Ada perbedaan angka yang besar dengan pemerintah karena sebagian OR telah "berganti nama" setelah dilakukan reswitch atau reprofiling OR. Akibat beban pembayaran utang yang teramat besar itu, APBN tidak mampu menjadi lokomotif pembangunan. Pada saat yang sama, pemerintah justru mati-matian mengurangi, bahkan mencabut,berbagai subsidi untuk rakyat.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi XI DPR di Senayan, kemarin (Senin, 28/1), mantan Menko Perekonomian, DR. Rizal Ramli, mengatakan, sekarang saat yang sangat historis untuk menghentikan pembayaran subsidi bunga obligasi rekap.
Sebab, kebijakan itu benar-benar tidak adil. Pemerintah sibuk menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik (TDL) dengan alasan subsidi yang mendistorsi ekonomi. Tapi untuk mensubsidi para bankir yang sudah sangat kaya, pemerintah rela mengguyurkan uang pajak sekitar Rp 40-60 triliun setiap tahun. DPR punya kewenangan untuk menghentikan ketidakadilan.
Selain Rizal Ramli, ekonom lain yang diundang adalah mantan Menteri/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, ekonom INDEF Dradjad Wibowo, dan ekonom UGM Revrisond Baswir. Merekalah ahli ekonomi dan juga mantan pejabat tinggi yang mengetahui betul hal-ihwal Obligasi Rekapitalisasi perbankan
Rizal Ramli yang juga mantan Menteri Keuangan era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu, kebijakan pemberian OR sangat keliru. Dia mengaku tidak bisa menerima kenyataan pejabat publik yang gaji dan fasilitasnya dibayar oleh uang rakyat, tapi dalam membuat kebijakan justru menyengsarakan rakyatnya sendiri.
Sedangkan Kwik menjelaskan, OR adalah utang pemerintah kepada bank-bank yang dimilikinya sendiri. Jadi ibaratnya utang dari kantong kiri ke kantong kanan. Dengan demikian solusinya adalah dengan menarik obligasi rekap tersebut. Namun teknik atau cara penarikannya termasuk domain sub-ilmu yang sama sekali tidak dipahami oleh para teknokrat Mafia Berkeley. Atau, mungkin mereka memahaminya, tetapi sengaja mau mengobral bank-bank dengan harga murah seraya membankrutkan negara.
"Selaku Menko Perekonomian, saya dan Menkeu (ketika itu) Bambang Sudibyo secara diam-diam mengganti OR dengan apa yang kami namakan zero coupon bond atau obligasi tanpa bunga. Isinya hanya angka yang harus dianggap sebagai modal atau ekuiti agar CAR perbankan jadi 8 persen," papar Kwik.
Dia melanjutkan, semua bank diberi tenggang waktu lima tahun untuk menjadi sehat atas kekuatan sendiri dengan melakukan perbaikan kinerja. Kalau tidak, bank ditutup. Namun, kalau sudah sehat atas kekuatan sendiri, zero coupon bond bisa ditarik.
Sayangnya prinsip dan inti pikiran Zero Coupon Bond sebagai cara untuk menarik kembali Obligasi Rekap sama sekali tidak digubris. Akibatnya sampai sekarang, pemerintah mengeluarkan uang sekitar 25 persen dari APBN sejak 2003 hingga 2040. Motifnya hanya satu, yaitu patuh pada IMF secara mutlak dan habis-habisan.
Sementara itu, Dradjad mengatakan pembayaran OR yang jumlahnya puluhan trilun setiap tahun, telah menggerogoti kemampuan APBN menjadi stimulus pembangunan. Hal ini kian diperparah lagi saat pemerintah menerbitkan release and discharge (R&D) yang membebaskan para pemilik bank dari segala kewajiban setelah menyetorkan aset-asetnya sebagai pengganti bantuan likuiditas Bank Idonesia (BLBI) yang mereka terima.
“Padahal, aset-aset yang mereka serahkan itu adalah aset sampah yang nilainya sangat rendah," jelasnya.
Tahun 2002, Dradjad sudah menulis artikel dengan judul Sebuah Tragedi Bernama Release and Discharge. Di situ dia sebutkan, seharusnya para direksi Bank Indonesia, termasuk Boediono (kini Wakil Presiden), dimintai pertanggungjawaban atas kebijakan tersebut.
"Namun sayangnya sampai sekarang Boediono sama sekali tidak tersentuh hukum," papar Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
[ald]