Apakah masalahnya sampai-sampai renegosiasi kontrak karya PT NNT dan divestasi saham sebesar 7 persen sulit dilakukan? Apa yang membuat kontrak karya PT NNT tak tersentuh? Mengapa juga para pengambil kebijakan di pusat masih menunda-nunda renegosiasinya? Padahal Undang-undang No 4/2009 Tentang Minerba dengan jelas mengamanatkan kontrak karya harus disesuaikan paling lama setahun sejak UU tersebut diberlakukan.
Pertanyaan-pertanyaan tadi mengusik keprihatinan Front Pemuda Taliwang (FPT). Bekerjasama dengan wartawan dan sejumlah lembaga di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), FPT berencana akan membedah masalah-masalah seputar renegosiasi kontrak karya dan divestasi saham 7 persen PT NNT itu lewat diskusi terbuka pada pertengahan Februari mendatang.
"Idenya muncul sebagai wujud dari keinginan seluruh rakyat NTB, khususnya KSB untuk mendapatkan kontribusi maksimal dari keberadaan tambang di daerah ini. Kunci dari berbagai persoalan yang timbul terkait kontribusi PT NNT adalah kontrak karya yang selama ini dianggap sebagai "kitab suci" oleh pihak NNT," kata Presiden FPT, M Sahrial Amin Dea Naga, saat berbincang dengan
Rakyat Merdeka Online (Kamis malam, 12/1).
Bertajuk
"Renegosiasi Kontrak Karya PT NNT, Pentingkah? Divestasi Saham 7 Persen untuk Siapa?", diskusi akan diisi oleh pembicara tingkat nasional, seperti Menteri ESDM Jero Wacik, Gubernur Nusa Tenggara Barat TGH M Zainul Majid, Kepala Pusat Invenstasi Pemerintah Kementerian Keuangan Soritaon Siregar, Ketua Komisi Pertambangan DPR RI Teuku Riefky Harsya, Wakil Ketua Komisi Keuangan DPR RI Zulkieflimansyah, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, Koordinator Gerakan Indonesia Bersih Adhie Massardi, pengamat ekonomi dan keuangan Ichsanuddin Noorsy dan Direktur Iress Mawran Batubara.
Demikian halnya dengan divestasi saham PT NNT sebesar 7 persen. Prosesnya hingga saat ini semakin tidak jelas juntrungannya. Di satu sisi, kongsi tiga daerah (Pemprov NTB, KSB dan Sumbawa) untuk memiliki saham PT NNT mulai pecah. Sejak awal KSB menyampaikan niatnya untuk membeli sendiri saham, agar nantinya nama KSB tercatat sebagai pemilik saham sekalipun devidennya akan tetap dibagi dengan Pemprov NTB dan Sumbawa. Sebaliknya, Pemprov Sumbawa tetap melakukan upaya-upaya sendiri untuk mendapatkan hak membeli saham tersebut. Sikap daerah yang tidak solid ini, kata dia, dikhawatirkan akan berpengaruh buruk terhadap peluang daerah untuk mendapatkan hak membeli saham dimaksud mengingat pemerintah pusat melalui Kemenkeu juga tetap ngotot memilikinya.
"Apa persoalannya sehingga daerah tidak bisa bersatu untuk mendapatkan saham PT NNT? Apa yang telah dilakukan dan seberapa besar peluang-peluang kita memilikinya? Jangan-jangan kita di daerah ribut-ribut tapi ternyata saham sudah resmi dimiliki pusat. Inilah yang akan kita bedah," tandas Sahril.
[dem]