MENDAKWA TANPA FAKTA (1)

Panda Nababan: Dakwaan Itu Licik dan Konspiratif

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/teguh-santosa-1'>TEGUH SANTOSA</a>
LAPORAN: TEGUH SANTOSA
  • Kamis, 21 April 2011, 07:33 WIB
Panda Nababan: Dakwaan Itu Licik dan Konspiratif
panda nababan/ist
Pengantar Redaksi: Kata per kata dan kalimat per kalimat dalam dakwaan yang ditujukan kepada Panda Nababan membuka secara telanjang rekayasa dan penghalalan segala cara untuk menjebloskan diri politisi senior PDI Perjuangan itu ke lubang yang lebih nista.

Itu antara lain isi eksepsi yang dibacakan Panda Nababan dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, Rabu malam (20/4). Di dalam eksepsi berjudul Mendakwa Tanpa Fakta itu Panda membeberkan berbagai keanehan di dalam dakwaan yang disusun oleh jaksa di lingkungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Dakwaan itu licik dan konspiratif," ujarnya.

Redaksi Rakyat Merdeka Online akan memuat secara bersambung eksepsi Panda Nababan tersebut. Berikut adalah bagian pertama dari eksepsi itu.

---

Salam sejahtera untuk kita semua!

Yang saya hormati Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum, para Penasihat Hukum, serta hadirin yang saya muliakan.

Pertanyaan yang pertama kali saya dengar dalam persidangan ini adalah pertanyaan apakah saya sehat atau tidak. Itu adalah pertanyaan yang manusiawi, menyangkut hak asasi saya. Senyatanya hari ini saya memasuki hari ke-81 ditahan di penjara, di dalam kamar seluas 1,8 x 2,6 meter, dimana wc dan bak mandinya di dalam. Pengap memang. Tapi siapa peduli soal itu. Kapasitas rutan Salemba menampung 900 orang, tapi hari ini sudah mencapai 3000 lebih. Over capacity. Setiap pagi, kalau saya mau menghirup udara segar, harus melangkahi puluhan tahanan yang tidur di lantai, di tangga, di emper-emper. Bau, pengap, sengak, siapa peduli. Saya hadir siang ini tidak datang dari rumah kediaman yang manusiawi.

Kemudian, pertanyaan yang bobot hukumnya sangat kuat datang dari Majelis Hakim juga, yakni pertanyaan apakah saya mengerti dakwaan yang diungkapkan oleh Jaksa Penuntut Umum. Ini pertanyaan sentral dari Ketua Majelis.

Yang Mulia Majelis Hakim,

Untuk saya mencoba mengerti dakwaan tersebut, saya harus lebih dulu membaca dengan saksama, mempelajari, meneliti, dan baru kemudian saya bisa memberikan jawaban atas pertanyaan sentral dari Ketua Majelis itu.

Setelah saya baca dengan saksama, saya pelajari kata per kata, kalimat per kalimat, setelah saya teliti apa motivasi dari dakwaan itu, ternyata semua itu membuka secara telanjang rekayasa dan penghalalan segala cara untuk menjebloskan saya ke lubang yang lebih nista. Ternyata isi dari surat dakwaan itu disusun sedemikian licik dan konspiratif.

Yang Mulia Majelis Hakim,

Saudara Jaksa Rum ini dan ketiga jaksa yang lain sangat paham dan mafhum dari mulai A sampai dengan Z proses dan putusan perkara Saudara Dudhie Makmun Murod, karena memang Saudara Jaksa Rum ini adalah pula yang berperan sebagai jaksa penuntut umum Saudara Dudhie Makmun Murod. Dia pula mengikuti dengan cermat putusan yang dia ikut dalam proses itu. Dia pula yang meng-copypaste putusan itu, untuk dimateraikan dalam dakwaan yang kita dengar minggu lalu.

Jika diperkenankan, saya mengusulkan dapatlah kiranya Bapak-Bapak Majelis Hakim yang terhormat meluangkan waktu untuk membaca singkat saja dan butuh beberapa menit saja atas keputusan Tipikor dari Saudara Dudhie Makmun Murod, seperti yang saya sampaikan ini, maka dengan kasat mata terlihat copy-paste tersebut.

Pada hari Rabu, 5 April 2011 jam 03.00 sore, Jaksa Rum bersama ketiga jaksa yang ada ini, mengantar surat dakwaan, datang ke Rutan Salemba. Setelah saya membolak-balik halaman dan membaca singkat dakwaan tersebut, saya waktu itu mengatakan kepada Jaksa Rum: “Hebat juga dakwaan ini ya. Apa sikapmu dalam persidangan Dudhie yang lalu itu, yang penuh dengan kebohongan dan rekayasa?” Itu pula yang Saudara tuangkan dalam dakwaan ini.

Saat itu, Saudara Jaksa Rum hanya mesem-mesem. Eh, malah dia mengeluarkan kamera, memotret saya dan kemudian berpose dekat saya duduk, dan menyuruh jaksa lain memotret kami berdua, disaksikan beberapa pegawai rutan Salemba ketika itu (Saudara Rum, mana hasil fotonya?).

Dalam batin saya, “Astaga, enteng betul sama mereka soal surat dakwaan itu. Masih sempat-sempatnya mereka motret-motret.”

Pertanyaan sentral Ketua Majelis mengenai apakah saya mengerti dakwaan Jaksa Penuntut Umum menjadi pertanyaan yang sangat berharga dan membuka kesadaran saya, membuka mata saya, membuka hati saya, dan saya menyadari betapa, oh…betapa kejinya perbuatan oknum-oknum jaksa ini. Ya, Allah…, ya, Rabbi…. Tak bisa saya bayangkan apa yang telah mereka lakukan kepada saya.

Yang Mulia Majelis Hakim,

Dulu, saat KPK dipimpin Antasari, saya pernah dipertunjukkan bagaimana dari kantor/kamar kerja pimpinan KPK bisa memonitor jalannya persidangan Tipikor ini; bagaimana dengan bangga mereka menceritakan bahwa hakim-hakim Tipikor, yang memang pada waktu itu peradilan Tipikor masih berada di bawah naungan Undang-Undang KPK, sebelum persidangan sudah di-brief dan diarahkan dulu. Bersyukurlah, Mahkamah Konstitusi pada tahun 2008 telah memutuskan untuk memperbaiki peradilan Tipikor, dengan keluarnya Undang-Undang Tipikor No. 46 Tahun 2009, yang membuat peradilan Tipikor menjadi mandiri serta tidak dalam pengaruh dan diintervensi dari KPK.

Alasan Mahkamah Konstitusi sederhana. Pasal 53 Undang-Undang KPK No. 30 Tahun 2002 mengenai peradilan Tipikor bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Tahun 2009 lalu, hal tersebut telah diluruskan. Saya berharap peradilan ini "yang selama ini dianggap bisa diintervensi" ternyata atas nama hukum bisa mandiri dan independen.

Setelah keputusan Mahkamah Konstitusi itu, tragisnya, pengadilan untuk perkara Dudhie Makmun Murod itu benar-benar memperlihatkan pengadilan berada di tangan orang-orang yang tidak menghormati keadilan. Sungguh, saat pengadilan berada di tangan-tangan yang tidak menghormati keadilan, itulah malapetaka bagi sebuah bangsa.

Atas kesadaran tersebut, dengan menempuh segala risiko, saya mengadukan hakim pengadilan Tipikor itu kepada Badan Pengawas Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Komnas HAM. Banyak yang menasihati saya bahwa risikonya terlampau tinggi. Karena, nanti, solidaritas korps hakim Pengadilan Tipikor akan menjadi sentimen/antipati terhadap saya. Tetapi, saya tidak percaya itu. Solidaritas korps itu untuk sesuatu yang mulia, bukan untuk sesuatu yang zalim. Karena itulah saya menempuh terus dengan gigih dan yakin, bahwa apa yang saya perjuangkan ini untuk kebaikan suatu sistem dan juga untuk kebaikan bangsa dan negara ini.

Alhamdulillah, Ketua Mahkamah Agung Bapak Harifin Tumpa mengeluarkan keputusan yang dengan tegas mengatakan keputusan pengadilan orang lain tidak bisa dipakai menjadi dasar utama untuk mempersangkakan seseorang yang lain lagi. Kemudian juga Beliau berjanji akan melakukan pembinaan kepada hakim Tipikor yang menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan selama dalam persidangan. Keputusan Ketua Mahkamah Agung ini sangat membesarkan hati saya dan membuat saya lebih optimistis lagi peradilan ini berada di jalan, di koridor, hukum yang kita inginkan dan kita cita-citakan. (Lampiran 1: Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung).

Ironisnya, lampiran dari Ketua Mahkamah Agung ini tidak ada dalam berkas perkara, tidak dilampirkan. Kenapa? Karena tidak menguntungkan KPK.

Tetapi kalau jawaban pengaduan saya dari Komisi Yudisial, yang samar-samar yang diteken Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial, dimasukkan dalam berkas, walaupun jawaban Ketua Mahkamah Agung tanggal 28 Februari 2011 ini telah saya sampaikan kepada KPK jauh-jauh hari. (Bersambung)


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA