Pertama, kata Sekjen Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda, Ridwansyah Yusuf Achmad, kepada
Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Kamis, 13/12), rendahnya perhatian pemerintah jIndustri terhadap bidang riset dan pengembangan. Sebagai gambaran, rasio APBN di tahun 2011 untuk riset hanya 0,08 persen, itu pun 60 persennya dialokasikan untuk anggaran rutin Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
"Begitu pula dengan porsi riset kita yang hanya 0,03 persen dari produk domestik bruto (PDB). Bandingkan dengan China yang porsi risetnya terhadap PDB ialah satu persen dan Korea Selatan yang mencapai tiga persen," tegas Ridwansyah.
Selain itu, lanjut Ridwansyah, masih minimnya kolaborasi antara pemerintah, industri, dan pusat-pusat keunggulan seperti lembaga riset dan perguruan tinggi. Padahal penguasaan teknologi dan daya inovasi suatu bangsa tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, dan harus ada kemauan yang kuat dan sinergi dari tiga pelaku utama. Yaitu lembaga riset sebagai sumber pengetahuan dan kreasi, industri sebagai pihak yang menjadikan hasil riset sebagai produk yang memiliki nilai tambah dan membawa keuntungan ekonomi, serta pemerintah yang menciptakan iklim yang kondusif bagi pelaku utama inovasi berupa dukungan politik, kepastian hukum, kemudahan birokrasi, dan insentif ekonomi.
Hal lain yang juga kalah penting, lanjut Ridwansyah, ialah belum terciptanya budaya yang mendukung inovasi dan penguasaan teknologi oleh bangsa sendiri. Konsumen masih banyak yang belum percaya terhadap produk dalam negeri, sementara sebagian pengusaha masih berorientasi pada keuntungan sesaat daripada menjadi industrialis yang bervisi jangka panjang.
"Selain itu juga masih rendahnya minat para pelajar untuk melanjutkan studi hingga doktor untuk menjadi peneliti. Sebagian masyarakat yang gagap menyikapi kemajuan teknologi, misalkan kemajuan telekomunikasi dan IT yang malah mendorong hidup foya-foya dan berorientasi kesenangan belaka daripada memanfaatkannya untuk hal-hal yang produktif," demikian Ridwansyah.
[ysa]
BERITA TERKAIT: