The Last Train for Poor

Kamis, 09 Mei 2013, 11:29 WIB
SESAAT lagi PT KAI akan menghentikan semua trayek KRL Ekonomi yang bertarif tiket hanya Rp 1.500 dari Bogor ke Jakarta sekali jalan. Alasan dihentikannya adalah karena gerbong KRL sudah sangat reyot dengan permesinan sering ngadat mengganggu gerbong lain, lantai berkarat dan bolong berisiko penumpang kejeblos.

Meski reyot dan rombeng, KRL ekonomi untuk warga kurang beruntung ini sangat membantu karyawan bergaji kecil. Kendaraan apa yang sanggup mengangkut mereka dari rumah kecil di cilebut untuk bekerja sebagai pelayan toko, OB dan pekerjaan rendahan lain bergaji UMR di Jakarta, selain KRL. Mereka hanya perlu ongkos transport paling banyak Rp 100.000 sebulan.

KRL ekonomi ini juga bak pasar berjalan. Semua barang keseharian dan kudapan bisa kita temukan dan beli dengan harga murah. Sebuah transaksi dagang dari rakyat untuk rakyat, meski jangan berharap barang yang dibeli bermutu tinggi.

PT KAI sebagai BUMN akan mengganti gerbong rombeng yang sudah berjasa ikut mendongkrak pertumbuhan ekonomi negeri ini dengan gerbong yang lebih baik, tetapi tentu "ada rupa ada harga", barang bagus tentu berharga lebih mahal daripada barang rombeng.

Saat kaum profesional kelas menengah yang semakin rasional sudah mulai memilih KRL sebagai moda transport dan menjejali KRL komuter yang sering tak berpendingin dari 4 penjuru angin DKI, kaum komuter KRL rombeng yang dipaksa pindah ke moda yang sama tentu akan kalah bersaing.

Mereka tentu akan mati kutu harus membayar karcis KRL Rp 8.000 sekali jalan dengan uang makan/transpor yang hanya Rp 20.000/hari (Koran Tempo 08/5/13). Belum lagi kerugian ketiadaan tempat untuk berjualan di dalam KRL, selain sudah dibunuhnya pedagang di kios semua stasiun.

Saya tidak tahu, apakah KAI dan pemerintah sudah menghitung sejauh mana penghentian KRL ekonomi dan perluasan emplasemen stasiun yang semuanya berpihak kepada warga kelas menengah profesional itu berdampak kepada ekonomi sangat gurem dan liat serta penuh barokah seperti ditampilkan oleh ribuan pedagang di dalam KRL dan di kios emplasemen stasiun.

"Kaum berpunya" yang jadi komuter seperti saya tentu akan semakin nyaman dengan luasnya ruang tunggu yang semakin bersih, tetapi kemana warga gerbong rombeng dan pedagangnya serta penjual di kios emplasemen itu disingkirkan ? Mereka berjuang untuk hidup bak "the last mohican" warga Indian terakhir dari suku mohican yang berjuang hingga tetes darah penghabisan.

Ahmad Rizali
Direktur Pertamina Foundation dan Komuter KRL Depok-Jakarta
http://ahmadrizali.com

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA