Apapun alasannya, sikap tegas Pemprov DKI Jakarta dibawah kepemimpinan Jokowi-Basuki ini harus diapresiasi oleh semua kalangan. Mengingat selama ini dalam 17 tahun pelaksanaan otonomi daerah persoalan yang kerap muncul adalah seputar penggunaan APBD yang hampir 70 persen digunakan untuk kepentingan biaya rutin pemerintahan dibanyak pemerintahan daerah. Kalau boleh diistilahkan, habis untuk biaya 'tukang'.
Bahkan, pernah sebuah surat kabar nasional melansir berita pada akhir tahun lalu bahwa biaya makan suatu pemerintah daerah bisa mencapai satu milyaran. Biaya rutin berkisar 70 persen dari ABPD dan biaya pembangunan hanya 30 persen. Idealnya persentase biaya rutin seharusnya lebih kecil dan biaya pembangunan lebih besar. Itulah wajah pelaksanaan otonomi daerah kurun 17 tahun terakhir ini.
Sejatinya ABPD itu harus berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan digunakan untuk pembiayaan pembangunan pro rakyat. Dalam konteks post good governance, Sikap Jokowi menolak Bank Dunia kemudian memaksimalkan APBD untuk melanjutkan proyek pengerukan 13 sungai dalam kurun waktu 5 tahun kedepan merupakan upaya Pemprov DKI Jakarta menempatkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tidak hanya dilihat dari sisi penerimaanya yang mengedepankan pentingnya kemandirian pendapatan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), tetapi juga dalam sisi pengeluarannya.
Pemprov DKI Jakarta dalam posisi penyelenggara negara sebagai distributor (amil/pamong praja) harus mengedepankan alokasi anggaran pelayanan publik sebagai core utama dan mencegah terjadinya inefisiensi penggunaan dana guna melayani diri sendiri (self-servicing). Disini posisi negara yaitu Pemprov DKI Jakarta berfungsi sebagai protektor terhadap rakyat dalam memenuhi hak-hak dasarnya (pendidikan, kesehatan dsb).
Pengerukan 13 sungai yang sudah dilakukan oleh gubernur sebelumnya Fauzi Bowo dan diteruskan oleh Jokowi merupakan agenda pembangunan yang teramat penting bagi rakyat DKI Jakarta untuk terhindar dari bahaya banjir yang senantiasa mengancam setiap tahunnya. Hanya saja Jokowi telah menggunakan paradigma harga diri (self esteem) dan kemandirian (independence) yang dijadikan sebagai landasan utama untuk memahami dan mengelola dana APBD sebagai uang rakyat, khususnya dalam mensikapi hak-hak dasar rakyat dalam bentuk pelayanan publik. Sehingga sudah selayaknya kebijakan JEDI ini diteruskan pelaksanaannya dengan memaksimalkan dana APBD yang ada dan memaksimalkan pula pengawasan yang dilakukan oleh DPRD dan rakyat DKI Jakarta.
Penolakan Jokowi terhadap pinjaman Bank Dunia dengan memaksimalkan dana APBD merupakan angin segar bagi pelaksanaan otonomi daerah kedepannya. Penggunaan dan pengelolaan dana APBD secara efektif merupakan suatu keharusan. Pelaksanaan otonomi daerah yang akan berusia 17 tahun pada 25 April nanti, sejauh ini masih dipusingkan dengan problematika anggaran daerah yang tertuang dalam APBD. Semoga saja rencana Jokowi untuk benar-benar memaksimalkan dana APBD Provinsi DKI Jakarta untuk prioritas pembangunan ini diikuti oleh pemerintah daerah lainnya. Sebab, daerah kuat maka negara juga akan kuat. Semoga.
Iwan Sulaiman Soelasno, M.Kessos
Direktur Kajian Otonomi Daerah, SUN Institute