Bingung hendak pindah kemana, lebih dari 100 warga akhirnya memilih bertahan di tenda-tenda yang didirikan juga mushala di sekitar lokasi penggusuran sejak semalam. Beberapa dari mereka bahkan masih sibuk mengumpulkan satu per satu barang milik pribadi yang tersisa dari reruntuhan.
"Belum rata semua, masih ada beberapa rumah yang berdiri," kata Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional, Yoris Sindhu Sunarjan kepada
Rakyat Merdeka Online, Kamis (23/5) malam.
Sudah dua hari ini sejak Rabu (22/5) kemarin, deru mesin backhoe terus bekerja meluluhlatahkan satu persatu bangunan rumah milih warga di atas lahan seluas 5,5 hektar itu. Ribuan personil Satpol PP DKI dibantu aparat kepolisian dan TNI turut dikerahkan ke lokasi guna melancarkan proses eksekusi. Warga berusaha menghalangi hingga terlibat baku hantam dengan petugas. Namun akhirnya massa bisa dipukul mundur setelah ditembakkan gas air mata.
"Bagi masyarakat keputusan pengadilan itu berat sebelah karena posisinya yang bertanggung jawab itu pemerintah DKI," protes Yoris.
Bagaimana tidak, lanjut Yoris, dua kali warga Kampung Srikandi meminta bantuan perlindungan dari Pemprov DKI tapi tak jua direspon. Bahkan Gubernur Joko Widodo terkesan menghindar.
"Ini semua masyarakat yang punya KTP dan bayar pajak. Jokowi mesti bertanggung jawab terhadap nasib warga yang digusur tadi," tegasnya.
Yoris berpendapat, masalah itu tidak akan berlarut-larut sebetulnya jika Pemprov DKI mengambil kebijakan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Karena toh, sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang diklaim PT Buana Estate--milik Probosutedjo, yang mengeluarkan adalah Pemprov DKI.
Kepala Satpol PP Jakarta Timur, Syahdonan, mengatakan pihaknya menggusur rumah warga karena diperintahkan oleh PN Jakarta Timur.
"Kalau ada yang mau protes silakan ke pengadilan, dan informasinya musholla yang ditempati warga akan dibongkar. Yang bisa menghentikan ini adalah putusan pengadilan," ucapnya
.[wid]