Prabowo, Megawati dan Aburizal Perlu Agendakan Front Nasionalisme Baru

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/zulhidayat-siregar-1'>ZULHIDAYAT SIREGAR</a>
LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR
  • Selasa, 15 Mei 2012, 18:03 WIB
Prabowo, Megawati dan Aburizal Perlu Agendakan Front Nasionalisme Baru
prabowo-mega-aburizal/ist
RMOL. Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto; Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputeri; dan Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie diharapkan dapat mengagendakan kekuatan berupa ‘front’ perjuangan nasionalisme baru ke depan agar bangsa Indonesia terlepas dari krisis nasionalisme sekaligus untuk menciptakan karakter serta daya saing bangsa di hadapan negara-negara lain.

Hal itu diungkapkan Ketua Dewan Direktur Sabang-Merauke Circle (SMC) Syahganda Nainggolan, saat berbicara pada diskusi, “Refleksi Gerakan Reformasi 1998, Penuntasan Agenda Hukum, Politik, dan Ekonomi” yang diadakan Kaukus Muda Indonesia di TIM, Cikini, Jakarta, Selasa (15/5).

Selain Syahganda, tampil sebagai pembicara anggota Fraksi Partai Demokrat DPR RI, Ruhut Sitompul; anggota Fraksi PAN Achmad Rubaie; anggota Fraksi PDIP DPR Arif Budimanta.

Ketiga tokoh itu, kata Syahganda, merupakan representasi kepemimpinan politik nasional yang memiliki tanggungjawab utama untuk mengembalikan jatidiri bangsa, selain diharapkan menumbuhkan kepemimpinan bangsa melalui mandat perjuangan reformasi.

Menurutnya, terdapat empat parameter apakah tuntutan perjuangan reformasi yang digalang mahasiswa berikut berbagai elemen rakyat berjalan sesuai yang diharapkan atau tidak. Yaitu, harkat nasionalisme bangsa; daya saing maupun karakter bangsa di antara bangsa-bangsa di dunia; kesejahteraan rakyat; dan keempat penegakan hukum yang bermartabat.

"Faktanya, keempat agenda itu sejauh ini semakin tidak jelas arah dan semangatnya, sehingga dapat dikatakan telah melenceng dari kepribadian bangsa sebagaimana dicita-citakan oleh gerakan reformasi pada empat belas tahun lalu," jelasnya.

Ia mengatakan, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono tidak mampu mempertegas arah perwujudan kehendak reformasi. Karena sebaliknya, tatanan ekonomi yang seharusnya membangun kekuatan hidup rakyat tidak dikedepankan, bahkan corak perekonomian nasional justru berkembang dalam mekanisme neo-liberalistik yang menjauhkan diri dari kepentingan bangsa.

"Prinsip-prinsip ekonomi Indonesia kini hanya memenuhi keuntungan segelintir pihak yang bekerjasama dengan penguasa, termasuk pihak asing yang dibiarkan merajarela mengeruk keuntungan sebesar-besarnya," ujarnya.

Demikian halnya, lanjut Syahganda, harkat nasionalisme bangsa, karakter maupun daya saing Indonesia pun tidak berhasil dikukuhkan kecuali sekadar menggambarkan ‘ketakutan’ negara di lingkungan global. Sementara itu, terkait penegakan hukum di tanah air, kondisinya tidak berbeda yakni memprihatinkan. Hal ini akibat masih kuatnya intervensi kelompok berkuasa.

Ia juga menilai, pascareformasi kondisi perpolitikan di tanah air terlalu ‘kebablasan’ dengan meninggalkan sisi kepatutan berbangsa dan melepaskan kaidah moral demokrasi, lantaran seringkali menghalalkan kebencian atau upaya saling mematikan.

"Kalau ini terus dikembangkan maka bangsa dan negara ini akan hancur berantakan,” tegasnya, seraya mencontohkan di masa Soeharto saja, Indonesia tetap menjadi bangsa yang disegani oleh kalangan internasional. [zul]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA