"Belajar dari gerakan 98, gagasan-gagasan itu pun harus dipimpin. Saya tidak katakan 98 tanpa konsep, tapi 98 lebih cenderung fokus pada figurnya Soeharto dan tidak bicara pada rancangan perubahannya," ujar Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Stefanus Gusma, kepada
Rakyat Merdeka Online, Sabtu (21/5).
Pada April lalu, tegas Gusma, Gerakan pemuda dan mahasiswa mendeklarasikan "7 Cita-Cita Perubahan". Isi tujuh butir cita-cita itu adalah: (1) Indonesia bebas dari penjajahan gaya baru, (2) Supremasi hukum tanpa diskriminasi, (3) Tangkap, adili dan sita harta koruptor dimulai dari Istana Negara, (4) Persatuan Indonesia berlandaskan keadilan sosial dan pemerataan, (5) Distrubusi tanah untuk rakyat, (6) Dorong pemimpin mandiri, berani, demokratis dan bermental kerakyatan, serta (7) Demokrasi tanpa oligarki.
Mengutip salah satu butir deklarasi itu, ia mengatakan bahwa persoalan kepemimpinan yang lemah adalah masalah pokok mengapa saat ini rakyat mengalamai krisis multi-dimensi sehari-hari, mulai dari krisis pangan sampai keamanan.
"Konsep perubahan yang kita berikan adalah alternatif sistem. Sebelumnya harus ada penyatuan kekuatan semua komponen masyarakat untuk tindakan konkrit dorong perubahan," ucapnya.
Dia mengakui, mungkin saja gerakan perubahan yang besar itu berujung pada pergantian rezim di tengah jalan, meskipun kejatuhan pemerintahan bukan motivasi utama. Menurutnya, terjadi persengkongkolan kekuasaan yang harus dihancurkan kekuatan rakyat. Bentuk gerakan yang paling masuk akal adalah gerakan massa.
"Tidak usah aksi massa, pernyataan dari tokoh agama saja sudah bikin geger pemerintah. Tapi, kejatuhan rezim itu konsekuensi dari kegagalan pemerintahan itu sendiri. Sedangkan yang kita inginkan pembenahan sistematis. Kalau pemerintahan sekarang menghambat terjadi perubahan, kalau jadi unsur penghambat, ya akan digeser masyarakat," ujar Gusma.
[ald]