Obligasi Rekap adalah piutang bank-bank yang telah menjadi milik pemerintah kepada pemerintah. Dalam arti lain, pemerintah berutang kepada bank-bank yang dimilikinya sendiri. Sejarah OR bermula saat kriris moneter menerjang pada 1998. Kala itu perbankan Indonesia kolaps. Untuk menyelamatkan bank-bank tersebut, pada 1999 pemerintah menyuntikkan modal (merekapitalisasi) dalam bentuk OR dengan dana mencapai Rp 655 triliun.
"Kami sedang tunggu surat pimpinan (DPR) untuk menindaklanjuti," ujar Wakil Ketua Komisi XI, Harry Azhar Azis, kepada wartawan di komplek Parlemen, Jakarta, Senin (12/6).
Menurut dia, Kwik Kian Gie dan para profesor ekonomi lain yang kemarin datang dalam rapat konsultasi ke DPR, meminta penyetopan pembayaran bunga tersebut pada tahun 2013 dari APBN.
"Tapi kemarin Pak Kwik hanya menceritakan keadaan pada masa dia menjabat menteri, makanya nanti akan kita cek lagi," ujarnya.
"Masalah angkanya kita akan cek nanti lagi, kita akan panggil Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, bisa juga akan kita panggil para mantan Menteri Perekonomian, termasuk Pak Kwik," ungkap politisi Golkar ini.
Persisnya kapan, Harry kembali mengatakan, pihaknya menunggu surat dari pimpinan. Yang jelas kalau dana besar yang disumbangkan untuk kantong para konglomerat itu distop, maka bisa dialihkan kepada masyarakat.
"Seperti pembangunan infrastruktur, subsidi BBM dan minyak," imbuhnya.
Ironis memang, karena pembayaran obligasi rekap berjalan terus di tengah kondisi APBN terancam tidak mampu menjadi lokomotif pembangunan. Lebih lagi, pada saat yang sama, pemerintah justru mati-matian mengurangi, bahkan mencabut, subsidi bahan bakar minyak (BBM) karena dianggap mendistorsi pembangunan ekonomi.
Sekjen Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI) Sasmito Hadinegoro, mengatakan, fakta itu adalah bentuk ketidakadilan yang luar biasa. Untuk mensubsidi perbankan, pemerintah rela mengguyurkan uang pajak sebesar Rp 60 triliun setiap tahun. Sebaliknya, pemerintah justru selalu berniat menghapuskan subsidi BBM.
[ald]