"Kan sudah ada UU Konflik yang mengatur itu, termasuk terorisme. Jadi ngak perlu UU Kamnas lagi," ujar Direktur Eksekutif LIMA (Lingkas Madani Indonesia) Ray Rangkuti dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa (25/9).
Terkait enam fraksi di DPR yang mendukung pembahasan RUU Kamnas itu, Ray meminta agar semua fraksi di DPR segera kompak untuk membatalkan pembahasan RUU Kamnas versi pemerintah itu.
"Mereka harus malu kepada rakyat yang memilihnya kalau sampai mengkhianati rakyat dengan menggolkan RUU Kamnas menjadi undang-undang," sambungnya.
Sementara itu, Sekretaris Eksekutif Hubungan Agama dan Kepercaaan (HAK) Konferensi Wali Gereja Indonesia, Antonius Benny Susetyo menilai keberadaan RUU Kamnas sangat ironis karena semangatnya sama dengan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) yang sempat ditentang habis-habisan oleh rakyat dan mahasiswa hingga jatuh korban jiwa dalam Peristiwa Semanggi II.
"Berbagai klausul pasal di dalam RUU sama sekali tidak sesuai tujuan reformasi dan tidak pro hak-hak sipil, apalagi dengan sifat pasal yang elastis itu," tegas Romo Benny, sapaannya, Senin (24/9) di Jakarta.
Dikhawatirkan Benny pula, dengan undang-undang itu maka Presiden RI memiliki kewenangan luas untuk memutuskan keadaan negara tanpa harus meminta persetujuan DPR bermodalkan payung hukum UU Kamnas itu. Maka Presiden setiap saat bisa menyatakan status darurat sipil atau darurat militer dengan menggunakan wewenangnya sebagai Kepala Dewan Keamanan Nasional (DKN).
"Ironis sekali. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seakan melupakan tragedi Semanggi II ketika rakyat menolak RUU PKB itu," lontar salah seorang pendiri Setara Institute ini.
Dinilainya, kekuasaan yang begitu luas yang dimiliki Presiden karena undang-undang itu sangat besar potensinya dalam mengancam HAM warga sipil karena sifat ancaman di dalam RUU itu yang bersifat multi tafsir.
"Yang jelas, rakyat yang menyampaikan kritikan apalagi protes bisa dianggap sebagai ancaman terhadap negara. Dan dengan RUU Kamnas ini seolah-olah negeri kita berada dalam kondisi darurat. Nah, ini yang berbahaya. Karena bisa disalahgunakan penguasa ketika dirinya terancam dengan segala hal bisa menggunakan posisi seperti itu," jelas Benny panjang lebar.
Benny mencontohkan jika rakyat menggunakan media global atau jejaring sosial seperti lewat media facebook, twitter, dan blogpress sebagai sarana berekspresi. Maka tulisan yang berisi kritikan dalam bentuk apapun, termasuk persoalan ekonomi, budaya maupun sosial bisa aka tetap dianggap sebagai sebuah ancaman.
"Apalagi defenisi ancaman dan keadaan darurat yang disusun dalam RUU Kamnas itu tidak tegas, jadi nampak ada upaya dibuat multi tafsir. Karena itu, kami meminta pembahasan RUU Kamnas itu versi pemerintah di DPR segera dibatalkan.
Sebab jika disahkan sebagai undang-undang, maka akan sangat berdampak negatif dalam proses pembangunan demokrasi di negeri ini," pungkasnya.
[arp]
BERITA TERKAIT: