Sebab, saat ini rasio jalan di Jakarta masih di bawah standar, yakni hanya enam persen dari luas wilayah ibukota. Padahal, seharusnya rasio jalan di kota besar idealnya mencapai 12 persen dari luas wilayah yang ada.
Ketua Fraksi Gerindra DPRD DKI Jakarta M Sanusi menyatakan, penambahan rasio jalan di Jakarta wajib dilakukan. Karena saat ini rasio jalan di Jakarta masih di bawah standar, sehingga jalan tidak mampu menampung kendaraan yang terus bertambah.
Terlebih Pemprov DKI Jakarta tidak mampu membendung pembelian kendaraan bermotor karena kewenangannya berada di bawah pemerintah pusat.
Meski demikian, penambahan rasio jalan menurutnya juga harus dibarengi perbaikan transportasi massal. Ini untuk mencegah kesan bahwa penambahan jalan hanya menguntungkan orang yang memiliki kendaraan.
Penambahan jalan di Jakarta, lanjut Sanusi, harus pula memperhatikan masalah teknis dan non teknis. Terlebih pembebasan lahan di Jakarta saat ini terbilang sulit.
Sanusi menyarankan, agar penambahan jalan di ibukota hendaknya elevated atau jalan layang. “Elevated menurut saya akan lebih memungkinkan. Karena kita tahu kendalanya adalah pembebasan lahan,†saran anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta ini.
Sanusi menilai, jika membangun jalan sebidang akan membutuhkan waktu lama. Sementara membangun jalan layang waktunya lebih bisa diprediksi. “APBD kita besar tapi tidak bisa bangun jalan. Karena kalau ada pembebasan lahan, lima tahun tidak selesai. Tapi kalau elevated, dua tahun sudah bisa jadi,†katanya.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Triwisaksana juga menyetujui adanya penambahan rasio jalan di Jakarta. Namun, menurut politisi PKS ini, harus dilihat dari sisi prioritas, seperti pembangunan underpass, termasuk underpass pada perlintasan kereta api.
“Atau membuat jalan lintas terobosan sehingga banyak alternatif kendaraan bisa melaluinya,†usulnya.
Pendapat berbeda disampaikan sejumlah pengamat. Menurut mereka, penambahan rasio jalan bukan merupakan solusi untuk mengurangi kemacetan. Justru dikhawatirkan penambahan jalan malah akan semakin memanjakan pengguna kendaraan pribadi.
Pengamat Transportasi dari Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas mengatakan, dengan adanya penambahan jalan justru akan memberikan ruang masyarakat menambah kendaraan pribadi. Sehingga dirinya tidak setuju jika adanya penambahan rasio jalan. “Di kota-kota besar di dunia sekarang sudah tidak digunakan sistem rasio jalan itu,†katanya.
Pengamat perkotaan Marco Kusumawijaya mengilustrasikan Tokyo dan Los Angeles yang memiliki rasio besar tapi tetap macet. “Yang tidak diungkap rasio 20 persen, tapi tetap macet,’’ ujarnya.
Dia mengatakan, bertambahnya jumlah jalan bukan jaminan macet akan berkurang. Menurutnya, seperti mengutip Walikota Bogota Enrico Penalosa, tidak ada rumus jumlah jalan yang wajar. “Pertambahan jalan justru semakin meningkatkan ketergantungan kendaraan pribadi. Karena itu, bukan masalah berapa mobil yang akan tumbuh tapi menolak fasilitas untuk kendaraan pribadi,†tandasnya.
Macet Melulu, Warga Jenuh & Marah Kemacetan yang melanda DKI Jakarta akan terus terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Pasalnya, dalam rapat tertutup dengan para pakar, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menyatakan, tidak menyepakati pembuatan enam ruas jalan tol.
Hal tersebut mendapat protes dari aktivis sosial media Indra Budiman. Menurutnya, public hearing terkait pembangunan jalan tol tidak sesuai dengan keinginan warga Jakarta.
Menurut Indra, Jokowi telah disandera pengamat, terkait soal rencana jalan tol layang. “Memindahkan public hearing yang seharusnya terbuka di Balai Agung, Balai Kota ke ruang rapat khusus gubernur itu saja sudah jadi pertanyaan,†cetusnya.
Seperti diketahui, public hearing tertutup itu dilakukan pada Rabu (30/1) dihadiri Jokowi, Kepala Dishub DKI Udar Pristono, pengamat transportasi Darmaningtyas, pengamat kebijakan publik Adrianof Chaniago, pengamat perkotaan Marco Kusuma Wijaya, pengamat transportasi Azas Tigor Nainggolan dan Wakil Konsorsium Pembangunan Jalan Tol Tulus Abadi.
Rapat yang harusnya dimulai pukul 12.00 WIB itu, ungkapnya, molor sampai jam 14.00 WIB, hanya karena menunggu para pengamat yang terlambat datang. Hal yang dinilainya aneh adalah dipindahkannya rapat tersebut dari tempat terbuka ke tempat tertutup.
Untuk mengelabui awak media, lanjut Indra, Jokowi dan para pengamat mempersilahkan media TV untuk masuk ke ruang tertutup sebelum rapat dimulai untuk mengambil gambar sambil, seolah rapat terkesan terbuka.
“Rapat tertutup dihadiri Jokowi pada jam 14.00WIB sambil mengatakan kepada media, rapat hanya berlangsung 15 menit. Namun ternyata baru rampung hingga pukul 16.00 WIB,†paparnya.
Indra mengaku sangat menyayangkan hal ini. Terlebih menyangkut nasib kemacetan ibukota, ternyata lebih ditentukan di tangan para pengamat yang terkesan sebagai perwakilan masyarakat Jakarta. Menurutnya, perwakilan masyarakat seharusnya diambil di Dewan Perwakilan Daerah (DPD), perwakilan pemuda dan mahasiswa, kemudian pelaku industri dan pengguna jalan, bukan ditentukan di kalangan pengamat.
“Jalur tol khusus Tangerang-Bekasi yang melewati Priok untuk kepentingan jalur industri, sangat dibutuhkan agar truk-truk besar tidak bikin macet. Penambahan jalan adalah kebutuhan kota yang harus dilakukan dan penambahan angkutan massal juga harus dilakukan,†bebernya.
Indra yakin, warga Jakarta sudah jenuh dan marah dengan kemacetan dan Jokowi sebenarnya punya solusi untuk mengatasinya. Bahkan banjir yang menyebabkan macet, juga perlu solusi. Salah satunya, jalan layang.
“Yang terpenting dari itu semua, mengapa jutaan rakyat Jakarta dikorbankan hanya berdasarkan analisa pengamat dan terkesan mengatur kebijakan gubernur. Bukan di lembaga perwakilan rakyat resmi seperti DPD misalnya,†sesalnya.
Bahkan partai pendukung seperti PDIP dan Gerindra pun, lanjut Indra, tak berdaya. Padahal, kedua parpol itu setuju dengan penambahan jalan layang di ibukota dan penambahan transportasi massal. [Harian Rakyat Merdeka]