidak boleh terulang kembali.
Tanpa disadari, jalanan di Indonesia adalah ladang pembantaian manusia yang sangat keji. Jauh lebih kejam dari peperangan. Bayangkan saja, selama tahun lalu terjadi 109 ribu kecelakaan lalu lintas di tanah air tercinta yang mengakibatkan nyawa melayang sebanyak 25.131 jiwa. Ini pun kata Jenderal Polisi Timur Pradopo telah mengalami penurunan 0,67 persen atau 738 kasus dari periode sama 2011. Selama "periode lebaran" tahun ini tercatat korban meninggal diatas aspal panas sebanyak 53 orang. Sebuah jumlah yang mencengangkan.
Mungkin kita tidak peduli alias emoh perhatian dengan data di atas karena itu tidak menimpa diri kita atau anggota keluarga, teman dan saudara.
Sebodo teuing, kata orang Sunda. Tapi pernahkah kita renungkan bahwa tiap hari kita juga hidup di atas aspal panas atau KRL yang sumpek selama berjam-jam. Ada yang dua jam, ada juga yang sampai 5 jam. Mau naik motor, angkutan atau moda transportasi lainnya. Ini artinya, ancaman itu terus ada di depan mata setiap kita. Tidak peduli Anda seorang office boy (OB) ataupun menteri.
Ketidakpedulian adalah salah satu sikap yang tidak memberikan perbaikan dalam sebuah masyarakat. Gara-gara si
sabodo teuing itu juga, kabarnya, si pengemudi truk tanki menerabas pelintasan Bintaro dan menjadikannya seperti medan laga perang Bharata Yudha. Menciptakan kerugian miliaran. Lebih lima nyawa melayang. Kemacetan lalu lintas selama berhari-hari. Banyak pihak yang menangis ditinggal orang-orang terkasihnya. Dan, masyarakat kita terklihat demikian bodoh.
Sikap itulah yang sebenarnya kita lihat dalam keseharian, utamanya di atas aspal panas. Ketika lampu masih memerah, puluhan pengendara menerabas seenaknya. Tidak peduli terhadap kebutuhan dan hak orang lain. Yang penting dirinya selamat dan mencapai tujuan lebih cepat dibanding temannya. Bahkan, karena kemacetan yang akut, banyak pengendara yang berani bertaruh nyawa dengan melawan arus. Baik itu di atas badan jalan maupun pinggirannya. Semua hajar bleh. Gila memang.
Ada lagi yang sepertinya memiliki nyawa cadangan berlipat-lipat, yakni mereka yang disebut kaum gepeng. Mereka kadang justru duduk di atas aspal di perempatan jalan dimana pengendara sedang sumpek pengin buru-buru sampai rumah. Diantaranya beresiko nyawa di malam-malam yang minim penerangan. Karenanya, jangan pernah kaget kalau Anda dikagetkan dengan pengemis yang "tiba-tiba" muncul dan menyebabkan kita semua menginjak rem dalam-dalam.
Memang, membicarakan kecelakaan bukan hanya soal mentalitas. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan lalu lintas bisa karena faktor manusia (pengemudi), faktor kendaraan, faktor jalan atau faktor lingkungan. Dari keempat faktor ini harus dikaji lebih jauh faktor yang paling berpengaruh untuk menetapkan usaha usaha yang perlu dilakukan dalam menanggulangi masalah kecelakaan lalu lintas tersebut. Tapi, menurut banyak pengamat, faktor manusia merupakan suatu hal yang maha penting.
The man behind the gun.Soal Kedisiplinan
Bisa jadi ada saja orang banyak mencibir tentang sikap kaku tentara. Mereka hidup seperti robot dan hanya mengikuti aturan atau atasannya saja. Sepertinya tidak manusiawi. Padahal mereka adalah manusia yang penuh disiplin. Manusia yang patuh terhadap aturan. Kalau tidak boleh ya tidak diterjang. Kalau dibolehkan baru dilakukan.
Inilah yang kadang dijadikan dikotomi antara tentara dan sipil: tentara sangat terikat hidupnya sedangkan orang sipil memiliki kebebasan yang sangat luas. Lalu kebebasan itu diartikan bisa melakukan apa saja, termasuk melanggar peraturan, asal tidak ketahuan petugas. Kebiasaan atau sikap mental inilah yang sangat berbahaya. Bukan hanya berbahaya buat dirinya tapi juga berbahaya bagi orang lain.
Bila saja, si sopir truk tanki naas itu memiliki sikap disiplin dan tidak
sabodo teuing atas suara peringatan ningnong-ningnong yang disinyalkan oleh penjaga lintasan kereta, pasti dia akan berhenti. Akan menunggu dengan sabar karena memang kewajibannya adalah menunggu sampai kereta lewat. Dan bila itu semua terjadi, bisa dipastikan kejadian naas di hari anti korupsi sedunia itu tidak akan terjadi. Tidak ada korban jiwa dan kerugian miliaran rupiah.
Sungguh, sebenarnya hampir semua kejadian di jalan raya, memiliki kemiripan dengan tragedi Bintaro. Rata-rata tidak memiliki aspek kedisiplinan dan lebih mengedepankan apa yang disebut kebebasan seenak perutnya sendiri. Karenanya mudah dibayangkan, bila semua kita memiliki kedisiplinan maka dipastikan korban kecelakaan lalulintas tahunan bisa ditekan menjadi puluhan orang saja. Banyak orang-orang baik yang bisa diselamatkan sehingga bisa mengabdi bagi bangsa dan negara dalam kurun waktu yang lama.
Kalau mau jujur, soal disiplin ini memang sangat rendah di masyarakat kita. Bahkan, sikap
sabodo teuing tidak berbanding lurus dengan pendidikan. Tidak sedikit, mereka yang gelarnya berderet-deret tetap saja melakukan pelanggaran yang tidak perlu. Bukan hanya teledor di jalan raya, tapi juga menerjang aturan-aturan yang merugikan masyarakat banyak. Yang punya moge seolah menguasai jalan, sedangkan yang punya kuasa bertindak sewenang-wenang.
Akhirnya, ciuman antara KRL dan truk tanki menyentak kita semua. Menyadarkan akan arti pentingnya disiplin dalam berkendara. Coba sekarang lihat deh, di banyak pelintasan kereta mereka jadi tertib. Tatkala sirine ningnong-ningnong berbunyi, semua akan antri dengan santun. Di banyak perempatan, tidak banyak orang yang menerjang lampu merah. Sepertinya, pengalaman adalah guru yang paling baik. Persoalannya adalah, seberapa lama kesadaran itu akan terpelihara?
Melihat pengalaman di masa lalu, rasanya kita semua akan tahu bahwa efek jera dari tragedi Bintaro itu tidak akan berlangsung lama. Istilahnya, anget-anget tai ayam. Hangatnya cuma sekejap, lalu dingin lagi. Disiplinnya cuma dalam hitungan hari, lalu teledor lagi. Kesadarannya hanya mencuat sesaat, lalu kembali ke sebodo teuing. Tidak lama lagi, banyak yang lupa lalu menganggap bahwa melanggar lalu lintas merupakan sebuah kebiasaan dan tidak mengancam keselamatan dirinya dan orang lain.
Semua ini bisa terjadi, antara lain karena memang pendidikan kita belum menanamkan jiwa disiplin dalam-dalam. Pendidikan yang sejak dini “mengajarkan†bahwa semuanya bisa diatur “sedemikian rupa sehinggaâ€. Bahwa aturan diadakan untuk dilanggar. Bahwa banyak guru yang senang mendapatkan gratifikasi. Semua menjadi serba permisif.
Sepertinya, kini banyak hal bermuara pada uang semata. Meskipun modus operandinya macam-macam, tidak sedikit yang ujung-ujungnya duit juga. Kegiatan seperti ujian dianggap sesuatu yang paling penting. Kalau nilainya sudah menyentuh langit ketujuh maka sang anak dan guru akan sama-sama puas. Mereka melupakan bahwa pendidikan adalah pembangunan manusia, bukan coretan-coretan nilai diatas kertas.
Sebagian sekolah bahkan sudah tidak peduli lagi apakah muridnya nantinya akan memiliki karakter disiplin atau tidak. Yang paling penting tiap awal bulan bayar lunas dan di saat ujian lulus semua. Pembangunan mentalitas relatif diabaikan.
Padahal, mentalitas adalah awal dari kesuksesan sebuah pembangunan. Di kala masyarakat bermental "tempe" jangan harapkan pembangunan akan berjalan cepat. Ketika masyarakat masih suka menyerobot lampu merah, jangan bermimpi kita bisa menjadi bangsa yang maju. Ketika kita masih suka ber-s
abodo teuing, baiknya tidak mudah komplain kalau Indonesia tertinggal jauh dari negara tetangga. Untuk melihat masa depan bangsa, cukuplah mengamati perilaku para pengendara di jalan raya. Tidak perlu dengan teori yang muluk-muluk.
[***]