Menteri Dikbud meminta maaf sambil menyalahkan penerbit yang terlambat mencetak dokumen negara yang tertulis "Sangat Rahasia" itu, kemudian mengijinkan panitia lokal memfotokopinya agar UN tetap berjalan.
Selain dorongan luar biasa yang memaksa UN terus berjalan apapun yang terjadi, yang tidak kumengerti apakah dorongan itu? Saya baru mengerti kenapa UN itu dianggap maha penting, kita dapat menyimak pernyataan menteri M. Nuh “jika tanpa UN bagaimana cara mengetahui kemampuan murid…â€. Ternyata M. Nuh menganggap UN adalah cara terbaik untuk mengetahui sejauh mana murid menguasai pelajaran yang diberikan kepada mereka selama 3 Tahun di SMP/SMA/SMK dan sederajat dan 6 Tahun di SD/MI. Mereka yang mengerti hakikat tes dan asesmen murid, tentu tersenyum mendengar dan membaca pendapat Mendikbud ini.
Yang pasti, UN itu mendorong murid dan guru semakin saleh. Sembahyang dhuha dan hajat yang awalnya sangat jarang bahkan nyaris tak pernah diketahui oleh murid dan guru, saat ini sebelum UN berlangsung dilakukan berjamaah. Ada pula yang semakin rajin sembahyang tahajud. Singkat kata, semua manusia yang terkait langsung dengan UN menjadi sangat religius.
Tak cukup dengan upaya ritual agama seperti doa berjamaah (
istighosah), mereka juga mencari perantara atau tawasul agar doanya sampai kepada Allah SWT. Ada yang berkunjung ke tokoh agama minta air doa, “
suwuk†pensil 2B hingga minta air celupan tangan ponari yang menggenggam batu sakti. Saya yakin ada pula yang ber-
tawasul ke makam keramat para wali dan tokoh yang sangat dihormati. UN terbukti memantik dan mendorong serta menumbuhkembangkan sikap religius sekaligus irasional, padahal UN sendiri sangat rasional yaitu upaya untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan yang diserap oleh murid sekolah saat diuji.
UN bersamaan dengan peringatan Hari Kartini yang tentu sedang dilupakan hiruk pikuknya di sekolah demi UN. Kartini penulis Habis Gelap Terbitlah Terang atau "
mina dzulumati ila nur" itu jika masih hidup tentu hanya bisa geleng geleng kepala dan menggerutu “Lha kok bangsaku yang aku upayakan mati matian menulis surat gagasan sampai tanganku kesemutan agar pikirannya terang kok malah melakukan hal gelap, suratku bisa berubah jadi Habis Terang Terbitlah Gelap atau
mina nur ila dzulumat dong …….".
Saya ikut membayangkan, jika UN diselenggarakan setiap bulan, alangkah gegap gempitanya ulah murid dan guru mempraktekkan religiusitas, tanpa disuruhpun masjid akan penuh dengan murid sedang sembahyang dhuha, istighozah bisa terselenggara setiap dua pekan sekali dan tentu tokoh tawasulers laku keras, penjual bunga di makam keramat tersenyum riang dagangannya laku keras.
*Dewan Pembina Ikatan Guru Indonesia (IGI)
Direktur Program Pendidikan Pertamina Foundation